NovelToon NovelToon
Gadis Jalanan Pewaris Mahkota

Gadis Jalanan Pewaris Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kim Yuna

Setelah terusir dari rumah dan nyaris menjadi korban kebejatan ayah tirinya, Lisa terpaksa hidup di jalanan, berjuang mati-matian demi bertahan.

Ketika kehormatannya terancam, takdir mempertemukannya dengan Javier Maxim, CEO muda nan arogan, yang muncul sebagai penyelamat tak terduga.

Namun, kebaikan Javier tak datang cuma-cuma. "Tuan bisa menjadikan saya pelayan Anda," tawar Lisa putus asa.

Javier hanya menyeringai, "Pelayanku sudah banyak. Aku hanya memerlukan istri, tapi jangan berharap cinta dariku."

Dan begitulah, sebuah pernikahan kontrak pun dimulai. Sebuah ikatan tanpa cinta, yang hanya berfungsi sebagai kunci bagi Javier untuk mengklaim warisannya. Namun, seiring waktu, pesona dan kecantikan Lisa perlahan menyentuh hati sang CEO.

Seiring kebersamaan mereka, sebuah rahasia besar terkuak: Lisa bukanlah wanita sembarangan, melainkan pewaris tersembunyi dari keluarga yang tak kalah terpandang.

Mampukah cinta sejati bersemi di tengah perjanjian tanpa hati ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Usir

Pagi itu, mentari belum sepenuhnya merayap naik, sinarnya masih malu-malu mengintip di balik tirai jendela kamar Lisa.

Keheningan subuh yang syahdu tiba-tiba terusik oleh sebuah sentuhan dingin dan menjijikkan yang merayap di pergelangan kakinya. Lisa, yang masih terbalut mimpi indah tentang taman bunga yang bermekaran, mengerjapkan matanya perlahan.

Awalnya, ia mengira itu hanyalah sentuhan tak sengaja dari selimut yang melorot. Namun, sensasi itu semakin jelas, sebuah genggaman yang terasa asing dan mengancam.

Jantung Lisa berdegup kencang seperti genderang perang saat matanya menangkap sosok yang membungkuk di samping tempat tidurnya.

Dalam remang-remang cahaya subuh, ia mengenali wajah Bagas, ayah tirinya. Wajah yang selama ini berusaha ia hormati, kini tampak begitu mengerikan dengan tatapan mata yang penuh nafsu.

"Apa yang kau lakukan, Ayah?" bisik Lisa tercekat, suaranya bergetar menahan ketakutan yang membuncah.

Bagas menyeringai, mempererat cengkeramannya di kaki Lisa.

Bau alkohol samar-samar tercium dari napasnya yang panas.

"Sstt... ibumu sedang tidur nyenyak. Jangan ganggu dia. Lebih baik kau temani Ayah sekarang." Ucapan Bagas terdengar serak dan menjijikkan, membuat bulu kuduk Lisa berdiri.

Refleks, Lisa menarik kakinya sekuat tenaga, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan kasar itu.

"Tidak! Lepaskan aku!" teriaknya tertahan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Ia meronta, mencoba menggeliat menjauh dari sosok yang kini menjelma menjadi mimpi buruknya.

Bagas semakin beringas. Tangannya yang lain berusaha meraih tubuh Lisa, membuatnya semakin panik.

"Diamlah! Jangan membuat keributan! Kau pikir aku tidak tahu selama ini kau memperhatikanku?" bisiknya penuh ancaman.

Ketakutan Lisa mencapai puncaknya. Ia tidak punya pilihan lain.

Dengan sekuat tenaga yang tersisa, ia memekikkan sebuah teriakan yang memecah keheningan subuh.

"TIDAAAAK!"

Teriakan Lisa yang melengking memecah keheningan rumah. Maryam, ibu Lisa, yang terlelap di kamar sebelah, tersentak bangun.

Matanya yang masih sayu langsung menangkap suara teriakan putrinya yang penuh ketakutan.

Jantungnya berdebar tak karuan. Ada firasat buruk yang menyeruak di benaknya.

Beberapa jam yang lalu, ia dan Bagas baru saja berbagi keintiman. Kehangatan pelukan suaminya masih terasa samar di benaknya.

Bagaimana mungkin Bagas berada di kamar Lisa sekarang? Pikiran itu bagai petir yang menyambar di siang bolong.

Dengan langkah tergesa-gesa, Maryam berlari menuju kamar Lisa.

Pintu kamar putrinya sedikit terbuka, dan pemandangan yang menyambutnya membuatnya membeku di tempat. Ia melihat Bagas berdiri di samping tempat tidur Lisa, wajahnya tampak merah padam, sementara Lisa terduduk di ranjang dengan tubuh gemetar dan air mata membanjiri pipinya.

"Bagas! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Maryam dengan suara bergetar, antara bingung dan marah.

Bagas menoleh dengan wajah terkejut. Ia berusaha menyunggingkan senyum palsu.

"Eh, Maryam? Aku... aku hanya memeriksa Lisa. Dia tadi malam terlihat tidak enak badan," ucap Bagas panik bercampur gugup.

Alasan yang dibuat-buat itu terdengar begitu tidak masuk akal di telinga Maryam.

Namun, sebelum ia sempat mencerna lebih jauh, Lisa yang melihat ibunya berdiri di ambang pintu, langsung berhambur memeluknya, menangis terisak-isak.

"Ibu... Ibu... dia... dia mau..." Lisa tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tubuhnya bergetar hebat, dan kata-kata itu tercekat di tenggorokannya.

Maryam menatap putrinya dengan tatapan kosong. Ia melihat air mata dan ketakutan yang terpancar dari wajah Lisa.

Namun, entah mengapa, ia tidak bisa mempercayai apa yang tersirat di balik tangisan itu. Ia lebih memilih untuk mempercayai suaminya, lelaki yang baru beberapa tahun ini mengisi hari-harinya, lelaki yang telah memberinya kehangatan dan rasa aman setelah kesepian panjang sepeninggal ayah Lisa.

Sebuah pikiran buruk tiba-tiba melintas di benak Maryam.

Mungkinkah Lisa hanya mencari perhatian?

Mungkinkah putrinya itu cemburu padanya dan Bagas? Pikiran-pikiran irasional itu dengan cepat meracuni benaknya.

Tanpa diduga, Maryam melepaskan pelukan Lisa dengan kasar.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lisa, membuat gadis itu tersentak dan terdiam.

"Dasar anak tidak tahu diri!" bentak Maryam dengan mata berkilat marah.

"Berani-beraninya kau menuduh ayah tirimu yang tidak-tidak! Dia sudah baik padamu selama ini! Kau hanya ingin merusak kebahagiaan ibumu, kan?"

Lisa ternganga, merasakan pipinya perih bukan hanya karena tamparan fisik, tetapi juga karena kata-kata ibunya yang begitu menyakitkan.

Air matanya semakin deras mengalir. Ia tidak percaya ibunya lebih memilih mempercayai Bagas daripada dirinya, putrinya sendiri.

"Ibu... aku tidak bohong... dia..." Lisa mencoba membela diri, namun suaranya tercekat oleh rasa sakit dan pengkhianatan.

"Cukup!" potong Maryam dengan nada tinggi.

"Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi! Kau sudah keterlaluan! Pergi dari rumah ini! Jangan pernah kembali lagi!"

Kata-kata itu bagai belati yang menghujam jantung Lisa. Ia menatap ibunya dengan mata penuh luka dan kebingungan.

"Ibu mohon maafkan aku, jangan usir aku dari sini! Aku harus kemana?" Lisa berteriak histeris.

Bagaimana bisa ibunya yang selama ini ia sayangi, ibunya yang selalu melindunginya, kini tega mengusirnya seperti seorang pesakitan?

Maryam menarik tangan Lisa dengan kasar, menyeretnya keluar dari kamar.

Bagas hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan kejadian itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Ada sedikit keterkejutan di wajahnya, namun dengan cepat tergantikan oleh raut muka datar.

Lisa meronta lemah, air matanya terus mengalir tanpa bisa ia tahan. "Ibu... jangan begini... aku tidak punya siapa-siapa lagi..."

Namun, Maryam tidak bergeming. Ia terus menyeret Lisa hingga ke depan pintu rumah.

Tanpa belas kasihan, ia mendorong tubuh Lisa keluar dan menutup pintu dengan keras, meninggalkan Lisa berdiri terpaku di depan rumah dengan hanya pakaian tidur yang melekat di tubuhnya.

Lisa menatap pintu yang tertutup rapat itu dengan hati hancur berkeping-keping.

Ia tidak percaya ibunya tega mengusirnya tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan, tanpa memberinya sedikit pun pembelaan.

Rasa sakit fisik akibat tamparan ibunya tidak sebanding dengan rasa sakit hati dan pengkhianatan yang kini ia rasakan.

Ia berdiri di sana beberapa saat, tubuhnya menggigil bukan hanya karena dinginnya udara pagi, tetapi juga karena ketakutan dan keputusasaan yang mencengkeramnya.

"Aku harus kemana?" desah Lisa sambil menyeka air mata. Ia tak punya uang sepeser pun, hanya selembar kain yang melekat di tubuhnya. Rumah itu, peninggalan ayah kandungnya, kini tak lagi jadi tempat berlindung untuknya.

"Ayah, bagaimana ini? Tolong aku!" isaknya.

☘️☘️

Tangisan tanpa suara terus mengalir, membasahi pipinya yang terasa kebas.

Setiap embusan angin dingin yang menerpa kulitnya terasa seperti tamparan Maryam yang terulang.

Piyama tipis yang melekat di tubuhnya tak mampu menahan gigil yang datang bukan hanya dari udara pagi, tetapi juga dari ketakutan yang mencengkeram jiwanya.

Lisa menggosok-gosokkan kedua lengannya, berharap sedikit kehangatan bisa menghalau rasa dingin yang merayapi hingga ke tulang sumsumnya.

Pikirannya kalut, bercampur aduk antara amarah, kesedihan, dan kebingungan.

Bagaimana bisa ibunya, sosok yang seharusnya menjadi pelindung, tega mengusirnya begitu saja? Kata-kata pedas Maryam masih terngiang-ngiang di telinganya,

"Dasar anak tidak tahu diri! Pergi dari rumah ini! Jangan pernah kembali lagi!" Seolah-olah dialah yang bersalah, seolah-olah semua penderitaan ini adalah ulahnya.

Air mata yang terus mengalir membasahi pipinya terasa dingin, asin, dan pahit. Ia mencoba menghentikannya, mengusap kasar dengan punggung tangannya, tapi percuma. Sumbernya bukan di mata, melainkan di hati yang hancur berkeping-keping.

Perlahan, dengan langkah gontai, Lisa mulai menjauhi rumah yang dulunya adalah tempat berlindungnya.

Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya yang masih terasa perih. Ia berjalan tanpa tujuan, tanpa tahu ke mana kakinya akan membawanya.

Yang ia tahu pasti, ia telah kehilangan segalanya kehangatan keluarga, rasa aman, dan yang paling menyakitkan, kepercayaan dari ibunya sendiri.

Ia terus berjalan, menyusuri trotoar yang basah oleh embun. Kakinya terasa ngilu, sendal jepit yang ia kenakan tak mampu melindungi dari dinginnya aspal. Ia melihat sekeliling, jalanan masih sepi hanya ada beberapa motor yang melintas, melaju cepat tanpa memedulikan seorang gadis kecil yang tersesat di pagi buta.

Rasa lapar mulai merayap, perutnya keroncongan, namun ia tak punya uang sepeser pun.

Ia terus berjalan, melewati deretan rumah-rumah yang masih gelap, toko-toko yang belum buka, hingga tiba di sebuah pertigaan yang cukup ramai.

Di sana, sebuah pos keamanan kecil tampak menyala. Lisa sempat berpikir untuk meminta pertolongan, tapi ketakutan dan rasa malu membekapnya.

Bagaimana ia harus menjelaskan semuanya? Siapa yang akan percaya pada ceritanya? Kisah pelecehan yang dilakukan oleh ayah tiri dan disusul oleh pengusiran oleh ibu kandungnya sendiri? Bisakah ia menceritakan trauma itu tanpa air mata yang tak henti-hentinya mengalir?

Semakin cepat ia berjalan, semakin ia merasakan kekosongan yang mendalam. Kota kecil yang selama ini menjadi dunianya, kini terasa asing dan menakutkan.

Setiap sudut jalan, setiap rumah yang dilewati, tak ada satupun yang menawarkan harapan. Bau masakan pagi mulai tercium samar-samar dari rumah-rumah yang mulai beraktivitas. Aroma gurih nasi goreng, kopi, dan teh hangat menusuk hidungnya, memicu rasa lapar yang luar biasa. Perutnya bergemuruh, meronta minta diisi.

Tapi ia tak punya apa-apa. Tidak ada uang, tidak ada ponsel, tidak ada tas. Hanya piyama dan luka hati yang menganga.

Lisa hanya ingin menghilang, ingin rasa sakit ini berhenti. Namun, di tengah keputusasaan yang mendalam itu, ada secercah naluri bertahan hidup yang samar-samar berbisik di benaknya. Ia harus bertahan. Tapi bagaimana?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
Reaz
/CoolGuy//CoolGuy//CoolGuy/
yuniati sri
saya sangat mengapresiasi tulisan anda sangat berkesan
yuniati sri: lanjut thor, semangat 45
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!