Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Nomor induk mahasiswa kami hanya berbeda satu angka. Karena itu, setiap ujian akhir bangku ujian selalu ditentukan berdasarkan absen. Aku dan dia pun selalu duduk bersebelahan. Ujian akhir semester 3 mungkin jadi titik awal aku menaruh perasaan padanya. Rasa penasaran berubah menjadi ketertarikan, lalu tanpa sadar menjadi rasa suka.
Selama semester 4, aku hanya berani memperhatikannya dari jauh. Tidak pernah mengajaknya bicara, hanya diam sambil berharap. Tidak terasa, sudah masuk semester 5.
Kata orang, di dunia perkuliahan tidak ada kubu pergaulan. Tapi itu tidak benar. Entah sejak kapan aku sudah masuk ke golongan anak pintar yang aktif dan mudah bersosialisasi. Sementara itu, ada kelompok yang hanya bergaul dengan orang yang sama setiap hari. Lya, dia beda lagi—penyendiri, sulit didekati.
Dia tidak banyak bicara. Duduk di tengah kelas, tidak terlalu depan atau belakang. Kalau diajak mengobrol, jawabnya selalu singkat sampai orang akhirnya menyerah. Aku sering memperhatikan orang-orang yang suka sendiri; biasanya mereka tampak bebas dan tenang. Tapi Lya tidak. Wajahnya seperti menyimpan beban.
Anak itu berpenampilan sederhana: rambut hitam panjang, terkadang rapi terkadang berantakan. Selalu mengenakan outer kemeja kusut, inner berkerah tinggi hitam atau putih, celana panjang kain longgar, dan tas jinjing. Santai, khas anak kampus. Tapi di dirinya ada sesuatu yang suram, seolah menyimpan dunia yang gelap dan sunyi.
Teman-teman sekelas segan mendekatinya. Tapi aku, justru makin penasaran. Kadang, saat seseorang berhenti mencoba bicara dengannya, ekspresinya tampak kecewa. Dari hal-hal kecil seperti itu, perhatianku padanya tumbuh semakin dalam. Mungkin terdengar seperti penguntit, tapi aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya Lya.
Apakah dia kesepian? Ingin punya seseorang untuk diajak bicara? Aku sering membayangkan—kalau aku mendekatinya, apa reaksi yang akan kau tunjukkan? Akan senang? Gugup? Atau malah menjauh?
Jika aku sampai bisa memilikimu, mungkin aku akan menangis bahagia. Kedengarannya berlebihan, tapi kali ini aku benar-benar ingin mencintai seseorang dengan tulus. Selama ini aku hanya menerima cinta, bukan memperjuangkannya. Dulu aku pernah berpacaran jarak jauh, dan hubungan itu berakhir karena aku tidak cukup perhatian. Aku sempat merasa sedih karena kupikir aku mencintainya, tapi ternyata aku hanya merasa bersalah.
Namun perasaanku pada Lya berbeda. Aku tidak pernah sebegini tergila-gila memperhatikan seseorang. Aku tidak peduli jika orang lain sadar aku sering meliriknya—saat ia masuk kelas, saat belajar, bahkan saat dijemput pria berparas cantik yang terlihat dewasa. Sejak itu aku mulai cemburu, meski Lya bukan milikku.
Aku ingin tahu siapa pria itu. Mungkin keluarganya? Aku tidak mau menyimpulkan sendiri dan menyesal karena menahan perasaan. Karena Lya satu-satunya yang membuatku kehilangan kendali, meski biasanya aku selalu tenang.
Sampai akhirnya, di tengah semester 5, aku seperti kerasukan. Saat Lya berjalan sendirian sepulang kuliah dan tidak ada orang di sekitar, aku mengejarnya. Dengan spontan, aku menggenggam tangannya untuk menghentikannya.
”Aku menyukaimu! Jadilah pacarku, Lya!” Segera kuserukan pernyataan itu.
Wajah Lya terkejut bukan karena pernyataanku tetapi karena sentuhanku yang tiba-tiba. Dia segera menepisnya dan menatap tajam padaku.
”Kau gila? Memangnya kita saling kenal?” itulah yang dia katakan sambil melemparkan ekspresi tidak senang. Hatiku seketika berdenyut, sakit.
Reaksi yang selama ini kubayangkan hancur lebur, tidak ada dari semuanya yang menjadi kenyataan. Sekarang bahkan aku menerima sedikit makian dan tatapan tidak senang walau itu juga salahku.
”Maaf... Aku terburu-buru...” Payahnya aku malah terbata ”Aku selama ini menyukaimu... mungkin sudah sejak semester 3... jadi... aku ingin mengatakannya... Kau tahu? Semester depan kita semua akan sulit bertemu karena ada magang dan lain-lain...”
Aku menunduk, wajahku panas sampai sepertinya air mata hampir keluar. Mendapatkan keheningan dari Lya membuatku bertambah gugup. Beberapa detik, aku mencoba mengangkat pandanganku kembali padanya.
”Maaf, aku tidak bisa jadi pacarmu dan aku tidak ingin mengenalmu juga,” kata Lya tegas.
Sebelumnya aku mengatakan akan menangis terharu jika diterima, tapi aku tidak menyangka akan langsung menangis saat itu juga setelah justru mendengar penolakannya. Menyesal, sedih, dan malu menjadi satu dalam diriku. Pandanganku buram karena tumpukan air mata. Tidak mau terlihat lebih payah lagi, aku hendak berbalik dan pergi meninggalkan Lya setelah melontarkan kata maaf, tapi kejadian selanjutnya sukses menelan air mataku.
”Tunggu!” Kini giliran Lya yang menarik tanganku, membalikkan badanku hingga kembali menatapnya. Yang membuat mataku melotot, dua tangannya menghimpit pipiku dan mengusap air mataku. ”Aku berubah pikiran! Aku akan pacaran denganmu, kumohon?” Perkataan selanjutnya membuatku bingung sehingga aku semakin tidak ingin menangis.
Aku, biasanya dipanggil Ben, anak lelaki berumur 20 tahun yang saat ini sedang menjalani perkuliahan semester 5 di jurusan hubungan internasional di kampus ternama. Seperti mahasiswa pada umumnya, pasti akan ada yang menjalin kisah cinta indah yang didambakan ada juga yang tidak. Aku termasuk orang yang menjalani kisah cinta masa kuliah itu, hanya saja ternyata kisah cintaku sedikit lebih rumit dan pahit dibanding yang kuimpikan. Saat itu aku tidak tahu, kalau aku akan mendapatkan pelajaran hidup lewat perempuan bernama Lya karena selama ini telah mempermainkan cinta yang diberikan padaku selama ini.
”Hueeeeeee! Terimakasih, Lyaaa!” aku di saat itu benar-benar menangis semakin heboh meski Lya sudah sengaja mengusap air mataku.
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿