NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TIMBUL RASA

Luna tiba di sekolah saat fajar baru merekah, embun masih membasahi dedaunan. Udara dingin menusuk tulang, namun semangatnya untuk belajar mengalahkan segalanya. Langkahnya ringan menyusuri lorong yang belum begitu ramai oleh murid lainnnya.

"Well, siapa yang udah datang?" Seru seseorang memecah lamunan.

Luna tersentak, langkahnya mendadak berhenti di tempat. Dari jarak yang tak begitu jauh, muncul ketiga gadis yang membuatnya mendadak kaku.

Suara tawa mereka terdengar nyaring, menusuk telinga seperti gema masa lalu yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. Salah satu dari mereka—Angel—menyeringai tipis, menatap Luna dari ujung kepala hingga kaki seolah sedang menilai barang murahan di pasar loak.

Semakin dekat, jarak mereka semakin menipis. Bunyi langkah sepatu di atas koridor terdengar jelas di telinga Luna, seolah setiap hentakannya mengguncang dadanya yang mulai sesak.

"Masih punya muka buat dateng kesini?" Ungkap Bela. Nadanya cukup lantang, hingga membuat beberapa pasang mata sekejap memperhatikan mereka termasuk Arga yang tiba-tiba muncul, kini menghentikan langkahnya.

Bisik-bisik segera berdesir di antara murid-murid lain yang kebetulan melintas di koridor. Tatapan ingin tahu bermunculan, sebagian menatap Luna dengan rasa heran, sebagian lagi sekadar menunggu drama yang akan terjadi.

Luna menunduk sejenak, menggenggam tali tasnya kuat-kuat. Ujung jarinya terasa dingin. Ia bisa merasakan detak jantungnya berdentam di telinga—antara marah, malu, dan takut bercampur jadi satu. "Ma-mau apa kalian?"

"Gue gak pengen apa-apa," Kata Angel sambil melipatkan kedua lengannya di bawah dada. "Cuma... heran aja, kok bisa ya... udah nyuri dompet anak yayasan masih berani masuk sekolah."

Bela dan Raisha saling adu pandang dan tertawa puas. Jelas, suara Angel yang lantang dan menggema perlahan menarik banyak siswa lain datang mendekat.

"Aku bukan pencuri!" Seru Luna terbata, suaranya bergetar menahan emosi.

"Well," Raisha mengangguk pelan dengan senyum sinis, “Mana ada maling ngaku, sih?”

Angel mendecak kecil, lalu menoleh pada kedua temannya. “Udah ah, buang-buang waktu. Yuk, pergi guys!” Katanya sembari menarik tangan Bela dan Raisha.

Luna menunduk, menggenggam erat tali tasnya. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia berusaha menahan diri untuk tidak meneteskan air mata di depan mereka. Ia tahu, semakin menunjukkan reaksi, semakin mereka merasa menang.

Hingga, tawa mereka masih terdengar kecil, memudar seiring langkah yang menjauh. Hingga akhirnya hanya keheningan yang tersisa—dan Luna, yang berdiri kaku di tengah koridor, menelan ludah pahit yang terasa seperti bara.

Namun belum sempat ia menenangkan diri, sekelompok siswa lain mulai berdatangan. Bisik-bisik menyelinap di udara, menusuk seperti duri...

“Luna, lo itu gak tahu malu ya,” Ucap salah satu dengan nada jijik.

“Biaya sekolah dari dompet haram, ya?” Timpal yang lain.

“Gue pikir lo anak baik-baik, pendiam, ternyata…,” Suara itu menggantung, tapi tawa kecil di ujung kalimatnya lebih menyakitkan daripada kata apa pun.

Luna masih mematung. Setiap kata seperti cambuk yang memukul dadanya tanpa ampun. Dunia terasa berputar pelan, dan suara mereka seolah menggema di kepalanya. Ia ingin berteriak, menjelaskan, membela diri—tapi tak ada suara yang keluar. Tenggorokannya kering, suaranya mati.

Hanya matanya yang perlahan memanas, pandangannya kabur oleh air mata yang berusaha ia tahan.

Ia menunduk dalam-dalam, berharap lantai bisa menelannya saat itu juga.

Kenapa mereka begitu mudah percaya?

Kenapa selalu aku yang disalahkan?

Jantung Luna berdegup keras, bukan karena takut—tapi karena perih. Perih yang lahir dari tuduhan yang tak pernah ia perbuat.

Sementara Arga yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan masih berdiri kaku di tempatnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya mengeras menahan emosi yang nyaris meledak. Ia mendengar jelas setiap kata yang dilontarkan pada Luna—setiap ejekan, setiap tuduhan kejam yang menghancurkan harga diri gadis itu.

Sorot matanya tajam, beralih dari satu wajah ke wajah lain yang masih menatap Luna dengan cibiran. Ada sesuatu yang bergolak di dadanya—amarah, sekaligus rasa bersalah. Ia tahu Luna tidak seperti yang mereka katakan. Ia tahu gadis itu terlalu polos untuk melakukan hal sekeji itu.

Namun langkahnya tertahan. Entah oleh apa—mungkin oleh rasa takut mencampuri urusan orang lain, atau mungkin karena hatinya sendiri yang ragu apakah ia berhak membela seseorang yang kini bahkan tak sedikitpun menoleh ke arahnya.

“Bro!” Seru seseorang tiba-tiba, memecah ketegangan yang masih menggantung di udara. “Ngapain lo bengong di sini, sih?!”

Arga menoleh pelan. “Rio,” Gumamnya singkat, suaranya terdengar datar tapi sedikit terkejut.

"Di sini tuh ada gudang kosong. Ntar lo kesambet! Yuk, cabut!" Ajak Rio. Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul bahu Arga, mencoba menariknya pergi. "Jangan ngelamun di sini. Kalau lo kesambet, ntar kita susah buat nge-ruqiyah lo!"

Arga menahan langkahnya sejenak, menatap sekilas ke arah koridor yang kini mulai sepi. Bayangan Luna masih terpatri di matanya—gadis itu berdiri sendiri, menunduk, memeluk tasnya seolah mencari perlindungan dari dunia yang terlalu kejam.

Ia menarik napas panjang. “Iya, bentar,” ucapnya lirih, sebelum akhirnya membiarkan Rio menariknya menjauh. Namun, dalam langkahnya yang berat, ada sesuatu yang tertinggal—perasaan bersalah yang pelan-pelan tumbuh di dadanya.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!