Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Perubahan Sikap Bastian
Akhir pekan biasanya dipenuhi hiruk-pikuk orang kantoran yang sibuk berlibur, tetapi pemilik perusahaan suplai senjata internasional terbesar itu justru memilih rebah di atas ranjang king size miliknya.
Perutnya yang lapar akhirnya memaksanya turun ke ruang makan.
Namun, sesampainya di meja makan, ia tidak menemukan sosok penghuni baru yang biasanya selalu betah menempel di ruang tamu untuk menonton televisi.
Bastian menoleh ke kiri dan kanan, keningnya berkerut.
“Cari siapa, Tuan?” tanya Mbok Jena, sama bingungnya.
“Sena sudah sarapan?” suara Bastian dalam.
“Oh, Nona Sena tadi pergi dengan Tuan Arya. Pagi-pagi sekali Tuan Arya sudah datang.”
Sekejap tatapan Bastian berubah tajam. “Mereka ke mana?”
“Katanya sarapan bersama, Tuan.”
“Ravian?” ia bertanya lagi.
“Tuan Ravian juga pergi pagi-pagi sekali, tapi Mbok tidak tahu ke mana.”
Bastian hanya mengangguk singkat, lalu melanjutkan makannya. Namun, genggamannya pada garpu dan sendok terlihat makin mengeras, menandakan amarah yang ia tahan. Tatapannya menusuk pada makanan di depannya.
...****************...
Waktu berlalu hingga malam menjelang. Wanita yang ia tunggu-tunggu itu tak kunjung kembali. Rasa kesal menggerogoti dadanya.
Tepat pukul tujuh malam, pintu Penthouse terbuka. Sosok yang dinantinya muncul, dan di belakangnya, Arya dengan santai membawa beberapa tas belanja.
Tatapan Bastian tajam menusuk Sena, lalu beralih kepada Arya.
“Darimana kalian?” suaranya dingin.
Sena gelisah, jemarinya saling menggenggam. “Kami hanya sarapan, lalu… sedikit berbelanja,” jawabnya hati-hati.
“Dari pagi sampai malam?”
Arya tersenyum tipis. “Tenang saja, Bas. Kami hanya sarapan, belanja keperluan Sena, menonton film favoritnya, lalu berjalan-jalan sore di taman. Sena sedang hamil, jadi aku memastikan dia bahagia. Meski… bukan aku yang membuatnya mengandung.”
Kalimat terakhir Arya terasa seperti sindiran tajam. Rahang Bastian menegang. Ia melangkah maju, menatap Sena hingga wanita itu semakin menunduk.
“Kau begitu mudah membiarkan pria lain mengurusmu, Sena.”
Tanpa menunggu jawaban, Bastian berbalik menaiki tangga. Namun sebelum hilang dari pandangan, Bastian menoleh.
“Kau, Arya. Segera pulang”
“Dan kau Sena, kau ke kamarku.”
Arya hanya tersenyum penuh kemenangan dan berpamitan pulang pada Sena.
… … …
Dengan hati berdebar, Sena melangkah ke kamar Bastian. Ia sempat mengira akan dimarahi habis-habisan, tapi ternyata Bastian hanya meminta untuk menemaninya tidur.
Tanpa kata-kata kasar, tanpa amarah. Hanya keheningan.
Mereka pun terlelap. Namun, pukul dua dini hari, Sena terbangun. Perutnya tiba-tiba ingin sekali nasi goreng. Ia bangkit pelan, berusaha agar tidak membangunkan Bastian, lalu menuruni tangga menuju dapur.
Sena membuka kulkas besar, mencari bahan-bahan yang dibutuhkan, namun tidak menemukan semuanya.
Sena terdiam, mengingat-ingat kebiasaan Mbok Jena saat memasak. Pandangannya lalu beralih ke kulkas kecil di sudut ruangan.
Benar.
Di sanalah ia menemukan bahan-bahan yang dibutuhkan.
Sena mengambilnya dan menutup pintu kulkas itu. Namun ketika ia berbalik—
“AAAA!!” jeritnya keras.
Di belakangnya berdiri sosok tinggi besar dengan wajah tanpa ekspresi.
Itu Bastian.
Sena buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan, jantungnya nyaris copot. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Mau ngapain?” suara Bastian dingin.
“Masak… nasi goreng,” jawab Sena ragu, mengambil talenan.
“Kenapa tidak membangunkanku?”
Sena terdiam sejenak, kemudian berbalik menatap Bastian lagi “Memangnya kenapa harus membangunkanmu?”
Bastian berdecak. “Duduk”
“Ha?” tanya Sena bingung.
“Duduk. Aku yang masak”
Sena tidak percaya apa yang didengarnya dan masih berdiri mematung disana.
Bastian akhirnya menggeser badan Sena dan mengambil alih pisau dari tangannya dan mulai mengiris bahan-bahan.
Sena akhirnya memilih duduk disana mengikuti instruksi Bastian dan menunggu nasi gorengnya jadi.
Setelah kurang lebih 15 menit, aroma nasi goreng memenuhi dapur. Hanya dari tampilannya saja, sudah menggugah selera. Sena berseri-seri dan tidak sabar untuk memakannya. Bayi diperutnya juga ingin segera memakannya.
“Terima kasih, Bastian!” katanya sambil bertepuk tangan kecil.
Ia menyantapnya dengan lahap, wajahnya bersinar bahagia.
“Enak sekali!” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya penuh senyum dan kepuasan.
Bastian hanya menatapnya dalam diam. Gadis itu tampak polos dan entah kenapa selalu… menarik.
Nasi goreng itu sudah habis tak bersisa, Sena beralih pada teh chamomile panas yang ia buat, ia meniup dan menyeduh teh itu sedikit demi sedikit.
Di saat itu, suara Bastian kembali terdengar, menusuk. “Kenapa kau bisa keluar dengan Arya?”
“Arya yang mengajakku”
“Dan kau mau?” suaranya kini sinis.
“Karena aku juga ingin keluar. Aku bosan didalam terus Bastian”
“Kalau aku yang mengajakmu keluar, kau mau?”
Sena tidak menjawab, dan hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Bastian menajamkan tatapan. “Kenapa kau menggeleng? Tidak mau keluar denganku?”
“Aku takut…” suara Sena bergetar. “Aku takut kau membawaku ke tempat yang bisa membuatku kehilangan janinku lagi.”
Kata-kata itu menghantam Bastian bagaikan pisau yang menancap dalam ke jantungnya. Sakit. Sangat sakit, apalagi karena itu memang kesalahannya.
Namun, Bastian tetaplah Bastian.
“Kalau begitu, jangan sembarangan keluar dengan pria lain kalau kau tidak ingin janinmu itu aku hilangkan”
Setelah mengucapkan itu, Bastian naik ke kamarnya dan melanjutkan tidurnya. Tidak peduli dengan Sena yang masih di dapur menghabiskan teh nya dengan hati yang remuk.
...****************...
Satu fakta yang harus kalian tahu, dari pagi hingga malam, setiap kali Bastian melewati ruang tamu, selalu ada Sena di sana dengan ritual menonton televisi tanpa henti.
“Tidak ada yang bisa kau lakukan selain menonton televisi?” tanya Bastian tiba-tiba kepada Sena.
“Hanya ini yang bisa kulakukan.”
“Kau bahkan tidak pernah main ponsel atau sosial media?”
Sena mengangkat tubuhnya sedikit. “Aku tidak punya ponsel.”
Bastian menatap tak percaya. Di zaman modern ini, dan wanita itu bahkan tidak punya ponsel?
Bastian mencoba beralih ke topik lain.
“Kau semester akhir, bukan? Kenapa tidak menyelesaikan skripsi?”
“Sudah selesai. Tinggal menunggu tanda tangan dosen.”
“Oh. Baguslah” Jawab Bastian lebih singkat.
Tanpa basa-basi, Bastian berdiri. “Ganti bajumu. Temani aku pergi sekarang.”
Sena menoleh bingung.
“Cepat, Sena.”
Sena pun buru-buru prgi ke kamar. Ia keluar dari kamar itu dengan mengenakan dress putih selutut.
Saat turun, Bastian langsung menarik tangannya.
Di pintu, mereka berpapasan dengan Ravian.
“Mau ke mana kalian?” tanyanya curiga.
“Pinjam Sena sebentar,” jawab Bastian singkat.
“Jangan macam-macam, Bas.” Tatapan Ravian tajam.
Bastian tidak menggubris, terus menarik Sena pergi.
… … …
Bastian dan Sena pergi ke Mall terbesar di kota itu. Tempat pertama yang mereka tuju adalah konter ponsel merek ternama dengan logo apel tergigit yang sangat dikenali oleh semua kalangan.
“Pilih yang kau mau,” ujar Bastian tegas.
Sena melirik dari ujung kanan hingga ujung kiri, tapi hatinya sedikit nyeri melihat harganya yang sangat tidak masuk di akal Sena.
“Bas… ini mahal semua” bisik Sena kepada Bastian, Sena mengucapkan itu sambil berjinjit karena perbedaan tinggi badan mereka.
Bastian memutar bola matanya mendengar kalimat itu, dikiranya Bastian tidak mampu apa?
“Mas saya mau yang edisi terbaru, langsung diaktifka” Ucap Bastian kepada pelayan toko itu tanpa basa-basi.
“Bastian tap—”
“Diam, Sena”
Tak lama, ponsel baru itu sudah ada di tangan Bastian. Bastian membayarnya, lalu diberikan ponsel tersebut kepada Sena.
“Pakai ponsel itu. Jangan gunakan untuk yang macam-macam” Ia menatap Sena lekat.
“Dan malam ini… tidur di kamarku lagi. Anggap saja itu balas budi.”
...----------------...
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^