NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PROLOG

"Mas Sastra," suara Maharani begitu lembut nan menggoda memanggil halus nama suaminya, bersamaan dengan tubuh rampingnya yang naik keatas pangkuan Sastrawira.

Tangan Maha bergerilya menyentuh halus dada bidang Sastra dari balik kaos polosnya yang berwarna putih, "Mas mau aku pijitin tidak? Supaya kerjanya semakin semangat besok." Katanya mengedipkan sebelah mata, sedangkan tangannya mulai meraba-raba dada bidang Sastrawira yang terbentuk atletis, kemudian beralih pada otot-otot tangannya dan mulai memijatnya begitu lembut.

"Aku sedang berusaha jadi istri impianmu loh, yang manis, halus tutur katanya, lembut dan anggun. Istri nurut, suami kan tambah cinta," Maha mulai menjalankan aksinya, bibir berpoleskan gincu merah yang merona itu mulai menciumi leher Sastra hingga meninggalkan jejak lipstik yang jelas tertinggal disana.

"Saya suka kamu apa adanya." Bertepatan dengan tangan Maharani yang menyentuh jakun pria itu, Sastrawira baru membuka suara.

"CK! Lo tuh banyak protesnya ya Sas, seharusnya lo muji istrinya dong, 'sayang... Kamu benar-benar istri idamanku.' gue berharap denger perkataan lo kaya gitu, ini malah protes." Maha mendengus sebal, namun ia kembali melanjutkan aksinya.

"Enak gak pijatan aku Mas?" Maha memulai kembali.

Sastra menatap netra cokelat Maharani dengan tatapan yang sulit diartikan, sedangkan tubuhnya terdiam di sofa panjang, hanya terasa getaran aneh saat Maha bergerak dengan ria diatas tubuhnya.

"Bukannya kamu besok ada ujian matematika, kenapa gak belajar?" Pertanyaan Sastra berhasil membuat Maharani memberhentikan aksi menggoda suami yang penuh dengan ketenangan ini.

"Gue gak perlu belajar, palingan besok tinggal nyontek, gampang kan?"

Sastra menghela nafas sejenak kemudian menurunkan Maharani dari atas pangkuannya, dia menarik lembut tangan istrinya dan melangkah bersama Maha yang mengikuti dari belakang.

"Berhasil nih!" Maha membatin kesenangan, akhirnya bisa diajarkan Sastra tanpa harus memohon pada pria menyebalkan yang disebut suami ini.

Didudukannya Maha diatas kursi belajar, kedua tangannya diletakan diatas meja dengan satu tangan kanan memegang pena dan tangan kirinya memegang buku paket matematika yang sudah tergeletak diatas meja. Sastra menarik kursi lain dan duduk disebelah Maha.

"Halaman mana yang perlu dipelajari?" Tanya Sastra fokus pada buku yang Maha pegang.

"Ini, delapan puluh sembilan."

Sastra mulai membaca sub judul yang tertera pada halaman delapan puluh sembilan, sementara Maha diam-diam mencuri pandang ke arah suaminya yang begitu serius. Wajah Sastra yang tegas dan tenang membuat Maha terdiam. Bukan karena kagum, tetapi karena dia merasa puas—Sastra terlihat begitu mudah dibodohi oleh rencana kadalnya.

"Ini tentang integral. Kamu sudah mengerti konsep dasarnya?" tanya Sastra, menatap Maha dengan penuh perhatian.

Maha mengangguk kecil, meskipun dalam hatinya dia tahu hanya sedikit yang dia pahami. Namun, dia tidak ingin merusak momen ini dengan mengakui ketidaktahuannya.

Sastra kemudian mulai menjelaskan konsep integral dengan suara yang tenang dan jelas. Tangan besarnya sesekali menggambar diagram di buku latihan Maha untuk mempermudah penjelasannya. Namun, pikiran Maha terus melayang, lebih fokus pada gerakan tangan Sastra dan suaranya yang lembut—semua itu justru membuatnya semakin mengantuk.

"Saya tahu ini bisa terasa sulit, tapi kalau kamu bisa pahami dasarnya, sisanya akan jadi lebih mudah," ujar Sastra setelah selesai memberikan penjelasan.

Maha jelas-jelas tidak mendengarkan. Gadis itu sudah tertidur dengan tangannya yang bertumpu pada meja, menyangga dagunya yang kini terkulai lemah.

Sastra tahu bahwa Maha selalu sulit fokus, terutama pada hal-hal yang tidak menarik minatnya. Namun, melihatnya tertidur saat dia sedang berusaha mengajarkan sesuatu membuat Sastra tersenyum tipis. Ada sisi Maha yang begitu lugu dan polos, meskipun di balik itu, Sastra menyadari betapa cerdiknya Maha dalam menggunakan pesonanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Sastra menghela nafas pelan, hampir tak terdengar, seolah tengah mengeluhkan perilaku sang istri yang seringkali dipandang  sebelah mata oleh anggota keluarga nya yang lain karena kesembronoan nya. Meski begitu, Sastra tidak pernah merasa diperlakukan semena-mena oleh Maharani.

"Bangun, Tuan Putri. Setidaknya belajar sedikit supaya pengetahuanmu untuk ujian besok tidak terlalu nol," ujar Sastra lembut sambil membangunkan istrinya.

Maha terkejut dan langsung tersentak bangun. "Sastra edan!" serunya spontan, mengungkapkan apa yang benar-benar ada di dalam hatinya.

Dia mencebik kesal, tak suka tidurnya diganggu, apalagi sampai membuat jantungnya berdetak kencang seperti ini. "Bisa gak sih lo gak usah ngagetin gue? Gue jantungan! Lo enak jadi duda, ya gue mati penasaran karena belum bercerai dari lo!" Maha menggerutu, menatap Sastra dengan mata tajam, meski di balik kemarahan itu tersirat batinnya yang memohon agar ucapannya tak sampai keatas langit.

Sastra tidak banyak merespon dia hanya menjentikkan jarinya pada buku paket matematika milik Maharani. "Kamu sengaja cari perhatian ingin saya ajari, tapi kamu malah tidur seperti tadi? I can't help much, Maha."

Maha mendelik tajam, kalau bukan karena usahanya cosplay jadi istri lemah lembut untuk membuat om-om ini dapat membantunya, ogah banget Maha melakukan hal-hal seperti itu.

"Siapa suruh lo punya otak encer? Ya gue manfaatin lah, rugi kalau gak gue ambil." Batinnya berdrama lagi, ia terkikik didalam hatinya.

"Kok lo kayak yang gak niat mau bantu gue sih? Kalau emang gak, yaudah sana aja, pintu kamarnya tinggal di buka terus lo keluar dari sini, gampang kok."

Tidak ada untungnya berdebat dengan Maha karena hanya akan membuat perempuan ini bermain-main dengan waktu yang semakin bergerak menuju malam yang semakin larut.

"Saya jelaskan secara spesifik, kamu perhatikan dengan baik-baik, saya tidak akan mengulangi lebih dari dua kali, kamu mengerti?" Spontan Sastra menjitak kepala Maha sehalus mungkin dengan pena yang ia pegang.

"Iya, gue ngerti, peraturan lo gak boleh lebih dari dua kali. Tapi kalau kerjaan gue salah ya di koreksi."

"Good girl."

Maha mulai fokus belajar, secepat itu langsung memahami cara Sastra menjelaskan dan memberikan contoh penyelesaian. Walaupun saat di coba ternyata matematika tetap masuk kedalam daftar mata pelajaran yang paling tidak Maha sukai.

"Shit! It's so hard!" Umpat Maharani begitu kesal, tiba-tiba otaknya tidak sinkron dan Maha mulai tidak sabaran.

Sastra mengambil pena kembali, memberikan cara penyelesaian secepat kilat hingga membuat Maha tercengang. "Gue akui kalau otak lo itu encer. Kalau bisa gue mau pinjem otak lo buat besok aja boleh dong Mas..."

Sastra menarik sebelah alisnya, ingin tahu jawaban dari Maha, karena itu ia bertanya, "bagaimana caranya?"

Maha tersenyum miring, "gini caranya," Maha mengambil cutter yang berada di dalam tempat alat-alat tulis nya dan mengayunkan kearah kepala Sastra, berharap laki-laki itu akan meresponnya dengan marah, namun bukan Sastrawira Hardjosoemarto jika tidak setenang itu menghadapi kegilaan dari tingkah bar-bar Maharani.

"Boleh, tapi itu tandanya kita berdua akan mati bersama." Seolah kendali ada di tangan Sastra, Maha justru dibuat dongkol olehnya.

"Sia-sia dong gue ngelakuin semua ini," ujarnya membatin sarkastik, Maha kembali menatap buku di hadapannya. "Gak ada gunanya ngomong banyak sama lo. Okey, tunggu gue nyelesain tiga soal ini terus lo nilai dan sekali lagi, kasih gue koreksi kalau salah."

Sastra mengangguk, mereka hening beberapa saat sampai akhirnya Maha selesai menyelesaikan tiga soal itu dalam waktu lima belas menit yang dimana satu soal dia habiskan sebanyak lima menit.

"Semuanya sudah benar, tapi kamu harus gunakan waktu lebih efektif lagi. Kalau bisa tiga menit untuk satu soal,"

Maha melotot, laki-laki ini sepertinya memang sengaja ingin memerintahnya. "Gak usah banyak nuntut sama gue, lo itu perlu ngajarin gue doang."

Sastra bangun dari duduknya, menatap Maha dengan tatapan datar. "Setelah ini langsung tidur, jangan main handphone terus." Sastra segera berkelok menuju pintu, keluar dari kamar Maha tanpa menoleh lagi. Maha mendengus sebal, "gak akan semudah itu lo merintah gue, dasar om-om patriarki!"

Keesokan paginya, Maha kembali bangun pukul lima subuh untuk melaksanakan agenda rutinnya bersama Sastra, yaitu sholat berjamaah. Pada awalnya, Maha merasa terpaksa, namun seiring waktu, dia mulai terbiasa dan batinnya benar-benar menjadi tenang.

Namun, bukan Maharani namanya jika tidak membuat Sastra semakin ilfeel padanya. Pagi itu, suasana di ruang makan yang awalnya tenang berubah menjadi heboh karena suara Maha yang mendominasi.

"Duh, Mas, aku nggak sengaja sungguhan. Sini aku bersihkan," kata Maha panik sambil mengambil tisu di atas meja. Dia segera membersihkan kemeja kerja Sastra yang terkena tumpahan selai roti, tetapi bukannya bersih, kemejanya justru semakin kotor.

Sastra hanya menghela napas sejenak, kemudian pergi tanpa menghiraukan Maha yang sekali lagi gagal membuatnya bereaksi sentimental.

"Gue nggak akan nyerah, Sas. Sampai gue berhasil buat lo takluk untuk tanda tangani surat cerai kita!" ujar Maha, penuh tekad.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!