NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Bab 13

Menjelang jam pulang kantor, suasana di lobi Money Changer Andara Group mulai lengang. Meliana baru saja keluar dari lift lantai 22 dengan langkah anggun, sementara Aryo sudah menunggunya di depan gedung, berdiri tegak di samping mobil hitam mengilap yang baru saja diberikan oleh Pak Kamal.

“Wah, sudah keenakan ya. Dapat mobil,” sindir Meliana begitu mereka sudah berada di dalam mobil. Nada suaranya setengah menggoda, setengah menyindir, seperti biasa.

Aryo tersenyum tipis, berusaha tetap tenang meski hatinya sebenarnya geli sendiri dengan cara Meliana menggoda. “Hanya untuk keperluan antar jemput kamu, Bu CEO. Aku tidak minta. Papamu sendiri yang memberikan,” jawabnya dengan nada kalem dan sopan, mencoba menjelaskan supaya tidak ada salah paham.

“Entah kenapa aku tidak percaya,” gumam Meliana sinis sambil menyilangkan tangan di dada. Matanya menatap lurus ke depan, tapi ujung bibirnya bergerak membentuk lengkungan kecil penuh sindiran.

“Terserah Bu CEO saja,” kata Aryo sambil membungkuk kecil, seperti pengawal yang sedang memberi hormat. “Aku sudah menyampaikan dengan jujur.”

Sikap sopan itu justru membuat Meliana merasa disindir. Wajahnya sedikit memerah, bukan karena malu, melainkan karena kesal. “Antar aku ke apartemen yang baru. Aku dan Thania menyewa satu untuk tinggal bersama,” perintahnya datar, menekan nada suara supaya terdengar tegas.

“Siap, Bu CEO.”

Meliana langsung menoleh cepat. “Gak usah mengolok-olok deh. Dan jangan panggil-panggil Bu CEO segala,” katanya sambil menuding Aryo dengan ekspresi setengah sebal.

Aryo menahan senyum. “Kamu juga bisa panggil aku anjing penjaga kok, serius. Aku nggak keberatan.”

Meliana menghela napas keras. “Terserah, anjing penjaga.”

“Nah, gitu dong. Kita jadi punya panggilan sayang sekarang,” ucap Aryo santai, nada suaranya terdengar terlalu tenang untuk seorang pengawal. Entah apa yang merasuki dirinya hingga begitu berani bicara seperti itu—mungkin karena mulai nyaman dengan kehadiran Meliana, atau mungkin karena tatapan tajam Meliana justru terasa menantang.

Meliana spontan menjewer kuping Aryo cukup keras. Lelaki itu spontan menggenggam tangan Meliana, refleks melindungi dirinya. Sentuhan itu membuat keduanya terdiam. Tangan Meliana terasa lembut di genggamannya, hangat, dan anehnya jantung Aryo berdegup lebih cepat. Dari pantulan kaca spion tengah, mata mereka bertemu—tajam, lama, dan seolah waktu berhenti berputar.

Meliana menelan ludah. Wajahnya perlahan memerah, dan pipinya tampak bersemu.

“Ouch!” seru Aryo tiba-tiba, berpura-pura kesakitan untuk memecah suasana yang mendadak aneh itu.

Meliana langsung menarik tangannya cepat-cepat dan membuang muka ke luar jendela. Dalam diam, hatinya masih berdebar.

Apartemen baru Meliana dan Thania terletak di kawasan elite Kota J. Unitnya lebih besar, lebih modern, dan memiliki pemandangan malam yang memukau. Aryo sempat terpikir untuk menyewa unit di lantai yang sama agar lebih mudah menjaga Meliana dua puluh empat jam tanpa harus menempuh jarak jauh dari kontrakannya. Harga sewanya pasti mahal, tapi Aryo yakin Pak Kamal takkan keberatan jika itu demi keamanan putrinya.

“Eh, Aryo, mampir dulu lah,” ajak Thania yang sudah lebih dulu berada di sana, melambai riang begitu melihat Aryo datang.

“Ih, ngapain? Biarin dia pulang aja. Nanti kalau dia betah, tiap hari jadi telat jemput,” protes Meliana cepat-cepat.

“Makanya biar nginep aja di sini,” jawab Thania santai, sambil mengedipkan mata nakal. “Besok berangkat bareng-bareng deh.”

“Mau tidur di mana dia?” Meliana menyipitkan mata curiga.

“Di sofa kan bisa. Atau sekalian aja seranjang sama kita,” celetuk Thania sambil mengangkat alis berkali-kali, wajahnya penuh kelakar.

Meliana melempar bantal besar ke arah sahabatnya. Thania menjerit kecil, tertawa, sementara Aryo menunduk cepat, berusaha mengalihkan pandangan karena Thania sudah mengenakan gaun tidur tipis yang cukup transparan.

“Gila kamu, Thania! Pikiranmu mesum banget. Sama aja kayak dia!” Meliana menunjuk Aryo dengan telunjuk menuduh.

“Ya, biar sekalian pembuktian,” balas Thania santai. “Kita lihat apakah Aryo bakal macam-macam sama kita, atau malah kita yang gak tahan duluan.”

“Sinting kamu, Thania!” teriak Meliana, pipinya makin panas.

Melihat suasana mulai canggung, Aryo buru-buru berdiri. “Aku pamit aja deh, takut keburu dikira macam-macam beneran,” ujarnya sambil tersenyum kaku.

Dalam perjalanan pulang ke kontrakannya, Aryo tidak bisa mengusir bayangan lembut tangan Meliana. Tangannya masih terasa hangat di telapak sendiri. Ia menyetir dengan satu tangan, sementara tangan satunya perlahan ia angkat dan cium. Harum samar dari parfum Meliana masih tersisa, membuatnya tersenyum sendiri.

Tak lama, ponselnya bergetar. Telepon dari ibunya. Suara lembut di seberang menanyakan kapan calon istri yang dijanjikan Aryo akan dibawa pulang untuk dikenalkan. Aryo hanya bisa menjawab singkat bahwa ia belum tahu waktunya, karena sedang sibuk menjaga seseorang.

“Wah, kamu memang laki-laki yang baik. Belum menikah saja sudah siap siaga menjaga wanita lain. Dia pasti wanita yang beruntung,” puji ibunya.

Aryo tersenyum. Ia menjelaskan bahwa wanita yang dijaganya itu bukan orang sembarangan—CEO Andara Group. Posisi satpamnya dinaikkan menjadi pengawal pribadi. Sang ibu hanya makin kagum, menyebut Aryo lelaki yang bisa diandalkan.

Namun, di tengah perjalanan, dari pantulan kaca spion, Aryo menyadari sesuatu: ada mobil yang terus membuntutinya sejak beberapa menit lalu. Ia sengaja memperlambat laju mobil, ingin memastikan. Dugaan benar—mobil itu mengikuti terus, bahkan memperpendek jarak.

Tak lama kemudian, mobil misterius itu menyalip dan memaksa Aryo menepi. Ia memilih mengikuti permainan itu.

Seorang pria bertubuh besar turun, mengetuk kaca mobil. Wajahnya keras, tapi tanpa topeng. Samar-samar, Aryo merasa mengenal orang itu.

“Turun kau,” bentaknya dingin.

“Anda polisi?” tanya Aryo dengan nada santai.

“Bukan.”

“Oh, syukurlah,” balas Aryo ringan sambil turun. Ia masih menyengir, meski tahu situasi mulai gawat.

Pria itu menarik pisau panjang dari balik jaket. “Aku dapat perintah dari Tuan Muda untuk memotong tanganmu.”

Aryo tertawa kecil. “Wah, kejam banget kedengarannya. Ngomong-ngomong, Tuan Muda siapa sih?” Ia pura-pura menyerahkan tangannya, lalu mundur selangkah cepat. “Muda dalam artian umur tujuh tahun, atau gimana?”

“Banyak bacot! Sini kau!” geram pria itu, maju dengan langkah agresif.

Aryo mundur perlahan, memberi jarak aman. “Tebak-tebak buah manggis, deh. Tuan Mudamu pasti Jerry Zola, kan? Kalau benar, maju terus.”

Pria itu tidak membantah. Ia langsung menyerang, menebaskan pisaunya cepat.

“Aku sudah tahu,” kata Aryo datar sambil menghindar lincah. “Percuma kalian memburuku terus. Kau gak akan pulang dengan selamat kalau maksa.”

Pukulan cepat Aryo mendarat di perut lawan, membuatnya mundur beberapa langkah. “Kasih tahu Jerry Zola, berhenti main kotor. Percuma. Bikin capek anak buahnya aja.”

“Berani banget kau ancam Tuan Muda! Tidak ada yang berani begitu!”

Mereka terus bertarung sengit. Pria itu ternyata cukup tangguh; pukulan Aryo beberapa kali mendarat, tapi dia belum tumbang juga.

Lalu pria itu tiba-tiba membuang pisaunya. Aryo sempat lega, tapi kemudian pria itu berjalan ke mobil, mengambil sesuatu. Ketika kembali, di tangannya tergenggam golok besar.

“Ah, pilihan yang menarik,” ujar Aryo kecut. “Kupikir tadi mau menyerah.”

Sabetan golok itu mematikan. Aryo melompat ke kiri dan kanan, menghindari setiap tebasan. Sekali kesempatan terbuka, ia menendang keras bagian belakang kepala lawannya hingga pria itu terhuyung. “Kau bukan tandinganku,” desis Aryo dingin.

Ia mengambil pisau yang tadi dibuang, melemparkannya cepat—tepat menancap di lutut pria itu. Teriakan keras menggema. Aryo melesat, menendang kepala lawannya hingga tergeletak tak berdaya.

“Siapa kau sebenarnya? Kenapa Jerry Zola ingin sekali membunuhmu?” tanya pria itu parau, menahan sakit.

Aryo menodongkan goloknya tepat ke wajah lawan. “Peringatan terakhir. Aku bukan orang yang bisa diajak main-main. Sampaikan ke Jerry Zola: kalau masih nekat, dia sendiri yang akan aku datangi.”

Pria itu tertatih bangkit dan masuk ke mobilnya, meninggalkan tempat kejadian. Aryo baru melangkah pergi setelah memastikan mobil itu benar-benar menjauh.

Namun pikirannya langsung terarah pada Meliana dan Thania. Bagaimana kalau serangan itu hanya pengalihan, dan target sesungguhnya justru mereka? Tanpa pikir panjang, ia segera memutar balik mobil menuju apartemen.

Sesampainya di sana, Aryo langsung menelpon Pak Kamal, meminta bantuan untuk membeli unit di lantai yang sama dengan Meliana. Berkat bantuan sekretaris pribadi Pak Kamal, malam itu juga Aryo sudah memegang kunci unit barunya. Ia langsung naik dan mengetuk pintu kamar Meliana.

“Kalian gak apa-apa?” tanyanya cemas.

Meliana membuka pintu dengan ekspresi terkejut. “Kamu ngapain balik lagi?”

“Hanya memastikan keadaan kalian aman,” jawab Aryo jujur. Matanya sempat melirik cepat—Meliana sudah mengenakan baju tidur tipis yang sama dengan Thania tadi.

Meliana langsung menutup dadanya dengan tangan. “Memangnya kenapa?”

“Gak apa-apa. Cuma mau pastiin aja. Syukurlah kalian baik-baik.”

“Hmmm, alasan aja kamu. Sengaja mau lihat aku pakai baju tidur ini ya?”

Aryo menahan tawa. Ia tahu di balik gaun tidur itu, Meliana pasti tak memakai apapun. “Sampai ketemu besok, kalau gitu.” Ia melambaikan tangan santai.

“Jangan telat, otak mesum!” teriak Meliana dari balik pintu.

Di tempat lain, sebuah mobil melintasi halaman rumah megah dengan pagar tinggi dan taman luas. Pria yang tadi menyerang Aryo kini pulang dengan tubuh babak belur. Ia masih heran bagaimana seseorang yang hanya pengawal bisa punya kemampuan bertarung sehebat itu. Ia yakin goloknya mampu menakuti siapa pun—tapi Aryo berbeda.

Yang tidak disadarinya, sejak tadi ada sosok lain yang mengikutinya dalam diam. Dari balik bayangan, seseorang berjongkok di sudut gelap, menggenggam pistol dan pisau, siap melancarkan aksi berikutnya.

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!