Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1
Usai menunaikan shalat Dzuhur berjamaah, suara lantang namun menenangkan milik Ustadz Yassir Qayyim menggema dari mimbar masjid yang megah di jantung kota.
Dengan wajah teduh dan sorot mata yang tajam namun bersahaja, ia membawakan ceramah bertema “Menjaga Hati dalam Zaman Fitnah.”
Ratusan jamaah larut dalam setiap untaian kata yang keluar dari bibir sang ustadz muda nan karismatik itu.
Termasuk satu sosok yang sejak awal tak pernah mengalihkan pandangannya seorang perempuan cantik yang duduk di saf perempuan, memakai hijab modern berwarna olive, pakaian yang pas di tubuhnya namun tetap menutup aurat. Tatapannya tajam, fokus ada sesuatu di balik sorot matanya.
Namanya Zamara Nurayn.
Di sebelahnya, dua sahabatnya ikut hadir: Aqila dan Laira. Mereka tahu betul misi apa yang dibawa Zamara hari ini.
Begitu ustadz Yassir menutup ceramahnya dengan doa yang syahdu, Aqila dengan pelan menepuk paha Zamara. Ia mencondongkan tubuh, berbisik di telinga sahabatnya itu dengan senyum penuh arti.
"Aku yakin dia akan kaget setengah mati, Zam. Tapi ingat jangan mundur," bisiknya lirih.
Zamara hanya mengulas senyum smirk. Namun belum sempat menjawab, Laira ikut menambahkan dengan desisan pelan yang hanya bisa didengar oleh mereka bertiga.
“Zamara, kami tunggu hasilnya...”
Dengan langkah anggun yang tak menggugurkan wibawa, Zamara berdiri dari posisi duduknya.
Matanya masih menatap ustadz Yassir yang sedang menyalami beberapa jamaah pria di bagian depan. Sementara mata jamaah perempuan lain mulai melirik-lirik, bertanya-tanya.
Dengan keyakinan penuh dan aura misterius yang membuat suasana mendadak sunyi, Zamara mendekat ke arah sang ustadz.
Langkahnya mantap, tidak terburu-buru, namun menuntut perhatian.
Lalu, tepat di hadapan sang ustadz yang terkejut melihatnya berdiri begitu dekat Zamara menyapa dengan suara yang tenang namun membuat udara seakan menegang.
"Assalamualaikum, Ustadz. Maukah kamu menikah denganku dan menjadi suamiku?”
Seketika, waktu seolah berhenti berputar di dalam masjid megah itu.
Jamaah laki-laki yang baru saja bersalaman dengan sang ustadz, serempak menoleh.
Jamaah perempuan yang masih duduk di shaf belakang saling berpandangan, menciptakan gelombang bisik-bisik yang cepat menyebar. Beberapa bahkan terdengar menarik napas panjang.
Mata semua orang kini tertuju pada Zamara Nurayn.
Sorot matanya tak goyah. Wajahnya bersinar oleh pantulan cahaya dari kaca patri masjid, memperkuat auranya yang misterius sekaligus menantang.
Ustadz Yassir Qayyim, yang sejak tadi berdiri tenang, sempat terpaku. Wajahnya tak menunjukkan keterkejutan berlebihan, namun dari caranya mengerutkan alis dan menatap Zamara dalam-dalam jelas ia tak menyangka sama sekali.
Lelaki itu diam. Sunyi menyergap seisi masjid, hanya suara kipas angin langit-langit yang berdengung pelan menemani ketegangan itu.
Sementara itu, di belakang sana, Aqila dan Laira saling melempar senyum kemenangan. Mereka sudah tahu Zamara tidak akan mundur. Dan tak ada yang bisa benar-benar menolak jika perempuan itu sudah turun tangan sendiri.
Zamara lalu berkata lagi, kali ini dengan suara sedikit lebih pelan, namun tetap penuh keyakinan.
"Aku tahu caraku tidak biasa, Ustadz. Tapi aku tidak ingin menyesal hanya karena memilih diam."
Beberapa jamaah mulai mengangkat ponsel mereka, merekam momen yang tak lazim itu. Seorang takmir masjid mencoba memberi kode untuk menghentikan situasi, namun semuanya sudah terlanjur pecah.
Ustadz Yassir akhirnya menarik napas, menurunkan pandangannya sejenak, lalu menatap Zamara kembali dengan nada suara yang tenang namun tegas.
Seketika suasana masjid yang tadinya khusyuk berubah menjadi riuh. Bukan karena suara keras, melainkan bisik-bisik tajam dan berdesing yang menyebar cepat seperti percikan api di antara rumput kering.
Beberapa jamaah perempuan menutupi mulutnya, syok namun tak bisa menahan rasa ingin tahu.
“Astaghfirullah... zaman sekarang perempuan melamar laki-laki di masjid?”
“Eh tapi dia cantik banget sih, kayak artis sinetron...”
“Kaya’nya aku pernah lihat dia di billboard dekat mall, bukan dia yang jadi model hijab itu?”
“Tapi bajunya agak ketat masya Allah, berani betul.”
Sementara di sisi laki-laki, komentar tak kalah berwarna mulai terdengar, sebagian dengan suara pelan, sebagian lagi tanpa sadar cukup keras.
“Terima saja, Pak Ustadz. Ini rezeki namanya!”
“Waduh... cantik begini yang ngelamar, kok saya bukan ustadz ya?”
“Baru kali ini saya lihat dakwah ditutup dengan lamaran dadakan, luar biasa.”
“Ustadz... kuatkan iman, jangan lihat casing dulu, lihat isinya!”
“Kalau saya sih langsung bilang iya, tapi kan saya bukan Ustadz Yassir.”
Salah satu jamaah tua bahkan berdecak sambil berkata dengan logat khas, “La haula wala quwwata illa billah... anak zaman sekarang memang tak punya malu tapi, cantik betul naknya, tak salah juga kalau ustadz terima, hehe…”
Zamara tetap berdiri dengan anggun. Ia sudah memperhitungkan semua ini. Ia tahu akan ada cibiran, desas-desus, bahkan mungkin tudingan.
Tetapi ia juga tahu: banyak dari mereka yang diam-diam mengagumi keberaniannya. Apalagi wajahnya memang menawan, tatapannya tajam, auranya memikat.
Sementara Ustadz Yassir masih berdiri tenang di tempatnya. Tak tersenyum, tak menolak. Belum menjawab. Tapi dari caranya memandangi Zamara ada sesuatu yang bergerak di dalam dadanya. Entah karena rasa iba, kagum, atau masa lalu yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan.
Suara bisik-bisik belum sepenuhnya reda ketika Ustadz Yassir Qayyim akhirnya membuka suara. Ia memandangi Zamara lekat-lekat, menelusuri keteguhan dalam sorot matanya.
Lalu, dengan nada dalam, pelan namun tegas, ia berkata, "Menjadi istriku... tidak mudah."
Ucapan itu seketika membuat suasana kembali hening.
"Aku bukan laki-laki yang ringan tanggungan. Aku punya amanah besar. Tujuh orang anak, dan kedua orang tuaku yang sudah sepuh tinggal bersamaku. Apakah kamu bersedia merawat mereka, bersabar dengan kehidupanku yang jauh dari gemerlap dunia yang mungkin selama ini kamu kenal?"
Seketika mata jamaah membesar. Tujuh anak? Beberapa bahkan terdengar terkejut.
Namun Zamara, tanpa ragu sedikit pun, menatap sang ustadz dengan penuh keyakinan. Tubuhnya tegak, wajahnya mantap, dan tanpa menunggu satu detik pun.
"Iya. Aku bersedia."
Suaranya lantang, Jelas dan tak ada getaran ragu.
Jamaah kembali gempar. Kali ini bukan hanya karena keberaniannya, tapi karena ketulusan di balik ucapannya. Tidak ada keraguan dan tidak ada basa-basi.
Bahkan Ustadz Yassir, untuk pertama kalinya, terlihat kehilangan kata. Bibirnya terkatup, matanya berkedip perlahan.
Hatinya seperti diguncang oleh keteguhan perempuan itu. Bukan sekadar kecantikan yang menonjol dari Zamara melainkan keberanian untuk memikul tanggung jawab yang belum tentu sanggup dilakukan oleh banyak wanita.
Di sudut saf perempuan, Aqila dan Laira menunduk menahan senyum, seperti sedang menyaksikan bagian awal dari sesuatu yang lebih besar.
Dan di antara semua bisik-bisik itu, terdengar satu suara pria muda di saf belakang yang berbisik ke temannya:
“Fix, dia bukan perempuan biasa. Ustadz pasti gak akan bisa menolaknya sekarang…”
Setelah mendengar jawaban lantang Zamara, Ustadz Yassir kembali menatapnya dalam-dalam.
Ada jeda sejenak, seolah memberi ruang pada suara hati yang sedang bicara lebih keras daripada logika.
Ia tidak langsung tersenyum, tidak pula menunjukkan penolakan. Tapi dari sorot matanya, tampak ia sedang menimbang sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar ucapan.
Lalu, dengan suara yang tenang dan karismatik, ia berkata,
"Apakah kamu yakin dengan keputusanmu ini, Zamara Nurayn?"
Seluruh jamaah terdiam lagi. Nama lengkap Zamara disebut. Ustadz Yassir jelas tidak main-main.
"Menikah bukan hanya tentang cinta, bukan tentang keberanian melamar di depan umum. Tapi tentang kesetiaan, keteguhan, dan kesanggupan memikul beban yang tidak ringan. Aku punya anak-anak yang sedang bertumbuh. Orang tua yang renta. Waktu, hati, dan tenagaku tidak lagi milik pribadi. Jika kamu masuk dalam hidupku, kamu akan menjadi bagian dari perjuangan panjang, bukan sekadar cerita indah."
Zamara masih menatapnya tatapannya tidak bergeming.
"Aku yakin, Ustadz. Dan aku tidak datang hari ini hanya karena keberanian. Tapi karena aku percaya Allah menaruh sesuatu dalam hatiku yang tidak bisa kuabaikan begitu saja."
Kata-katanya tidak keras. Tapi cukup untuk membuat beberapa jamaah menahan napas.
Ustadz Yassir pun mengangguk perlahan. Lalu, dengan kalimat yang membuat semua kepala menoleh dan dada terasa bergetar, ia berkata:
"Kalau kamu sudah yakin datanglah ke rumahku malam ini. Sendirian. Di Jalan Al-Hikmah nomor 17, selepas Isya."
Terjadi keheningan seolah azan Maghrib tiba-tiba berkumandang di siang hari.
Beberapa jamaah tak bisa menahan diri untuk kembali berbisik.
“Ya Allah... ini serius banget.”
“Jangan-jangan Zamara memang ditakdirkan untuk ustadz itu.”
“Malam ini? Di rumahnya? Astaghfirullah tapi kok penasaran ya…”
Sementara Zamara hanya mengangguk pelan. Senyum tipis muncul di wajahnya. Senyum penuh misteri dan tekad.
Ia membalikkan badan dengan tenang, meninggalkan area depan masjid. Langkahnya tetap elegan, tidak terburu-buru, dan penuh wibawa.
Aqila dan Laira segera menyusul dari belakang dengan mata berbinar. Mereka tahu dan malam ini bukan sekadar kunjungan biasa. Ini awal dari takdir besar.
POV Ustadz Yasir Qayyim
Aku nyaris kehilangan kata-kata.
Suasana majelis selepas kajian sore itu masih hening, seolah menunggu aku bicara, namun lidahku kelu. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri mengalahkan suara kipas masjid yang berdengung lembut di langit-langit.
Beberapa jamaah melirikku sebagian terkejut, sebagian lain menahan senyum geli yang sopan. Tapi aku?
Aku menatap perempuan itu. Zamara Nurayn. Nama yang beberapa kali kudengar disebut oleh beberapa ibu-ibu jamaah. Perempuan muda berusia dua puluh tiga tahun, cerdas, santun, dan… ya, tak bisa dipungkiri: cantik.
Dia berdiri di hadapanku dengan keberanian yang belum pernah kulihat dari seorang muslimah seusianya. Berjilbab dengan gaya modern tapi tetap syar’i, sorot matanya jujur, tidak bergetar sedikit pun ketika mengucapkan kalimat yang mengguncang hatiku barusan.
"Ustadz Yasir Qayyim… izinkan saya menjadi istri Anda, bukan hanya sebagai pengagum ilmu, tapi sebagai teman perjalanan menuju Allah."
Aku memejamkan mata sejenak. Dalam diam aku beristighfar.
Bukan karena aku marah. Bukan karena aku tersinggung. Tapi karena aku takut... pada fitnah.
Aku bukan lelaki sempurna. Meski orang-orang memanggilku "ustadz", aku tetap manusia. Kalimatnya barusan seperti panah yang menghunjam langsung ke sisi terdalam hatiku—tempat yang selama ini kujaga rapat dari keterikatan dunia.
Dan dia datang mengetuk pintu itu tanpa malu, dengan keyakinan, dan ketulusan.
"Zamara," akhirnya aku membuka suara, lirih tapi cukup terdengar oleh semua yang hadir. Aku melihat beberapa kepala menoleh semakin mendekat, penasaran dengan reaksiku.
"Saya... bukan lelaki yang mudah tergoda. Tapi saya juga bukan Nabi yang maksum. Apa yang kamu lakukan ini… luar biasa, berani, dan mungkin... tulus. Tapi kau juga sedang menaruh beban besar di pundak seorang laki-laki yang selama ini hanya ingin menundukkan diri di hadapan Tuhan, bukan di hadapan decak kagum manusia.”
Matanya masih memandangku tajam, tapi tak menantang. Tidak ada tanda-tanda main-main dalam wajahnya. Hanya tekad. Dan rasa yakin.
Aku menarik nafas panjang. Hatiku berkecamuk. Jika ini ujian, maka ia bukan dari setan, tapi dari Allah sendiri. Lalu apa tugasku? Menolaknya begitu saja? Menyeret namanya ke rasa malu di depan banyak orang? Atau justru mempertimbangkan bahwa mungkin, dia memang utusan takdir?
Aku menunduk, menatap lantai masjid yang bersih. Ya Allah… beri aku petunjuk.
Karena hari ini, bukan aku yang melamar tapi aku yang dilamar.
Dan aku tak tahu apakah ini awal dari fitnah atau awal dari nikmat yang belum bisa kusambut.
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah