Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 9
Hari-hari berlalu seperti bayangan yang enggan tinggal lama. Sejak malam lamaran itu, hidup Nara berjalan bagai di atas rel yang sudah ditentukan tanpa jeda, tanpa pilihan, tanpa kesempatan untuk bertanya, benarkah ini yang aku inginkan?
Dan hari ini, adalah salah satu babak penting dalam pernikahan yang bahkan belum sepenuhnya terasa nyata baginya.
Studio foto mewah yang dipilih keluarga Zean dipenuhi aroma parfum mahal dan kilatan cahaya dari lampu sorot yang menyilaukan. Dinding putih klasik dengan ukiran emas, karpet beludru, serta bunga artifisial tertata rapi menjadi latar sesi foto, semuanya tampak mewah dan sempurna.
Namun tidak dengan mereka.
“Sedikit lebih dekat, Mas Zean. Tangannya di pinggang Mbak Nara, ya,” ujar fotografer dari balik kamera DSLR-nya.
Nara berdiri kaku. Gaun pastel yang membalut tubuhnya terasa begitu asing. Senyum di bibirnya tipis, lebih mirip upaya bertahan daripada kebahagiaan. Di sampingnya, Zean berdiri tegap dalam setelan jas abu-abu. gagah, elegan, tapi dingin.
Tangan Zean melingkar di pinggang Nara. Gerakannya datar, nyaris mekanis. Tak ada kehangatan. Tak ada getaran.
“Bagus, tahan ya. 3… 2… 1…”
Klik.
Senyum Nara kembali dipaksakan. Wajahnya tampak cantik dalam bidikan kamera, tapi matanya kosong. Ia ingin sesi ini cepat selesai. Bukan karena tak suka difoto, tapi karena setiap jepretan terasa seperti mengabadikan kebohongan besar. Seakan mereka adalah pasangan yang bahagia.
“Coba sekarang saling tatap,” suara fotografer kembali terdengar.
Mereka berbalik.
Tatapan mereka bertemu. Sekilas.
Zean menatapnya tanpa emosi, seolah yang berdiri di depannya hanyalah orang asing yang kebetulan berbagi satu panggung dengannya. Calon istri yang datang dari peristiwa salah, bukan dari cinta.
Nara menahan gelisah yang perlahan menggerogoti batinnya. Ia tidak mengharapkan cinta yang instan. Tapi setidaknya… ia ingin dihargai.
Setelah beberapa pose tambahan, sesi akhirnya usai. Fotografer yang terbiasa menangani pasangan selebriti itu tahu bagaimana bekerja cepat,termasuk untuk pasangan yang tidak punya chemistry seperti mereka.
Nara langsung duduk di sofa empuk berwarna krem. Ia melepas high heels-nya perlahan, lalu menyandarkan punggung dengan napas panjang. Kelelahan bukan hanya dari berdiri terlalu lama, tapi dari berpura-pura sepanjang waktu.
Zean datang dan berdiri di sampingnya, lalu menyodorkan sebotol air mineral.
“Ini, kau minum dulu.”
Suaranya datar. Nyaris seperti formalitas.
Nara menerimanya tanpa banyak bicara. Sekadar anggukan kecil. Tenggorokannya memang kering, tapi yang lebih kering adalah isi dadanya.
“Terima kasih,” ujarnya pelan. Nada bicaranya sopan, namun jelas tidak hangat.
Beberapa menit kemudian, notifikasi mulai berdatangan ke ponsel mereka. Undangan digital telah tersebar. Nama mereka terpampang dalam desain elegan berwarna putih dan emas.
Zean Anggara Pratama & Anara Syazakisya
Media sosial ramai. Grup keluarga gempar. Dan pertanyaan pun beredar luas, kenapa bukan Lusi?
Nara menatap lantai, pikirannya kosong. Dunia seperti sedang sibuk merayakan sesuatu yang bahkan belum benar-benar ia mengerti.
Tak lama, suara langkah berderap masuk ke studio. Aroma parfum mahal segera memenuhi udara.
“Anak-anak Mama! Sudah selesai sesi fotonya?”
Melisa datang dengan senyum cerah, dandanan rapi, dan aura keanggunan yang tak bisa disangkal.
“Sudah,” jawab Zean, tanpa menoleh.
“Sudah, Ma,” sahut Nara, mencoba sopan meski masih terasa kaku. “Mama baru datang?”
“Iya, bareng Cika. Sebentar lagi dia juga masuk,” jawab Melisa santai sambil menghampiri fotografer, memeriksa layar kamera.
“Wah, hasilnya bagus-bagus. Kalian kelihatan cocok banget,” puji Melisa dengan mata berbinar.
Nara hanya mengulas senyum kecil. Ia masih bingung harus menanggapi semua ini sebagai apa. Bahagia? Syok? Atau justru tak tahu harus merasa apa?
Melisa kembali duduk di sampingnya.
“Kamu udah izin dari Toko, sayang?”
“Sudah, Ma. Hari ini saya libur.”
“Bagus. Mama senang kamu bisa jalani semua proses ini dengan baik.”
Nara mengangguk kecil. Tapi jauh di dalam, hatinya tetap merasa seperti tamu di kehidupannya sendiri.
Beberapa menit kemudian, pintu kembali terbuka.
Seorang gadis berseragam sekolah masuk. Tubuhnya tinggi, rambut lurus sebahu, wajahnya manis tapi ekspresinya netral. Matanya langsung mencari ibunya, lalu menoleh pada Nara.
“Ma,” sapa gadis itu singkat.
“Cika, sini, sapa kakak iparmu, Nara,” ujar Melisa dengan senyum bangga.
Cika mendekat. Tatapannya tertuju pada Nara. Datar. Tidak sinis, tapi juga tidak hangat masih sama seperti awal mereka jumpa waktu lalu.
“Halo,” ucapnya singkat.
“Halo, Cika,” balas Nara ramah.
Cika hanya mengangguk kecil. Lalu duduk di salah satu kursi, tak berkata apa-apa lagi.
Hening sejenak.
“Kamu baru pulang sekolah?” tanya Nara, berusaha mencairkan suasana.
“Iya. Jalanan macet.”
Setelah itu, hening lagi.
Melisa tertawa kecil. “Cika memang begitu. Nanti juga akrab.”
Cika menatap ibunya lalu mengangkat bahu. “Gak janji.”
Melisa mencubit pelan lengannya. “Eh, kamu ini…”
Nara ikut tertawa kecil. Setidaknya suasana tak terlalu tegang.
Sementara itu, Zean masih berdiri tak jauh dari mereka. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, wajahnya tanpa ekspresi. Sesekali melirik ke arah mereka, tapi cepat berpaling lagi.
Melisa bangkit lalu mendekat ke anak lelakinya. Ia membisikkan satu pertanyaan.
“Kamu yakin, Zean? Yakin gak akan pernah jatuh cinta sama Nara?”
Zean mendongak perlahan. Pandangannya tetap tenang, tapi dingin.
“Yakin,” jawabnya lirih. “Dia bukan tipeku. Terlalu… kekanak-kanakan.”
Melisa tersenyum tipis. Sebuah senyum yang seperti menyimpan teka-teki.
“Kita lihat saja nanti,” bisiknya pelan.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Disisi lain, kini lusi yang baru saja siap bergelut diatas ranjang bersama vico, tiba-tiba saja memikirkan zean sang mantan kekasih. Sudah seminggu setelah mereka putus zean tidak pernah lagi menghubunginya.
Biasanya tidak sampai seminggu marahan zean sudah lebih dulu menghubungi lusi dan mengemis minta maaf walaupun bukan zean yang salah. Lantas sekarang bahkan nomor lusi sudah diblokir oleh zean. Lusi melihat kearah vico yang masih tidur disampingnya itu, vico memang tampan tapi entah mengapa ada yang lain dari hati lusi.
Lusi bangkit dari tempat tidur itu dan menuju kamar mandi, ia membersihkan sisa cairan adegan panas semalam yang masih menempel ditubuh ramping nan seksinya itu.
Setelah selesai, lusi keluar dari kamar mandi dengan handuk yang pendek, bisa terlihat sangat jelas buah dad* yang berisi itu sangat indah.
Vico yang baru saja bangun dari tidurnya, bangun menghampiri lusi dengan tatapan mesumnya.
Dia menarik lusi kedalam pelukannya. Menghirup wangi badan lusi dengan sesekali memberi kecupan yang membuat lusi melengguh nikmat.
“Kau menggodaku lagi baby!!” Suara berat vico membuat lusi terpancing untuk sebuah kenikmatan lagi.
Namun ia tidak ingin bercinta pagi menjelang siang ini, entah mengapa ia begitu memikirkan zean. Kemana pria itu tidak mencarinya. Pikiran lusi begitu kacau. Namun rasa kenikmatan yang diberikan vico juga membuatnya nagih.
“Ayoo kita bertempur lagi baby” tangan vico menyusup kebawah handuk yang dikenakan lusi, hingga wanita itu tanpa sengaja mendes*h nikmat.
Akan tetapi lusi sedang tidak ingin bercinta untuk saat ini, karena semalam juga sudah mereka lakukan.
Lusi mendorong tubuh vico hingga pria itu terbuat mundur dari badan lusi. Lalu membenarkan handuknya yang sedikit melorot akibat ulah pria didepannya ini.
“Sayang, semalam kita sudah melakukannya tiga kali berturut-turut. Sekarang aku sangat lelah” ucap lusi pergi kearah lemari dan mengeluarkan pakaian untuk ia pakai.
“Tapi aku menginginkannya lagi baby”goda vico dan berjalan kearah lusi.
“Nanti saja, sekarang aku sangat lapar. Dan… kamu transfer ya aku ingin shopping banyak hari ini” setelah selesai memakai pakaiannya lusi pergi kemeja rias, menggeringkan rambutnya menggunakan hair dryer.
Vico hanya diam. Lalu mengirimi uang pada lusi, vico juga anak dari keluarga yang kaya. Bedanya vico masih bekerja di perusahaan ayahnya berbeda dengan zean yang sudah memiliki segalanya atas nama milik sendiri.
“Okey, terima kasih sayang. Muachh…” kecupan bibir singkat dari lusi untuk vico, setelah itupun lusi langsung pergi meninggalkan vico yang harus menahan diri karena lusi tidak ingin bercinta dengannya saat ini.
Karena biasanya mereka tetap melakukannya lagi walaupun mereka sudah melakukannya dimalam hari.
Di sebuah restoran mewah, Lusi melangkah masuk. Dela, sahabatnya, sudah menunggu.
“Ada apa sih, Del? Mukamu serius banget,” tanya Lusi sambil duduk dan menaruh tasnya.
“Lu ketinggalan berita heboh?” tanya Dela dengan nada misterius membuat lusi mengernyitkan dahinya.
“Berita apaan?” Tanya lusi penasaran.
“Nih liat” dela menyodorkan handphonenya pada lusi.
Mata lusi langsung terblakblakan ketika melihat poster undangan pernikahan sang mantan kekasih yang sudah tersebar begitu cepat.
“Anara? Siapa bocah ini?” desis Lusi, shock. Ia menatap lekat-lekat wajah gadis yang tersenyum di samping Zean. Senyum mereka terlihat bahagia. Padahal nyatanya itu hanya senyum yang dibuat-buat karena terpaksa.
“Gak salah kan yang gua bilang! Zean pasti akan cari yang lain lusi, lu aja yang gak dengerin kata gua” imbuh dela yang merasa jika sekarang lusi akan gila memikirkan zean bersama yang lain.
“Gak! Gak mungkin zean secepat itu nemuin pengganti gua! Mana gadis itu masih bocah. Awas aja lu gadis yang udah berani gatal sama laki gua” lusi tampak emosi melihat wajah nara yang terpampang diposter pernikahan itu.
“Nyesel kan lu sekarang?!” Sindir dela, membuat lusi kesal dan langsung pergi dari restoran meninggalkan dela seorang diri.