Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuan Douglas mulai mengintai
Bel sekolah telah berdering nyaring, menandakan berakhirnya kegiatan belajar mengajar di SMU Negeri Bhakti 01 Jakarta. Gerbang sekolah mulai ramai oleh laju langkah para siswa yang berhamburan keluar. Di tengah hiruk pikuk kepulangan, Satria, guru muda yang mengajar Matematika berdiri di area parkiran guru, matanya tanpa sengaja menangkap sosok mencurigakan di balik pintu gerbang.
Pria itu berpostur tubuh kekar dengan kulit sawo matang dan mengenakan pakaian serba hitam—kaus oblong hitam, celana jins hitam, dan topi hitam. Ia berdiri agak menyamping dari gerbang, namun tatapannya tajam mengawasi setiap murid yang keluar.
Seketika, kecurigaan Satria membawanya kembali pada cerita pilu salah satu muridnya dan juga Istrinya, Nurma. Ayah Nurma yang baru saja meninggal ternyata meninggalkan janji pelik: Nurma harus menikah dengan seorang pria bernama Tuan Douglas sebagai ganti pelunasan utang. Mengingat detail-detail fisik yang pernah didengarnya, Satria yakin seratus persen: pria berpakaian hitam itu adalah Tuan Douglas.
Tanpa membuang waktu, Satria bergegas meninggalkan parkiran, langkahnya mantap menuju area gedung sekolah, mencari keberadaan Nurma. Ia harus bertindak cepat sebelum pria itu melakukan sesuatu.
Di koridor menuju gerbang utama, keberuntungan berpihak padanya. Nurma terlihat berjalan bersama kedua sahabat karibnya, Rea dan Wina.
Kemudian Satria berjalan cepat menghampiri mereka
"Nurma!"
Nurma terkejut dan mendongak, melihat sosok gurunya yang tiba-tiba muncul dengan wajahnya yang tegang. Rea dan Wina sontak berhenti, mata mereka terpaku pada Pak Satria, terpesona oleh kehadiran guru idola mereka itu. Mereka berdua bahkan tidak berkedip saking terkejutnya.
"Pak Satria? Ada apa, Pak?" Tanya Nurma kaget.
Lalu Rea berbisik pada Wina, matanya tak lepas dari Pak Satria "Ya ampun, Pak Satria..."
Wina membalas lirih, tampak salah tingkah. "Ganteng banget kalau dilihat dari dekat begini..."
Nada suaranya Pak Satria rendah dan mendesak. "Tolong, Nurma. Kalian berdua, boleh pulang duluan. Ada hal penting yang harus Bapak bicarakan dengan Nurma. Kalian duluan saja, ya."
Rea dan Wina hampir serempak, agak kecewa namun patuh."Baik, Pak."
Mereka berdua pun berjalan menjauh, sesekali masih menoleh ke belakang, penuh penasaran.
Pak Satria Cepat, meraih lengan Nurma. "Ikut denganku, cepat!"
Nurma belum sempat bertanya, tapi ia merasakan kegentingan dari sentuhan dan raut wajah Pak Satria. Pak Satria membawanya ke sebuah sudut tersembunyi di area kantin yang sudah sepi, tepatnya di balik sebuah pilar besar yang memberikan pandangan tersembunyi langsung ke arah gerbang sekolah.
"Ada apa sih, Pak? Bapak kenapa terburu-buru begitu?"
Satria tidak menjawab. Ia hanya melirik ke arah gerbang, lalu ia merangkul pundak Nurma dengan kuat. Jarak di antara mereka sontak menjadi sangat dekat, membuat Nurma menahan napas. Ia bisa mencium aroma cologne khas Satria dan merasakan kehangatan tubuhnya.
Dalam keheningan yang singkat itu, Nurma merasakan getaran aneh di dadanya. Perasaan yang bercampur antara bingung, terkejut, dan sesuatu yang lain.
Sementara itu, Satria sama sekali tidak menyadari gejolak hati Nurma. Kedua pasang matanya fokus, tajam mengawasi pria berpakaian hitam yang masih berdiri diam, memantau dari balik gerbang sekolah.
Satria masih merangkul pundak Nurma, matanya tak berkedip mengawasi pria berpakaian hitam di gerbang sekolah. Dugaan Satria terbukti benar: setelah semua murid keluar, pria itu tidak beranjak. Ia hanya berdiri diam di sana, seolah menunggu seseorang yang tak kunjung muncul. Itu adalah sinyal bahaya—Tuan Douglas sudah tahu ciri-ciri Nurma dan sedang memantau jam kepulangannya.
Menyadari situasi semakin genting, Satria menarik napas panjang, lalu menoleh ke samping. Pandangannya bertemu langsung dengan kedua mata Nurma yang masih penuh kebingungan. Selama beberapa detik, waktu seolah berhenti. Mereka saling menatap dalam keheningan yang intim.
Namun, tatapan itu sontak memicu ingatan Nurma akan kejadian malam sebelumnya. Kilasan ciuman berdurasi panjang di kamar hotel bersama pria yang kini hanya berjarak sejengkal darinya itu membuat wajah Nurma serasa terbakar.
Ia buru-buru menarik diri, menjauh dari rangkulan Satria.
"Pak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kita harus sembunyi di sini? Siapa pria itu?"
Satria tidak menjawab. Ia hanya mengikuti arah pandangannya ke gerbang. Begitu menyadari Tuan Douglas mulai bergerak menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangan, Satria melepaskan napas lega. Ia lantas menggenggam tangan Nurma erat-erat, tarikannya penuh otoritas.
"Kita harus pergi sekarang."
Nurma hanya bisa pasrah dibawa pergi, ia semakin diselimuti rasa penasaran.
Setelah tiba di parkiran guru, Satria mengambil motor sport kesayangannya, Kawasaki Ninja 250R, sementara Nurma buru-buru mengenakan helmnya.
Mereka melaju membelah jalanan Jakarta yang mulai padat. Sepanjang perjalanan, Nurma menyandarkan kepalanya sebentar di punggung Satria, merasakan kenyamanan dan rasa aman yang tak terduga. Ia melingkarkan tangannya dengan longgar di pinggang Satria.
Tak lama kemudian, Satria melepaskan satu tangannya dari setang, meraih tangan Nurma yang melingkari pinggangnya, dan menuntunnya untuk memeluknya lebih erat.
Suara Satria sedikit meninggi, melawan deru angin. "Peluk yang erat, Nurma. Kita ngebut sedikit, nanti kamu bisa jatuh kalau tidak memelukku!" Satria tersenyum mengembang, ia merasa nyaman bisa sedekat ini dengan Nurma, sepertinya Nurma juga merasakan hal yang sama.
Nurma sama sekali tidak keberatan. Ia melakukan apa yang diminta, memeluk Satria dengan erat, menenggelamkan wajahnya di punggung sang suami.
Di tengah keramaian lampu merah, mobil yang menjemput Santi, salah satu siswi teman sekelas Nurma sekaligus muridnya Pak Satria, kebetulan berhenti tepat di samping motor Ninja milik Pak Satria.
Santi, yang sedang sibuk dengan ponselnya, mendongak. Ia terkejut melihat pemandangan yang tak terduga: Pak Satria sedang berduaan dengan Nurma, dan mereka berdua berpelukan erat di atas motor layaknya sepasang kekasih.
Mata Santi langsung menyala karena cemburu. Diam-diam, ia mencondongkan tubuhnya, mengarahkan kamera ponselnya, dan mengabadikan momen kemesraan itu dalam beberapa jepretan.
Santi mengepalkan tangan di dalam mobil, ia bergumam penuh amarah.
"Cih, ini yang dibilang hubungan paman dengan keponakannya? Tapi kalian terlihat seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara!"
Santi merasa dikhianati dan harga dirinya terluka. Selama ini, ia memendam perasaan lebih terhadap Pak Satria, dan melihat adegan itu membuatnya yakin bahwa Nurma hanya berpura-pura.
Santi berbicara dalam hati, penuh tekad.
'Aku tidak akan terima ini. Nurma, kau pikir bisa menipuku? Aku akan membongkar semua kebohongan yang telah kau ciptakan sendiri soal Pak Satria adalah pamanmu!'
Santi yakin sepenuhnya bahwa hubungan kedekatan Satria dan Nurma jauh melampaui hubungan paman dan keponakan. Memang benar, Santi tidak salah menduga, karena pada kenyataannya Nurma dan Satria adalah pasangan suami istri yang terpaksa menyembunyikan pernikahan mereka di lingkungan sekolah.
Bersambung...
