Aurelia Valenza, pewaris tunggal keluarga kaya raya yang hidupnya selalu dipenuhi kemewahan dan sorotan publik. Di balik wajah cantik dan senyuman anggunnya, ia menyimpan sifat dingin dan kejam, tak segan menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Sementara itu, Leonardo Alvarone, mafia berdarah dingin yang namanya ditakuti di seluruh dunia. Setiap langkahnya dipenuhi darah dan rahasia kelam, menjadikannya pria yang tak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya.
Takdir mempertemukan mereka lewat sebuah perjodohan yang diatur kakek mereka demi menyatukan dua dinasti besar. Namun, apa jadinya ketika seorang wanita kejam harus berdampingan dengan pria yang lebih kejam darinya? Apakah pernikahan ini akan menciptakan kerajaan yang tak terkalahkan, atau justru menyalakan bara perang yang membakar hati mereka sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naelong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leo menggoda Aurel
Udara malam terasa dingin menusuk ketika Leonardo Alvar0ne melangkah masuk ke dalam rumah mewahnya. Langkah kakinya berat, menyisakan jejak lumpur dan debu dari medan pertempuran. Rumah itu tampak tenang, lampu-lampunya menyala lembut, kontras dengan suasana kacau yang baru saja ia tinggalkan di markas.
Leo melepas jas hitamnya yang penuh noda darah dan abu, meletakkannya di sandaran sofa. Tatapannya langsung tertuju ke arah tangga marmer putih yang menjulang ke lantai dua. Di sanalah kamarnya bersama Aurel.
Wajahnya sedikit melunak. Mungkin dia sudah pulang, pikirnya. Setelah semua kekacauan malam ini, Leo hanya ingin melihat wajah istrinya meskipun kini, ia tahu siapa sebenarnya Aurel. Ketua Quen Delta. Tapi… tetap istrinya di dunia nyata.
Langkahnya menaiki tangga pelan tapi pasti. Sesekali ia menghembuskan napas berat, mencoba mengusir perasaan aneh yang berkecamuk di dadanya. Antara amarah, kagum, dan… keinginan.
Setibanya di depan kamar, Leo memegang gagang pintu. Ia membuka pelan, berharap melihat Aurel tengah duduk di ranjang atau berdiri di depan cermin seperti biasanya. Tapi begitu pintu terbuka...
Kosong.
Tak ada Aurel di sana. Hanya aroma samar parfum bunga yang tertinggal di udara. Tirai jendela bergoyang pelan diterpa angin, dan lampu meja menyala redup.
Leo menarik napas panjang. “Dia belum pulang,” gumamnya lirih, tapi nada suaranya berat, menahan sesuatu yang tak ia pahami.
Ia berjalan ke kamar mandi, menatap wajahnya di cermin. Ada luka gores di pelipis, dan sedikit darah di sudut bibir. “Cih… dia bahkan sempat melukainya,” katanya setengah tertawa getir. “Aurelia… wanita gila itu benar-benar berani melawan suaminya sendiri.”
Leo menyalakan shower, air hangat mulai mengalir, membasahi tubuhnya yang penuh luka dan debu. Ia menutup matanya, membiarkan air mengalir dari kepala hingga ke kaki. Di balik suara air, pikirannya terus berputar tentang Aurel.
Bagaimana wanita itu bisa menyembunyikan identitasnya begitu lama? Bagaimana ia bisa berperan sebagai istri lembut di rumah, sementara di luar sana menjadi pemimpin pasukan kejam?
Dan anehnya, semakin banyak pertanyaan itu berputar, semakin besar rasa kagumnya.
Setelah hampir dua puluh menit di kamar mandi, Leo keluar dengan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. Uap panas memenuhi ruangan, membuat cermin dan jendela berkabut.
Namun langkahnya terhenti di ambang pintu kamar.
Aurel sudah di sana.
Wanita itu sedang duduk di tepi ranjang, rambutnya masih basah, mengenakan piyama satin berwarna hitam. Tatapannya tajam, tapi lelah. Ia tak menatap Leo, hanya memegang handuk kecil dan mengeringkan rambutnya perlahan.
Leo bersandar di pintu, menatapnya lama, lalu bersuara pelan namun dingin.
“Kenapa lama sekali kamu pulang?”
Aurel tak menoleh, hanya berkata datar, “Apa pedulimu?”
Nada dingin itu membuat rahang Leo menegang. Ia melangkah pelan ke arahnya, suaranya turun satu oktaf. “Aku suamimu, Aurelia. Wajar saja kalau aku menanyakanmu.”
Aurel berhenti mengeringkan rambutnya, lalu menatap Leo dengan senyum sinis. “Ohh iya… suami, ya? Barusan juga, suamiku tiba-tiba peduli sama istrinya. Aneh sekali.”
Leo menatapnya tajam. Urat di pelipisnya menonjol. Ia mendekat perlahan, langkah kakinya nyaris tak bersuara di lantai kayu. Tatapannya berubah menjadi tatapan predator yang tengah mengintai mangsanya.
“Jadi…” katanya dengan suara rendah dan berat. “Hukuman apa yang pantas untuk istri yang berbohong pada suaminya, hm?”
Aurel sontak menegang. Ia buru-buru berdiri, tapi belum sempat melangkah, Leo sudah berada di depannya. Jarak mereka hanya sejengkal. Napas hangat Leo menyentuh kulitnya, membuat detak jantung Aurel sedikit berantakan.
“Kenapa istriku panik sekali?” Leo mencondongkan tubuhnya sedikit, wajahnya semakin dekat.
Aurel spontan memukul dada Leo dengan telapak tangan. Buk! “Kamu mau ngapain sih, kak Leo?!”
Leo meringis kecil, tapi tak mundur. “Mau memakanmu, istriku…” jawabnya dengan senyum miring penuh arti.
Aurel melotot. “Kamu.....gila!”
Leo tertawa kecil, tawa rendah yang entah kenapa membuat Aurel semakin salah tingkah. “Aku cuma bercanda. Tapi sejujurnya, Aurelia, setelah apa yang kau lakukan hari ini… aku jadi ingin tahu sisi lainmu lebih jauh lagi.”
“Sudah cukup, Leonardo. Aku lelah.”
“Lelah jadi istri, atau lelah jadi ketua organisasi kriminal?” ejek Leo, nada suaranya tajam tapi terdengar menggoda.
Aurel menghela napas kasar, lalu menatapnya tajam. “Aku tak mau bicara denganmu sekarang.” Ia berjalan cepat menuju kamar mandi.
Tapi Leo tidak membiarkannya lolos begitu saja. “Kau mau mandi? Mari kita mandi sama-sama, sekalian aku bantu menggosok punggungmu.”
Aurel berhenti di depan pintu kamar mandi dan menoleh cepat. “kak Leeoooo!” serunya kesal.
Leo mengangkat alis dan tersenyum lebar. “Kenapa istriku? Kita juga sudah sah jadi suami istri. Kau lupa? Itu kan yang sering kamu ucapkan dulu.”
Pipi Aurel memanas. “Dasar suami kulkas! Tidak tahu malu!”
Leo pura-pura mengerutkan dahi. “Kulkas? Hm… kalau aku kulkas, berarti kau yang suka buka-buka aku malam-malam ya?”
Aurel benar-benar tak tahan lagi. Ia segera mendorong dada Leo kuat-kuat hingga pria itu hampir kehilangan keseimbangan dan melangkah mundur. “Keluar dari kamar mandi, Leonardo!”
“Tapi....”
“Sekarang!”
Leo mengangkat kedua tangannya, berpura-pura menyerah sambil menahan tawa. “Baiklah, baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti aku masuk tanpa izin.”
Aurel mendorongnya sekali lagi hingga Leo benar-benar keluar dan menutup pintu kamar mandi dengan cepat. BRAK!
Leo tertawa kecil di depan pintu. “Kau lucu sekali saat marah, Aurelia.”
Dari dalam kamar mandi terdengar suara Aurel yang kesal. “Dan kau menyebalkan sekali, Leonardo!”
Leo menyandarkan punggungnya ke dinding dekat pintu, menatap langit-langit kamar. Tawa kecilnya perlahan mereda, berganti dengan senyum tipis yang tak bisa ia kendalikan.
Dia benar-benar tidak menyangka bahwa wanita yang dulu hanya dikenal sebagai gadis lembut, polos, dan pemarah kecil saat dimarahi suaminya—sekarang berdiri sejajar dengannya di dunia yang sama kerasnya.
“Ketua Quen Delta…” gumamnya pelan. “Ternyata kau jauh lebih berbahaya dari yang aku bayangkan, Aurel.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Beberapa menit kemudian, suara air dari kamar mandi berhenti. Leo masih duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan pakaian santai, tapi matanya tetap tertuju ke pintu kamar mandi.
Pintu terbuka perlahan, dan Aurel keluar dengan rambut setengah kering, mengenakan jubah mandi putih. Matanya langsung memicing melihat Leo yang tampak tenang seolah tak terjadi apa-apa.
“Kenapa kau masih di sini?” tanyanya sinis.
Leo menyeringai. “Menunggu istriku.”
“Untuk apa?”
“Untuk memastikan dia tidak kabur lagi.”
Aurel mendengus, “Kau pikir aku takut padamu?”
Leo berdiri, mendekat perlahan, langkahnya tenang tapi penuh dominasi. Ia berhenti tepat di depan Aurel, menatap matanya dalam. “Aku tahu kau tidak takut padaku, Aurelia. Tapi jangan lupa… di dunia ini, kau bukan hanya Ketua Delta. Kau juga istriku.”
Tatapan mereka bertaut lama. Udara di antara mereka terasa padat, menegangkan.
Aurel akhirnya menoleh, menghindari tatapan itu. “Kalau sudah selesai bicara, aku mau tidur.”
Aurel menatapnya sejenak, lalu berjalan melewatinya menuju ranjang. “Selamat malam.”
Leo berdiri diam, menatap punggung istrinya yang kini berbaring membelakangi dirinya. Ia berjalan ke sisi lain ranjang, mematikan lampu utama, menyisakan cahaya temaram dari lampu meja.
“Selamat malam, Aurelia,” katanya pelan sebelum ikut berbaring.
Bersambung......
sebaiknya di apain tuh org kaya si Bianca 🤔
di bunuh/di siksa secara perlahan-lahan
king mafia dan Queen mafia,