7 tahun bertahan, lalu ditinggal tanpa alasan. Hanna pikir, cinta sudah cukup menyakitkan untuk dicoba lagi dan mungkin sudah saatnya ia memilih dirinya sendiri.
Namun jika bukan karena cinta yang pergi tanpa pamit itu.. mungkin dia tidak akan bertemu dengan dr. Hendra.
Sayangnya, dr. Hendra seperti mustahil untuk digapai, meski setiap hari mereka berada di bawah atap yang sama.
Kali ini, akankah Hanna kembali memilih dirinya sendiri? Entahlah..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon deborah_mae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TUSUK RAMBUT HANNA
Tepat di tanggal 15, semua rekan di unit Keuangan dan Akuntasi tampak sibuk mengejar deadline masing-masing.
Yati sibuk dengan tagihan asuransi.
Angela sibuk dengan pengajuan pelunasan hutang.
Febi sibuk sebagai audit internal untuk mengecek laporan unit gizi, laporan revenue minimarket, bakery, cafe dan cafetaria serta laporan kasir rumah sakit.
Begitu juga dengan Hanna sibuk dengan tagihan-tagihan dari beberapa klinik yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Graha Sehat.
Saat hendak merekap tagihan klinik kebun, Hanna teringat laporan tagihan obat yang belum dikirimkan dr. Hendra kepadanya dan sudah tepat satu minggu sesuai janji dr. Hendra.
Ia teringat tidak boleh menghubungi dr. Hendra sebelum dr. Hendra yang mengubungi duluan. Namun, Hanna butuh laporan itu segera agar bisa melengkapi berkas penagihannya.
Dengan nekat Hanna meminta nomor Whatsapp dr. Hendra kepada Bu Vannya dan langsung mengirimkan pesan kepada dr. Hendra.
✉️ Hanna
“Pagi, dok. Izin dok, saya Hanna anggotanya Bu Vannya. Untuk laporan tagihan obat klinik kebun sudah ada, dok?”
Tanda centang dua biru sudah muncul namun belum ada balasan.
10 menit tidak ada balasan.
Sudah 30 menit juga belum ada balasan.
Hanna sudah tidak sabar menghadapi dokter ini.
“Tuhan maha pengampun, tapi aku enggak ya Hendra” gumam kesal Hanna dalam hatinya.
Akhirnya dia memutuskan untuk menelpon Hendra.
Tidak diangkat.
Ditelpon lagi, namun “panggilan ditolak”
Emosi Hanna semakin menjadi-jadi. Dia pun menatap jam ternyata masih pukul sembilan pagi. Mungkin dr. Hendra sedang mengikuti morning report.
Maka dia menunggu dengan sabar hingga pukul sepuluh.
Saatnya jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Hanna memutuskan bergegas menuju ruangan dokter.
Sesampainya di lantai 5, Hanna hendak masuk ke ruangan dokter namun dicegat oleh Sari, Kadept HRD.
“Kamu kesini dulu, Han” Sari mengajak Hanna berbincang ke ruangannya.
“Kamu udah kirim tagihan ke PT Palm Nation?” tanya Sari dengan suara yang tenang.
Hanna curiga mengapa dia tiba-tiba berbicara dengan nada yang sopan?
“Belum, bu. Rencana besok sih Hanna mau kirim” jawab Hanna dengan nada curiga.
“Gini, Han saya minta tolong besok kita barengan kirim tagihannya, ya. Supaya mereka bayar semua invoice kita dengan berbarengan. Gitu, lho..” jelas Sari.
“Ooh.. oke bu. Kalo gitu, besok disiapkan aja berkasnya dan kirimkan aja ke Whatsapp Hanna nomor invoice nya biar sekalian Hanna catat di amplopnya”
“Kalo besok kayaknya gak bisa, Han. Paling lama tanggal 22 gapapa, ya Han? Soalnya saya lagi sibuk banget. Entar kamu kejar Dian aja untuk tagihan saya, ya” tawar Sari.
Hanna semakin curiga namun mau tidak mau dia harus meng-iyakan perintah Sari. Dia penasaran apa yang ingin Sari lakukan jika Hanna menuruti perintahnya.
“Oke, bu. Kalo misalnya lewat tanggal 22 tagihan ibu belum selesai, Hanna tinggal ya” jawab Hanna dengan tegas.
Mereka pun sepakat.
“Coba aja tinggal kalo berani” gumam Sari dalam hatinya.
Setelah itu, Hanna menuju ruangan dokter untuk mencari dr. Hendra. Saat melangkah ke ruangan itu tiba-tiba Hanna berhenti karena pandangannya tiba-tiba gelap.
“Aduh.. puyeng lagi. Gini nih kalo sebulan mens nya sampe dua kali. Hmm…” gumam Hanna dengan pelan.
Di ujung lorong, dr. Hendra melihat Hanna sedang menahan rasa pusingnya. Hanna terlihat menutup mata sejenak. Saat membuka mata, dr. Hendra bersembunyi. Lalu, Hanna melanjutkan langkahnya ke ruangan dokter.
Saat ia sampai, dr. Hendra tidak ada di tempat dan semakin membuat kepala Hanna pusing.
Hanna pun memutuskan untuk kembali ke ruangannya.
Ternyata dr. Hendra sudah di belakangnya. Melihat wajah Hanna yang pucat, dr. Hendra tidak tega untuk melancarkan niatnya membuat Hanna semakin kesal padanya.
“Bentar, ya Han laporannya udah selesai.”
dr. Hendra memberikan secarik kertas laporan tagihan obat kepada Hanna.
Tanpa basa-basi Hanna mengambil kertas itu dan berpamitan.
“Makasih, dok..” ucap Hanna dengan pelan.
Saat memastikan Hanna sudah keluar dari ruangan, dr. Hendra mengikuti dari belakang memastikan bahwa Hanna tidak terjatuh saat menuruni tangga.
Saat akan menuruni satu tangga lagi, Hanna tiba-tiba jongkok untuk menahan rasa pusingnya. Dengan cepat dr. Hendra menghampiri Hanna.
“Hanna, kamu gapapa?” tanya dr. Hendra dengan sedikit rasa khawatir.
Hanna hanya menatap wajah dr. Hendra. Di bawah sinar lampu, Hanna bisa melihat dengan jelas wajah dr. Hendra. Wajah yang tidak asing baginya. Tapi.. dia bingung, dimana dia pernah bertemu wajah ini?
Sejenak mereka saling tatap satu sama lain. Pandangan dr. Hendra pun tertuju pada satu tusuk rambut yang Hanna gunakan saat itu. dr. Hendra mengenal tusuk rambut itu tapi.. dia tidak yakin.
“Ayo aku antar ke IGD. Kamu pucet sekali, Han”
Tiba-tiba Hanna muntah di depan dr. Hendra.
dr. Hendra kaget sejadi-jadinya. Yang tadi awalnya dia merasa khawatir justru kesal kepada Hanna karena kemejanya jadi kotor akibat muntahan Hanna.
“LHOOO KOK MALAH MUNTAH DI BAJU KU SIIIH??”
***
Setibanya di IGD, dr. Hendra tidak langsung melihat Hanna karena dia kesal bajunya kotor dan tidak punya baju ganti. Dia hanya mengenakan kaos putih yang menjadi lapisan dalam kemeja nya.
Tapi dia ingin tahu keadaan Hanna dan memutuskan untuk melihat Hanna.
Dengan wajah yang pucat, rambut tebal yang tergerai panjang dengan cepat mengubah rasa emosi dr. Hendra menjadi simpati ke Hanna. Namun, rasa kesal itu masih ada.
dr. Hendra menatap kesal Hanna dengan tangan disilangkan ke dalam dadanya, sementara Hanna duduk dengan tangan ter-infus. Wajah Hanna tersenyum segan ke arah dr. Hendra.
“Hehehe.. makasih udah bawa Hanna ke IGD dok.. maaf juga bajunya jadi.. kotor.. hehehe..”
“Lain kali, kalo ngerasa gak enak badan jangan masuk kerja. Nyusahin orang jadinya” jawab dr. Hendra dengan nada meledek
Seketika Hanna terpancing emosinya namun berusaha untuk menahan agar tidak bertengkar dengan dr. Hendra.
“I-iya maaf dok.. tadi awalnya cuma pusing karena sorry lagi mens, dok.” jawab Hanna lirih.
“Mens kok sampe muntah gitu. Asam lambung kamu naik juga itu kata dr. Arga” ucap dr. Hendra dengan nada kesal
“Ya gatau juga dok. Soalnya udah dua bulan ini Hanna mens nya gak teratur. Ada kayaknya sebulan itu dua kali mens”
Mendengar ucapan Hanna, dr. Arga sontak terkejut.
“Itu gak normal sih, Han. Baiknya kamu cek ke dokter obgyn. Itu udah termasuk haid yang gak teratur. Takutnya kamu jadi kekurangan darah” ucap dr. Arga dengan wajah yang khawatir.
Melihat reaksi dr. Arga, dr. Hendra sedikit kesal namun tetap tidak peduli.
Mendengar pernyataan dr. Arga, Hanna menjadi semakin takut jika terjadi sesuatu padanya. “Eh serius, dok? Waduh ini baru hari pertama lagi..”
dr. Hendra pun meninggalkan mereka. Dia merasa ada yang lebih penting daripada mendengarkan percakapan yang menyebalkan itu.
Dia menuju ruangan Hanna untuk meletakkan laporan tagihan obat yang ingin dia berikan ke Hanna namun Hanna sedang di IGD.
Saat masuk ke ruangan Hanna, semua orang terdiam dan menatap dr. Hendra.
“Saya dr. Hendra. Titip berkas ini untuk Hanna.” Ucap dr. Hendra sembari meletakkan kertas itu di atas meja Hanna.
Saat menuruni tangga, dr. Hendra tiba-tiba teringat akan tusuk rambut yang Hanna gunakan tadi. Namun dirinya terlalu malas untuk kembali ke IGD hanya untuk melihat tusuk rambut itu.