Kehidupan Aira yang mulanya penuh bahagia tiba-tiba mulai terbalik sejak papanya menikah lagi.
Lukanya diiris kian dalam dari orang terkasihnya. Malvino Algara, pacarnya itu ternyata palsu.
" Pa ... Aira butuh papa. "
" Angel juga butuh papa. Dia ngga punya papa yang menyayanginya, Aira. "
****
" Vin ... Aku sakit liat kamu sama dia. "
" Ngga usah lebai. Dulu lo udah dapat semuanya. Jangan berpikir kalo semuanya harus berpusat ke lo, Ra. "
" Kenapa kamu berubah? "
" Berubah? Gue ngga berubah. Ini gue yang sesungguhnya. Ekspetasi lo aja yang berlebihan. "
****
" Ra ... Apapun yang terjadi. Gue tetap ada disamping lo. "
" Makasih, Alin. "
****
" Putusin. Jangan paksain hubungan kalian. Malvino itu brengsek. Lupain. Banyak cowok yang tulus suka sama lo. Gue bakal lindungin lo."
" Makasih, Rean. "
****
" Alvin ... Aku cape. Kalau aku pergi dari kamu. Kamu bakal kehilangan ngga? "
" Engga sama sekali. "
" Termasuk kalo aku mati? "
" Hm. Itu lebih bagus. "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sutia Pristika Sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Inaya dan Abimanyu
Huek!!!
Huek!!!
Netra yang tadinya terpejam nyaman kini otomatis terbuka cepat. Abimanyu bergegas turun dari ranjang menuju asal sumber suara. Tepatnya berasal dari toilet di kamar mereka.
Matanya mengedar dan terhenti tepat pada jam dinding yang terletak disebelah atas dinding meja rias. Sudah jam 2 malam dini hari.
Tanpa berlama-lama. Kaki jenjang itu mendekati ke arah pintu kamar mandi berwarna coklat. Tangannya terulur mengetuk pintu sambil memanggil insan yang ada di dalam.
Tok ... Tok... Tok
" Sayang? Kamu kenapa? Bisa buka pintunya sebentar? " Tanya Abimanyu lembut.
Dan ceklek!
Suara pintu dibuka terdengar. Muncul sosok Inaya dengan wajah pucat. Sesekali tangannya menggosok-gosok perut dan tengkuknya. Rambutnya sedikit berantakan.
Jelas sisa titik-titik air di seluruh wajah bulat Inaya. Menandakan bahwa perempuan hamil itu baru saja selesai membasuh muka.
Abimanyu terpaku sebentar. Mengamati dalam diam. Tapi, tak elak tersirat hasrat kekhawatiran yang besar.
Ia maju mendekat agak masuk ke dalam. Mengangkat tangannya di depan dahi si istri. Guna merasakan suhu tubuhnya.
" Are you okay? " Tanyanya.
" Yes, I'm okay mas. Ini hal biasa. Biasa terjadi di setiap ibu hamil. " Jawab Inaya cepat. Merasakan raut kekhawatiran Abimanyu yang begitu kentara.
" Are you sure? Muka kamu pucat banget, sayang. Let's go to the hospital! "
Tangannya masih membingkai wajah sang istri. Sesekali melakukan pijatan kecil-kecil di area tengkuknya juga.
" Rumah sakit? No, mas. Ngga perlulah. Aku baik-baik aja kok. Ini juga udah mulai membaik. Mualnya juga udah reda dikit. " Jawabnya lagi untuk meyakinkan Abimanyu.
Dia itu lelaki pintar. Sangat sulit untuk menutupi sesuatu darinya. Jadi, Inaya harus berhati-hati.
" Tapi, mas khawatir banget, loh. Memangnya ada orang hamil yang seluruh tubuhnya pucat gini? Kamu kelihatan lemas juga. Diperiksa ke dokter aja, ya. Daripada mas dalam kebimbangan gini. " Raut wajah Abimanyu kembali cemas.
" Mas ... Look! Aku gapapa. Dengan istirahat yang cukup. Kondisi ku bakalan membaik lagi, kok. Lagian, inikan udah larut malam. Kasihan kamu harus istirahat total buat aktivitas besok.
Gini aja deh. Besok selepas kamu berangkat ke kantor, aku ajak pak Rahman buat check up. Gimana? "
Hanya itulah satu-satunya alibi logis yang bisa diutarakannya.
Abimanyu terdiam cukup lama. Ia menatap Inaya penuh cinta. Dan akhirnya setuju juga.
" Oke. But, kamu udah janji ya. " Desaknya lagi.
" Iya suamiku. I'm promise. Sekarang, kita tidur lagi, yuk! "
Kedua sejoli ini kembali naik ke atas ranjang. Abimanyu mengatur bantal empuk mereka sebaik mungkin. Tentunya dengan menumpukkan dua bantal untuk dirinya, dan satu bantal lagi untuk Inaya. Memposisikan nya agar terasa nyaman di kepala masing-masing.
Abimanyu terlebih dahulu merebahkan tubuh tegapnya. Kemudian disusul oleh Inaya di sampingnya.
Wanita itu diam-diam merasa tubuhnya sangat lemas. Ia beringsut sangat dekat ke suaminya tanpa ada celah.
Pergerakan kecil itu mampu membuka mata Abimanyu yang tadi sudah berangsur tidur. Ia pun melingkarkan tangan membelit pinggang ramping sang istri. Mendekapnya erat-erat.
Seulas senyum terbit. Ia menarik selimut sampai dada agar perempuan itu tak kedinginan.
Inaya tenggelam sepenuhnya dekapan hangat itu. Ia makin gencar menenggelamkan wajah di dada bidang suaminya.
Perlahan nafas terdengar berhembus teratur. Suami istri itu tidur dalam keadaan saling berpelukan hingga fajar menyingsing.
****
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Cerah sekali cuaca hari ini. Setelah tadi malam hujan deras mengguyur seluruh Jakarta. Memberikan kesejukan dan ungkapan rasa syukur bagi tumbuh-tumbuhan yang disiraminya.
Aroma jalanan setelah diguyur deras tadi malam sangat menenangkan. Para Insan kembali melakukan aktivitas masing-masing seperti biasanya.
Ada yang sudah berseragam rapi siap ke tempat kerja. Anak-anak berseragam merah putih yang lewat depan gerbang rumah juga siap untuk menimba ilmu lagi. Emak-emak ikut serta sibuk berburu angkot. Dengan daster keramat dan tas belanja di tangan. Siap mengangkut segala jenis sayur-mayur, ikan, daging dan segala macamnya lagi di pasar.
Menguap sebentar, Inaya kembali masuk ke dalam rumah. Setelah puas menikmati suasana pagi di halaman depan. Ia kembali melakukan aktivitas nya sebagai seorang istri.
Jalanan yang macet membuat Abimanyu hampir mengumpat keras. Tapi, ia urungkan dengan memukul stir sedan mahalnya sebagai pelampiasan.
Baru saja tadi ia dapat telfon dari sekretaris nya bahwa hari ini ada jadwal pertemuan dengan klien penting perusahaan.
Kalau sudah begini. Bagaimana bisa ia datang tepat waktu.
Suara klakson dari belakang dan depannya silih berganti memekakkan telinga. Pandangannya masih lurus ke depan. Harap-harap ada keajaiban yang bisa mengurangi kemacetan pagi ini.
Ia meraih ponsel di saku celananya. Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Aish, ia sudah sangat terlambat.
Ia tak boleh kehilangan kesempatan kerja sama dengan tamu penting tersebut. Ya, memang sudah tak heran. Abimanyu adalah sosok yang sangat cinta akan pekerjaannya.
Selang 15 menit berlalu, ada suara heboh dari seberang jalan di zebra cross persis depan toko ponsel.
Abimanyu mengernyitkan dahinya. Awalnya tak mau peduli. Namun, pemandangan selanjutnya membuat ia tak bisa berdiam diri.
Di situ, seorang wanita yang kelihatannya seumuran dengannya sedang di pukuli seorang lelaki. Laki-laki bermasker itu terus-menerus menghantamkan tangannya ke wajah si wanita.
Jangan ditanya bagaimana lagi kondisinya. Lebam di pipi. Rahangnya bengkak. Dan luka robek di sudut kanan bibirnya.
Melihat itu, tergerak iba di hati Abimanyu. Tak ada niat lain. Ia hanya ingin menolong wanita yang tak berdaya itu. Sehingga, dengan cepat melepas tali sabuk pengaman dan langsung keluar menuju ke arah sumber kehebohan.
Aneh sekali, pikirnya. Mengapa manusia-manusia lain yang berlalu-lalang itu seolah tak melihat kejadian ini? Mengapa tak ada yang menolong wanita malang dari lelaki bajingan itu?
Abimanyu geleng-geleng kepala. Fokusnya sekarang adalah wanita itu. Langkahnya hampir sampai. Ia mendengar sedikit apa yang diperdebatkan mereka.
" Perempuan tak tau diri. Aku minta uang dikit aja kamu tak mau kasi? Durhaka kamu. " Hardik lekaki bermasker garang.
" Mas, bukan gitu. Uang kita ini aku kumpulin buat biaya persalinan nanti. Untuk biaya kelahiran anak kita. " Wanita itu menjawab dengan nada gemetar. Tangannya memeluk perut. Seolah melindunginya dari apapun.
Abimanyu sedikit terkejut. Oh, Tuhan. Wanita itu sedang hamil ternyata.Walaupun perut nya belum terlihat buncit.
Fikirannya melayang ke Inaya. Bayangkan saja jika hal ini terjadi ke istrinya itu. Betapa sakit hatinya.
" Alah, alasan. Persetan dengan anak itu. Aku mau uang. Yang cari uang itu kan juga aku. Kalau aku menang dari judi nanti, aku bawa uang yang lebih banyak dari ini. Kamu ngerti ngga? Kamu itu istriku. Jangan bantah kemauan suami. " Sahut si lelaki yang baru diketahui adalah suami dari wanita hamil tersebut.
Kali ini, Abimanyu tak bisa bersabar lagi. Dilayangkan kepalan tangannya ke wajah lelaki itu sampai tubuhnya limbung ke tepi aspal.
Istrinya memekik kaget. Bola matanya membesar hampir keluar dari tempatnya.
Terkejut dengan keadaan yang tiba-tiba. Ia berniat memapah suaminya. Namun, tangannya dihempas kasar ke samping.
Wanita itu mendongak kepada lelaki tampan yang masih berdiri tegap sehabis memukuli suaminya.Keberadaannya tak tergoyahkan barang sedikit.
Wanita hamil tersebut melihat gerak-gerik lelaki asing ini yang sudah menuju ke arah suaminya yang terbaring.
Susah payah sang suami bangkit. Ia membuang saliva yang sudah bercampur darah ke sembarang arah.
" Siapa kamu? Kenapa tiba-tiba mukul saya? Saya ngga kenal kamu. " Tanyanya. Matanya tajam menatap Abimanyu.
" Saya? Ngga perlu tau siapa saya. Yang jelas, kamu udah berani semena-mena memperlakukan istrimu dengan buruk. Laki-laki macam apa kamu? " Abimanyu menjawab santai.
" Jangan ikut campur! Ini urusan pribadi kami. Pergi! Atau saya akan laporkan kamu ke polisi atas penyerangan tiba-tiba ini. "
" Silakan! Saya juga bisa melaporkan kamu atas kasus KDRT. Saya sempat dengar tadi, kamu juga berjudi. Itu udah cukup jadi bukti untuk menjebloskan kamu ke penjara. Gimana? " Balas Abimanyu tenang.
Seketika tubuh lelaki bermasker itu memucat. Panik serentak mendera. Tatapannya penuh dendam. Tapi, mulai melangkah mundur.
Sebelum meninggalkan tempat itu. Ia masih sempat menatap tajam ke istrinya. Kemudian beralih ke Abimanyu.
" Urusan kita belum selesai. Suatu hari, saya akan bikin perhitungan sama kamu. " Ujarnya kemudian berlalu.
Abimanyu menghembuskan nafasnya perlahan. Menatap iba ke wanita yang sejak tadi masih berdiam disitu. Gerakannya pelan agar tak membuat objek di depannya ketakutan.
" Makasih banyak, mas. Saya ngga tau apa yang bakal terjadi kalau mas ngga datang nolong saya. "
" Iya, sama-sama. Saya cuma berniat bantu. Saya pamit, dulu. " Tukas Abimanyu tanpa basa-basi.
Belum sempat wanita itu mengatakan kalimat selanjutnya. Abimanyu sudah berlalu pergi.
Sumpah serapah benar-benar keluar dari mulutnya sekarang. Walaupun suaranya tak besar.
Kurang ajar banget suami wanita itu. Gara-gara kehebohan yang dibuatnya, ia semakin terlambat sampai ke kantor.
Semoga saja, tamunya masih ada disana atau setidaknya mau me-reschedule pertemuan mereka lain waktu.
Ia menoleh sebelum masuk ke mobil. Hanya tersisa mobilnya saja di jalan itu. Ah, apakah selama itu dia disana tadi? Sampai tak dengar kalau kemacetan nya sudah usai. Huh, menyebalkan!
Tanpa diketahui, wanita hamil itu masih terus menatap lekat ke arah Abimanyu. Mengamati setiap gerak sampai mobilnya sudah tak lagi terlihat. Senyum terbit di bibirnya. Memandang ke arah jalan besar lagi dengan tatapan yang sulit diartikan.
****