Eldoria, yang berarti negeri kuno yang penuh berkah. Negeri yang dulunya selalu di sinari cahaya matahari, kini berubah menjadi negeri yang suram.
Ratusan tahun telah berlalu sejak peperangan besar yang menghancurkan hampir seluruh negeri Eldoria, membuat rakyat harus hidup menderita di bawah kemiskinan dan kesengsaraan selama puluhan tahun sampai mereka bisa membangun kembali Negeri Eldoria. Meskipun begitu bayang-bayang peperangan masih melekat pada seluruh rakyat Eldoria.
Suatu hari, dimana matahari bersinar kembali walau hanya untuk beberapa saat, turunlah sebuah ramalan yang membuat rakyat Eldoria kembali memiliki sebuah harapan.
"Akan terlahir 7 orang dengan kekuatan dahsyat yang dapat mengalahkan kegelapan yang baisa di sebut Devil, di antara 7 orang itu salah satu dari mereka adalah pemilik elemen es yang konon katanya ada beberapa orang istimewa yang bisa menguasai hampir semua elemen dari klan Es"
Siapakah ketujuh orang yang akan menyelamatkan negeri Eldoria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AzaleaHazel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09
Evans diam beberapa detik untuk berpikir, lalu perhatiannya tertuju pada Liz, tiba-tiba matanya membulat saat mengingat sesuatu.
"Tunggu dulu, bukankah ledakan itu berasal di dekat rumahmu, Liz?" Evans baru saja ingat jika lokasi ledakan waktu itu berada tepat di dekat rumah Liz.
"Ledakan apa yang Paman bicarakan?" Liz masih bingung dengan apa yang sedang mereka bicarakan.
"Ledakan cahaya yang sangat tinggi itu, apa kau tidak tau?" Sahut Gilbert, membuat Liz beralih menatapnya.
"Cahaya?" Liz berusaha mengingatnya, dia juga merasa ada hal yang terlupakan.
Tiba-tiba mata Liz membulat, wajahnya berubah panik. "Oh tidak, bagaimana bisa aku lupa! Apakah ledakan itu melukai kalian atau orang-orang di kota? Paman, jangan diam saja, jawab aku?!" Tanyanya tidak sabaran, dia sampai mengguncang tubuh Evans dan Gilbert bergantian.
Bisa-bisanya Liz melupakan apa yang sudah ia perbuat 2 bulan yang lalu, mungkin karena dia keasikan berlatih elemen dengan Theresa membuatnya melupakan ledakan besar yang telah dia sebabkan.
"Tenanglah Liz, tidak ada yang terluka karena ledakan itu, tapi semua orang sepertinya tau karena ledakannya melambung tinggi ke udara, mungkin sekitar 20 meter." Balas Evans, memang benar apa yang dia katakan jika ledakan itu tidak melukai siapapun, tapi semua orang pasti menyadarinya.
"Ah syukurlah, aku tidak menyakiti orang-orang di kota, dan entah bagaimana aku bisa melupakannya begitu saja." Rasanya Liz benar-benar merasa lega, untungnya tidak ada satu orangpun yang terluka karenanya, jika tidak dia pasti tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Apa maksudmu?" Tanya Evans tidak mengerti apa maksud Liz.
Terlihat sekali rasa bersalah di wajah Liz. "Paman, sebenarnya semua itu salahku. Saat itu aku sedang belajar elemen cahaya, tapi karena belum bisa menguasainya jadi meledak seperti itu, maafkan aku." Akunya memberitahu Evans, dia benar-benar menyesal karena sampai melupakan apa yang telah di perbuat.
Mendengar pengakuan Liz membuat Evans dan Gilbert sangat terkejut sampai tidak bisa mengatakan apapun untuk beberapa saat. Tapi berbeda dengan Gilbert, dia ragu jika Liz yang menyebabkan ledakan sebesar itu.
"Evans, sebenarnya siapa anak ini?" Gilbert beralih menatap Evans menuntut penjelasan.
"Kau tau tentang pendatang baru kota kita 4 tahun yang lalu? Dia adalah anak pasangan suami istri itu, selebihnya aku tidak tau." Balas Evans, dia memang tidak tau latar belakang keluarga Liz seperti apa.
Jawaban Evans sama sekali tidak membuatnya puas, Gilbert lalu beralih menatap Liz. "Hey nak, kemari sebentar." Panggilnya, membuat Liz langsung berjalan kearahnya dengan wajah bingung, tapi anak itu tetap menurut.
Mata Gilbert melebar, tapi dia buru-buru menormalkannya, kini tangannya bergerak untuk meraih wajah Liz agar lebih dekat padanya untuk melihat lebih jelas mata anak itu yang tiba-tiba menarik perhatiannya. "Ini?" Matanya beralih kearah Evans seolah bertanya apakah yang ia lihat benar-benar nyata.
Evans mengangguk paham. "Kurasa dia memang anak yang istimewa." Balasnya, ia memahami bagaimana perasaan Gilbert tentang mata Liz, karena sebelumnya dia juga bereaksi sama seperti sahabatnya itu.
Liz sejak tadi melihat Evans dan Gilbert bergantian kini mulai merasa bingung. "Ada apa Paman Gil?" Tanyanya, dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang di bicarakan kedua orang dewasa ini.
Gilbert tersenyum lalu mengusap puncak kepala Liz. "Tidak apa-apa. Oh ya, bisakah Paman minta tolong padamu?" Tanya Gilbert tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Liz mengangguk. "Tentu saja, apa yang bisa ku bantu?" Balasnya antusias, ia sangat senang jika bisa berguna untuk semua orang.
"Bisakah kau membelikan roti yang ada di depan tokoku? Mintalah yang baru saja di panggang, katakan jika aku yang menyuruhmu dan ini, ambilah uangnya." Gilbert menunjuk ke depan, memberitahu Liz toko roti yang ada tepat di depan tokonya, lalu memberikan beberapa keping uang logam pada anak itu.
Liz mengangguk mengerti lalu menerima uang dari Gilbert. "Baiklah, aku pergi dulu." Balasnya lalu berbalik dan melangkah dengan riang.
"Hati-hati, jangan berlari!" Ucapan Evans sama sekali tidak di dengar oleh Liz karena anak itu sudah terlanjur berlari keluar dari toko.
Saat Liz benar-benar sudah keluar dari toko, Gilbert menghentikan pekerjaannya dan mendekat kearah Evans, lalu duduk berhadapan dengan sahabatnya itu.
Tatapan Gilbert beralih kearah Evans. "Kau percaya jika anak itu yang menyebabkan ledakan 2 bulan yang lalu?" Tanyanya dengan wajah serius.
"Tentu saja aku percaya. Mungkin memang akan sangat tidak masuk akal bagi orang-orang untuk mempercayainya, tapi setelah melihat bagaimana kerasnya latihan yang Liz jalani membuatku percaya pada anak itu." Jelas Evans tanpa keraguan sedikitpun.
"Latihan?" Tanya Gilbert dengan kerutan di dahinya, tidak paham dengan apa yang Evans maksud.
"Kurasa hubungan Liz dengan orangtuanya tidak terlalu baik, bisa di bilang mereka hanya mengurus anak itu untuk menjadikannya lebih kuat." Balas Evans tampak sedikit ragu. Tapi apa yang dia katakan memang benar, beberapa kali ia mencoba memastikan bagaiman cara Acrus memandang Liz, rasanya seperti tidak ada kasih sayang sama sekali.
"Aku tidak percaya anak kecil sepertinya sudah bisa menyebabkan ledakan sebesar itu." Gilbert masih ragu dengan apa yang di katakan sahabatnya, tapi ia juga sangat mengenal bagaimana Evans, pria itu tidak pernah berbohong padanya.
"Bahkan Ayah Liz tidak memiliki belas kasihan saat melatihnya, aku bisa mengatakan itu karena pernah melihatnya sendiri dengan mataku. Tidak jarang anak itu terluka parah, tapi anehnya tidak ada bekas luka sedikitpun di tubuhnya." Ucap Evans melanjutkan ceritanya, hal itu juga mengganggunya selama ini, bagaimana bisa luka-luka Liz sembuh bahkan bekasnya tidak tersisa.
"Kurasa kau benar, dia sepertinya memang istimewa. Bahkan warna matanya sangat berbeda dengan kita." Pada akhirnya Gilbert hanya bisa percaya dengan ucapan sahabatnya, apalagi setelah melihat langsung perbedaan warna mata Liz dengan mereka.
"Paman aku kembali!!" Teriak Liz seraya membuka pintu toko, membuat pandangan Evans dan Gilbert beralih padanya.
"Oh, kenapa cepat sekali?" Tanya Gilbert saat melihat gadis kecil itu berlari pelan kearahnya.
"Iya, kebetulan saat aku datang rotinya baru saja di keluarkan dari pemanggang." Balas Liz, dia meletakkan rotinya dengan hati-hati keatas meja.
"Baiklah, cepat duduk dan ayo makan bersama." Evans menepuk kursi yang ada di sebelahnya, menyuruh Liz untuk duduk.
"Eum." Balas Liz dengan anggukan kepala, dia lalu duduk di kursi walau dengan sedikit kesusahan karena kursinya lumayan tinggi.
Liz menerima roti yang di sodorkan Gilbert padanya, dia sempat terkejut dan hampir melemparkan roti itu masih sangat panas. Gilbert dan Evans tidak bisa menahan tawanya melihat wajah Liz.
Mulutnya sibuk mengunyah roti, tapi mata Liz sibuk menelusuri toko milik Gilbert, alisnya berkerut saat ada sesuatu yang menarik perhatiannya. "Paman, apa ada masalah dengan tungku pemanasnya?" Tanyanya pada Gilbert, ia menunjuk tungku pemanas yang di gunakan untuk membuat senjata.
"Ah ya, tapi bagaimana kau tau?" Tanya Gilbert dengan alis berkerut. Tungku pemanasnya memang ada masalah, tapi dia tidak pernah mengatakannya dan bagaimana anak itu bisa tau hanya dengan melihatnya dari jarak yang lumayan jauh.
"Entahlah, hanya saja menurutku itu tidak memanaskan dengan baik." Balas Liz, menurutnya suhu pemanas di tungku itu tidak terlalu tinggi. Entah tingkah kepekaannya yang terlalu tajam atau mereka yang tidak terlalu memperhatikan.
"Kurasa kau benar, batu pemanasnya memang tidak berfungsi dengan baik, mungkin karena aku membelinya di orang yang berbeda." Ucap Gilbert, dia ingat jika batu itu di beli pada orang yang berbeda dari biasanya.
"Apa aku boleh melihatnya?" Tanya Liz, yang dia maksud adalah tungku pemanas milik Gilbert.
"Ya, tentu saja." Balas Gilbert, walaupun merasa penasaran kenapa Liz ingin melihatnya, tapi dia tidak menanyakannya pada anak itu.