Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Satria, bisa bertemu saya di ruangan?
Pesan singkat itu membuat degup jantung Satria berdebar lebih kencang. Tak biasanya seseorang penting menghubunginya atau bahkan memintanya untuk bertemu secara langsung. Tanpa pikir panjang, Satria segera melangkah menuju gedung rektorat, usai bimbingan skripsinya hari ini. Setelah menelusuri setiap koridor kampus yang panjang, akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan bertingkat lima dengan arsitektur yang menjulang modern namun tetap menampilkan sentuhan klasik.
Begitu masuk, aroma parfum ruangan dan sejuknya AC menyambutnya yang menempel pada dinding yang didominasi kaca besar, sehingga memantulkan cahaya matahari siang dari luar sana. Satria segera memasuki lift, menekan tombol lantai yang dituju dengan cepat.
Lift berhenti dengan suara “ding” lembut, dan pintunya perlahan terbuka. Satria melangkah keluar, disambut koridor yang lebih luas dengan lantai marmer berkilau dan dinding berwarna krem yang dihiasi lukisan kampus. Suasana terasa hening, hanya terdengar langkah kakinya yang memantul samar. Beberapa tanaman hias tinggi di sudut menambah kesan segar, sementara meja resepsionis dengan seorang petugas yang tersenyum ramah menegaskan formalitas tempat itu.
Sambil menggenggam map berisi revisian akhir skripsinya dan backpack yang tergantung di bahunya, Satria tiba di depan pintu sebuah ruangan. Pintu kayu tebal dengan pegangan logam berkilau ia ketuk pelan.
"Masuk!" Suara seseorang dari dalam.
Satria mulai menggenggam kenop mewah itu, terasa dingin dan halus di tangan. Saat pintu terbuka, aroma kayu dan buku tua yang khas langsung menyambutnya didalam ruangan luas dengan nuansa formal itu.
"Satria," Sapa seorang pria yang usianya mungkin tak begitu jauh dengan usia sang Ayah. Pak Fandi, alias Rektor kampus itu meminta Satria untuk masuk lalu duduk dihadapannya kemudian. "Bagaimana dengan hasil revisian terakhir kamu?"
Satria menaruh map itu dengan hati-hati di atas meja kaca yang memantulkan cahaya lampu ruangan, lalu melepaskan tas berat yang selama ini menempel di punggungnya. Seketika pundaknya terasa lebih ringan, dan napasnya pun mulai lebih teratur. Ia mengusap sejenak keringat di dahinya, mencoba menenangkan diri. "Alhamdulillah, Pak. Skripsi terakhir saya sudah di ACC Bu Hana."
Pria berjas hitam itu tertawa kecil, suaranya lembut namun penuh wibawa, seakan memancarkan kebijaksanaan yang menenangkan sekaligus menegaskan posisinya. "Kamu itu, memang mahasiswa yang kompeten sejak awal, Satria." Matanya menatap Satria dengan tatapan tajam namun hangat, seolah menilai kesiapan dan keseriusan pemuda itu.
Satria tertunduk, merasa tersanjung atas pujian itu. Pujian langsung dari seseorang yang bukan sekedar dosen atau pembimbingnya. Melainkan rektor kampus yang secara langsung memanggilnya siang ini. "Bapak, bisa saja."
Pria itu tersenyum sambil memposisikan duduknya lebih nyaman dan menatap Satria lebih serius. "Kamu tahu mengapa saya memanggilmu?"
Satria menggeleng.
"“Kamu masih ingat perjanjian kampus kami kepada mahasiswa yang berprestasi?”
" Ma-masih, Pak." Angguk Satria.
"Selamat, Satria. Kamu adalah salah satu dari mahasiswa yang terpilih juga." Tandas pria itu dengan mata penuh keyakinan.
Satria tersentak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menahan napas sejenak, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja terdengar. Namun, rasa bangga dan lega lebih dulu bercampur, membuat Satria sulit menahan senyum tipis.
"Kami telah mempertimbangkan banyak hal, termasuk prestasi akademik, sikap, dan dedikasi, kami akhirnya dapat memutuskan kepada siapa saja mahasiswa yang berhak menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 ke Jepang. Selamat, Satria."
"Pak, ini serius?!" Mata Satria membulat besar.
"Yudisium akan diumumkan besok. Dan, setelah acara puncak wisuda minggu depan, bersiaplah untuk terbang ke Jepang, Satria." Kata Pak Fandi dengan suara yang dalam dan tegas.
Satria menutup mata sejenak, menarik napas panjang, berusaha menyerap kabar yang baru saja didengarnya. Rasanya seperti mimpi—sesuatu yang selama ini ia impikan kini benar-benar akan menjadi kenyataan. Tubuhnya bergetar ringan, tapi senyum tipis tak bisa ia sembunyikan.
Dengan bekal awal ini, Satria tahu ia tidak akan lagi merepotkan kedua orang tua angkatnya. Ia bisa membalas semua kebaikan dan pengorbanan mereka selama ini, membuat hati mereka bangga. Pikiran itu menghadirkan rasa lega dan haru yang hangat, seakan setiap tetes keringat dan malam panjang yang dilewati selama kuliah kini menemukan maknanya. Ia menggenggam map skripsi dan tasnya dengan mantap, merasakan tekad yang semakin kuat untuk memulai babak baru dalam hidupnya—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang telah percaya dan mendukungnya tanpa henti.
"Terima kasih banyak atas kesempatan ini, Pak." Ucap Satria dengan nada bergetar. "Kalau begitu, saya akan mempersiapkan diri saya dari sekarang."
Pak Fandi mengangguk. "“Satria, kamu juga nanti yang akan menjadi perwakilan mahasiswa untuk memberikan sambutan di acara wisuda dengan cum laude tertinggi."
Penghargaan ini bukan hanya soal sambutan di depan seluruh civitas akademika, tapi juga pengakuan atas kerja kerasnya yang tak kenal lelah selama ini. Satria menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang cepat, lalu perlahan tersenyum tipis. "Siap, Pak!"
****
"Mas Satria," Gumam Amira, suaranya nyaris tersapu angin yang masuk dari jendela kafe, saat matanya tanpa sadar tertuju pada meja nomor tujuh, tempat kali pertama pertemuannya bersama sosok yang kini telah menjadi bagian dari kehidupannya.
Senyum tipis terbentuk di bibir Amira, lembut dan penuh makna, seolah setiap lekuknya menahan rindu dan kagum yang selalu terpendam. Sementara, jarinya masih lincah meracik kopi pesanan pelanggan.
"Heh, Amira!" Elen mengejutkan.
"E-Elen,"
"Aku heran deh sama, kamu! Kok bisa ya, Pak Tomi nerima kamu sebagai karyawannya! Kalau aku atasan kamu, udah dari awal aku pecat kamu!" Caci Elen. Matanya begitu tajam dan menusuk. "Kerja, yang dibanyakin ngelamun mulu! Cepetan! Kamu gak lihat apa, pelanggan kita udah banyak yang ngantri?!"
Amira menelan saliva, tetap diam tanpa menjawab. Kali ini, cacian Elen bahkan tak mampu menembus pikirannya; bayangan sosok Satria begitu kuat, menutupi setiap kata tajam yang terlontar. Anehnya, rasa sakit yang biasanya muncul dari pernyataan menyakitkan itu kini tidak ada—hanya ada rasa hangat dan lega yang memenuhi dadanya.
"Cepetan!"
Amira hanya mengangguk. Matanya kembali menatap mesin kopi, tangannya tetap sigap bekerja, namun pikirannya masih melayang pada momen-momen sederhana bersama Satria—senyum tipis, tawa ringan, dan kehangatan yang kini lebih kuat daripada amarah atau hinaan siapa pun.
****