Ardi, seorang ayah biasa dengan gaji pas-pasan, ditinggalkan istrinya yang tak tahan hidup sederhana.
Yang tersisa hanyalah dirinya dan putri kecil yang sangat ia cintai, Naya.
Saat semua orang memandang rendah dirinya, sebuah suara asing tiba-tiba bergema di kepalanya:
[Ding! Sistem God Chef berhasil diaktifkan!]
[Paket Pemula terbuka Resep tingkat dewa: Bihun Daging Sapi Goreng!]
Sejak hari itu, hidup Ardi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hamei7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelanggan Kecewa
Di kota pelajar ini, kehidupan malam baru saja dimulai. Lampu neon berpendar di sepanjang jalan, motor berlalu-lalang, dan tawa serta obrolan mahasiswa terdengar di setiap sudut.
Namun, kios kecil milik Ardi justru sudah lebih dulu tutup.
“Maaf ya, mie goreng daging sapi sudah habis,” ucapnya dengan nada sungkan.
Hari ini adalah hari pertama ia membuka kios. Tak pernah terbayangkan olehnya, semua bahan yang disiapkan—cukup untuk dua ratus porsi—ludes hanya dalam beberapa jam.
Orang-orang yang masih mengantre spontan terkejut.
“Serius, Bang? Udah habis?”
“Padahal kami udah nunggu dari tadi loh…”
Ardi hanya bisa tersenyum canggung. Ia menunjuk wadah kosong di meja dagangannya.
“Benar, semua sudah terjual. Besok saya janji akan siapkan lebih banyak lagi.”
Mendengar itu, wajah pengunjung tampak kecewa. Ada yang menghela napas panjang, ada pula yang menggaruk kepala kesal. Setelah antre setengah jam, mereka harus pulang dengan tangan kosong.
Yang paling membuat iri tentu mereka yang sudah kebagian porsi terakhir. Dengan santai mereka duduk di pinggir jalan, menikmati bihun goreng sapi panas-panas. Aromanya terbawa angin, membuat perut orang-orang yang gagal kebagian semakin keroncongan.
Di seberang jalan, Pak Wanto, pemilik warung lama “Raja Mie Goreng”, berdiri dengan penuh harap. Melihat kios Ardi tutup cepat, ia merasa inilah kesempatan.
“Bapak-bapak, ibu-ibu! Mie goreng! Mie goreng Pak Wanto! Rasanya mantap, nggak kalah sama mie goreng sapi!” teriaknya lantang.
Sayangnya, tak ada satu pun yang bergerak mendekat. Sebaliknya, sebagian besar orang hanya melirik sinis.
“Setelah coba masakan Ardi, mana bisa balik lagi ke mie goreng biasa…” bisik seorang mahasiswa pada temannya.
Wajah Pak Wanto seketika memerah karena malu, tapi ia tak sanggup membalas.
Sementara itu, Ardi hanya bisa mengusap keringat di pelipis, lalu mulai membereskan peralatannya.
“Maaf banget ya. Hari ini hari pertama saya buka, saya benar-benar nggak nyangka bakal seramai ini. Besok, saya janji bakal siapin lebih banyak bahan,” ucapnya tulus.
Perlahan-lahan, kerumunan bubar dengan berat hati. Tidak ada yang singgah ke warung lain, semua memilih pulang ke kos atau kontrakan masing-masing.
Ardi menarik napas panjang. Ia tahu betul kekecewaan mereka, tapi apa daya? Ia masih belajar. Besok pasti akan lebih baik.
Saat sedang merapikan gerobak, pandangannya tak sengaja tertuju pada kios kecil di sampingnya. Indri, seorang mahasiswi, juga tengah membereskan lapak minuman lemon buatannya.
Tatapan mereka bertemu. Wajah Indri langsung memerah. Malam ini, ia jelas ikut kecipratan rezeki. Berkat aroma masakan Ardi, minumannya laris manis—bahkan jadi rekor penjualan terbaik sejak ia berjualan.
Ardi melirik jam tangannya. Hampir pukul sepuluh. Di sampingnya, Naya, putri kecilnya, sudah beberapa kali menguap lebar.
“Ayo, Naya. Kita pulang, ya. Kamu pasti sudah ngantuk,” ucap Ardi lembut.
“Iya, Yah…” jawab Naya dengan suara mengantuk.
Tadinya ia berniat menonton kartun setelah membantu ayahnya, tapi tubuh mungilnya terlalu lelah. Ia hanya ingin segera tidur dalam pelukan sang ayah.
Ardi mengusap kepala putrinya penuh sayang. Hatnya sedikit berat. Kalau bukan karena keadaanku… Naya nggak akan hidup susah begini… batinnya. Ia bahkan sempat ragu, besok sebaiknya membawa Naya lagi atau tidak.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari belakang.
“Um… Mas, aku mau traktir teh lemon, ya.”
Ardi menoleh. Ternyata Indri. Dengan kedua tangannya, ia menyodorkan dua gelas teh lemon. Matanya berkilat penuh tekad meski wajahnya memerah.
Tadi, Ardi sibuk memasak hingga tak memperhatikan Indri lebih dekat. Kini, ia baru sadar. Gadis ini sebenarnya cukup manis. Tubuhnya memang kurus, tapi tatapan matanya jujur dan hangat.
Ardi bisa menebak maksudnya. Indri tak ingin merasa berutang budi. Karena jualannya ikut terbantu, ia menawarkan teh buatannya sebagai bentuk terima kasih.
Padahal, Ardi sebenarnya lebih suka teh susu. Tapi melihat kebaikan gadis itu, ia tentu tak tega menolak.
“Terima kasih, ya,” ucap Ardi tulus.
Indri tersenyum kecil, lalu buru-buru menundukkan wajahnya yang semakin merah.
Ardi hanya bisa menggeleng pelan. Anak kampus zaman sekarang… masih ada juga yang pemalu begini, gumamnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian, setelah Indri selesai membereskan dagangannya, ia berjalan pergi. Namun, baru beberapa langkah, ia menoleh lagi.
“Oh iya, Mas… nama aku Indri. Besok buka kios lagi, kan?” tanyanya ragu.
Ardi tersenyum tipis. “Indri, ya? Nama yang bagus. Tentu, besok aku buka lagi.”
Wajah Indri langsung berbinar. “Syukurlah. Besok aku juga mau coba mie goreng sapimu.”
Ardi mengangguk sambil tersenyum hangat. “Datanglah. Aku pastikan porsinya besar. Kamu pasti kenyang.”
Indri menatapnya sejenak, lalu melangkah pergi dengan langkah ringan.
Ardi melihat punggung gadis itu perlahan menghilang di tengah keramaian malam, lalu menggenggam tangan Naya erat.
“Besok pasti lebih baik,” gumamnya pelan, sebelum melangkah pulang bersama putri kecilnya.
tapi untuk menu yang lain sejauh ini selalu sama kecuali MIE GORENG DAGING SAPInya yang sering berubah nama.
Itu saja dari saya thor sebagai pembaca ✌
Apakah memang dirubah?
Penggunaan kata-katanya bagus tidak terlalu formal mudah dipahami pembaca keren thor,
SEMAGAT TERUS BERKARYA.