Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Dewa Turun Di Jakarta
Gunung Meru bergemuruh, langit yang tadinya cerah kini diliputi awan pekat yang berputar, seolah merespons amarah Dewa Arka Dewa. Para dewa dan penghuni istana menunduk dalam ketakutan, merasakan tekanan ilahi yang memenuhi ruang singgasana.
Di tengah aula megah itu, Arjuna berdiri tegak, matanya penuh dengan kesombongan dan keangkuhan. Ia tidak merasa takut, tidak merasa bersalah. Baginya, ini hanyalah ujian lain yang akan membuktikan bahwa ia memang layak disebut sebagai yang terkuat.
“Ayah tidak perlu melakukan ini,” suara Arjuna penuh kepercayaan diri. “Aku adalah yang terbaik di antara semua dewa. Mengapa aku harus tunduk pada mereka yang lebih lemah dariku?”
Hening. Tidak ada satu pun yang berani berbicara. Bahkan para dewa agung hanya bisa menundukkan kepala.
Dewa Arka Dewa menatap putranya dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah kehancuran, Arjuna,” suaranya berat dan berwibawa. “Kau menolak untuk belajar. Kau menolak untuk memahami bahwa seorang dewa bukanlah sekadar makhluk terkuat, tetapi juga pemimpin dan pelindung.”
Arjuna mendengus. “Lalu mengapa kita harus peduli? Yang lemah harus tunduk pada yang kuat. Bukankah itu hukum alam?”
Seketika, suara petir menggema. Dewa Arka Dewa berdiri dari singgasana emasnya, matanya kini bersinar dengan cahaya kosmik. Namun, di balik ketegasan itu, ada kepedihan yang ia sembunyikan.
“Kesombonganmu telah membutakanmu, Arjuna. Kau bukan hanya mengabaikan tugasmu sebagai dewa, tetapi juga melupakan tanggung jawabmu sebagai putra seorang raja.”
Arjuna terdiam sejenak, namun ia tidak menunjukkan rasa gentar. “Lalu apa yang akan kau lakukan, Ayah? Mengurungku? Mendidikku dengan cara lama? Aku sudah terlalu kuat untuk dihukum.”
Dewa Arka Dewa menghela napas, bukan karena ragu, tetapi karena kesedihan. “Tidak, Arjuna. Aku akan mengambil kekuatanmu.”
Arjuna tersentak. Mulutnya terbuka, seolah ingin tertawa, namun di balik cemoohnya, ada kegelisahan yang mulai muncul. “Kau tidak bisa melakukan itu.”
“Aku bisa,” jawab Dewa Arka Dewa dengan tenang. “Dan aku akan melakukannya.”
Sebelum Arjuna bisa bereaksi, kilatan cahaya keemasan melesat dari tangan ayahnya, menyelimuti tubuhnya. Ia merasakan kekuatannya, kecepatan, ketahanan, dan energinya—semuanya dicabut darinya dalam hitungan detik. Tubuhnya melemas, dadanya naik turun dengan napas tersengal. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa... lemah.
“Cukup!”
Suara lembut namun penuh ketegasan bergema di aula istana. Dewi Laksmi, ibu Arjuna, melangkah ke tengah ruangan. Jubah putihnya berkibar, matanya memancarkan kasih sayang yang dalam.
“Suamiku,” suaranya bergetar, “aku memohon... berilah dia kesempatan kedua.”
Dewa Arka Dewa tidak menjawab segera. Tatapannya tetap pada Arjuna, yang kini berlutut lemah di hadapan mereka.
“Ia masih anak kita,” lanjut Dewi Laksmi. “Aku tahu ia keras kepala, aku tahu ia sombong, tetapi apakah tidak ada jalan lain? Tidak bisakah kita membimbingnya dengan cara yang lebih lembut?”
Sejenak, suasana menjadi hening. Para dewa menahan napas, menunggu keputusan Sang Raja Langit.
Akhirnya, Dewa Arka Dewa menggelengkan kepalanya. “Aku telah memberi Arjuna banyak kesempatan, Laksmi. Ia tidak belajar. Ia tidak mendengar.”
Dewi Laksmi melangkah mendekat, menggenggam tangan suaminya. “Ia masih muda, ia masih bisa berubah.”
Namun, Dewa Arka Dewa tetap pada keputusannya. “Ia harus belajar dengan cara yang lebih keras.”
Dewi Laksmi menggigit bibirnya, menahan air mata. Ia tahu suaminya bukanlah dewa yang kejam, tetapi keputusan ini begitu menyakitkan.
Dewa Arka Dewa kembali menatap putranya. “Kau akan turun ke dunia manusia, Arjuna. Tanpa kekuatan, tanpa kemewahan, tanpa kebanggaan. Kau akan hidup sebagai salah satu dari mereka, merasakan penderitaan mereka, memahami arti menjadi lemah.”
Arjuna menatap ayahnya dengan mata penuh kemarahan. “Kau tidak bisa melakukan ini!”
Tapi sudah terlambat. Dengan satu ayunan tangan, tubuh Arjuna diterbangkan ke langit, melesat meninggalkan Gunung Meru.
Dewi Laksmi menatap putranya yang menghilang dalam cahaya, sebelum akhirnya ia menunduk. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh.
Dewa Arka Dewa berdiri diam, matanya tertuju pada tempat terakhir Arjuna terlihat. Suaranya lirih, hampir tak terdengar.
“Semoga kau menemukan jalanmu, putraku...”
Langit malam Jakarta tahun 2026 berpendar dengan cahaya lampu kota. Gedung pencakar langit berdiri megah, sementara jalanan dipenuhi kendaraan yang terus melaju tanpa henti. Di antara kebisingan klakson dan kerumunan manusia, sebuah cahaya keemasan tiba-tiba membelah langit, melesat dengan kecepatan luar biasa.
Tubuh Arjuna terlempar dari dimensi surgawi, jatuh menembus awan sebelum akhirnya menghantam sebuah jalanan sepi di pusat kota. Debu dan serpihan aspal beterbangan akibat benturan keras.
Arjuna terbaring di atas aspal yang panas, tubuhnya terasa berat, tidak seperti sebelumnya. Ia mencoba bangkit, tapi rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Tangannya menyentuh dada, merasakan detak jantung yang aneh—lemah, seperti manusia biasa.
“Apa... yang terjadi?” gumamnya, matanya masih buram mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan asing ini.
Ia masih mengenakan pakaian kebesarannya sebagai pangeran dewa—jubah emas dengan ukiran motif awan dan angin, gelang serta sabuk dari batu permata yang menyala samar. Namun, semua itu kini hanya sekadar pakaian, tanpa kekuatan ilahi yang menyertainya.
Langkah kaki terdengar mendekat. Seorang pria berjaket kulit dengan wajah penuh curiga berhenti beberapa meter darinya. “Gila... Gue ngeliat lu jatuh dari langit, bro.”
Seorang wanita muda dengan hoodie hitam ikut mendekat, wajahnya bercampur antara terkejut dan ketakutan. “Dia pakai cosplay atau beneran alien?”
Arjuna menatap mereka dengan tatapan tajam, mencoba menegakkan punggungnya. “Kalian... siapa?”
Pria itu melipat tangan. “Harusnya gue yang nanya. Lu siapa? Kenapa tiba-tiba muncul dari langit kayak meteor?”
Arjuna mencoba berdiri, tapi lututnya gemetar. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—kelemahan.
Seketika, sirene polisi terdengar mendekat. Beberapa petugas berlari ke arah mereka, senter-senter dinyalakan ke wajah Arjuna.
“Berhenti di tempat! Angkat tangan!”
Arjuna menatap mereka dengan penuh kebingungan. Dalam pikirannya, tidak ada satu pun dari manusia ini yang layak memberi perintah kepadanya. Tapi tubuhnya... tubuhnya tidak lagi merespons seperti dulu.
Salah satu polisi berbisik ke rekannya, “Pakaian aneh, bisa jadi orang ini dari sekte atau kelompok ekstremis.”
Tanpa berpikir panjang, salah satu polisi mendekat dan meraih bahu Arjuna, berniat menahannya.
“Lepaskan tanganmu dari tubuhku, manusia lemah!” seru Arjuna.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Polisi itu dengan mudah mendorongnya hingga ia tersungkur ke tanah.
Arjuna terdiam. Ia menatap tangannya sendiri, mencoba merasakan kekuatan yang seharusnya mengalir di tubuhnya. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada tenaga super, tidak ada kecepatan luar biasa, tidak ada aura ilahi.
Ia kini benar-benar manusia biasa.
Sebelum ia bisa berbuat sesuatu, polisi lain memborgol kedua tangannya. Dingin logam menyentuh kulitnya, sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya.
“Bawa dia ke kantor,” perintah salah satu petugas. “Kita cari tahu siapa dia.”
Arjuna, sang pangeran dewa, sang pejuang terkuat di Gunung Meru, kini tak lebih dari seorang pria asing yang terjebak di dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa status, dan tanpa tujuan.