"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Tanpa ragu, Ajeng membalas ciu man Biantara. Entah kenapa, sekarang dia ringan sekali melakukan dosa itu.
Rasa kecewa, terluka, dan sakit luar biasa, membuat alam bawah sadarnya ingin balas dendam.
Bukan balas dendam dalam artian sebenarnya kepada Rendy. Tapi, dia ingin melampiaskan rasa sakit itu dengan hal-hal yang lebih menantang.
Istilahnya, kalau Rendy bisa, kenapa dia tidak? Dan kalau Rendy boleh, kenapa dia tidak?
Bukan ingin menjadi sama buruknya. Tapi, jiwa rapuhnya ditambah pesona Biantara, membuat setan mudah mengajaknya untuk selingkuh.
Katakanlah Ajeng murahan atau terlalu gampangan. Tapi, sifat manusiawinya tak bisa bohong. Biantara yang sudah memberinya segalanya, mudah saja menarik perhatian dan simpatinya.
Ajeng hanya realistis. Menjadi orang baik, nyatanya tidak selalu menjamin dia tidak akan pernah terluka.
Namun meskipun demikian, bukan serta merta Ajeng akan menjadi orang jahat. Ajeng hanya butuh pelampiasan. Ajeng hanya butuh hiburan kecil dan sandaran yang mampu menguatkannya.
“Kita bisa bercinta betulan kalau kamu bersemangat seperti itu, Baby.” nafas Biantara terengah hebat, melepas sebentar ciu mannya."
“Eits, nggak boleh! Aku belum selesai datang bulan.”
“Sial! Bantu aku kalau gitu.”
“Baiklah… tapi, antar aku ke pengadilan besok! Kamu nggak marah kan kalau rencana diam-diam kita batal?”
“Tidak masalah. Aku siapkan pengacara lagi kalau Rendy punya persiapan melawanmu.”
Jika Ajeng sedang bersenang-senang bersama Biantara, di rumahnya, Rendy justru tengah melampiaskan emosinya kepada siapa saja yang dia temui.
“Monik!” Panggil Rendy dengan teriakan yang membuat seluruh penghuni rumah menatapnya. “Mana Monik?”
“Monik di kamar Ajeng, Bos.” Doni yang menjawab.
Tanpa berbicara apapun dan hanya mempertahankan wajah bengisnya lelaki itu naik ke kamarnya sendiri.
“Monik!” Lagi, Rendy berteriak seraya membuka pintu kamar dengan kasar.
Tentu saja, Monik dan Ayu—karyawan disana juga— yang sedang sibuk membereskan pakaian Ajeng, terkejut melihat Rendy.
“Apa yang kalian lakukan?” Tanya lelaki itu tanpa basa-basi.
“Maaf, Mas. Mbak Ajeng nyuruh saya beresin barang-barangnya.” Monik sedikit gugup.
“Kamu tahu dimana dia?” Rendy benar-benar menunjukkan seberapa amarahnya.
“Nggak tahu, Mas. Saya cuma suruh beresin barang-barang Mbak Ajeng aja sebelum dia pergi tadi."
“Bohong kamu!” Sergah lelaki itu cepat, bahkan sebelum Monik benar-benar menyelesaikan ucapannya.
Gadis itu sampai terlonjak karena bentakan Rendy.
“Kamu tahu kan siapa laki-laki yang menjadi pacar Ajeng?”
Ditanya seperti itu, Monik gelagapan. “Sa—saya nggak tahu, Mas.”
“Tadi kamu jalan-jalan sama dia. Kemana kalian?”
“Cuma mall, Mas. Sama ke apartemen temen Mbak Ajeng.”
“Laki-laki atau perempuan?” Rendy terus menginterogasi Monik.
“Em, ada laki-laki, ada perempuan.” Tentu saja, yang bagian ini dia berbohong.
“Siapa dia?”
Ajeng menggeleng. “Orangnya belum cukup terkenal, Mas. Itu minta Mbak Ajeng bantu bikin konten, siapa tahu jadi fyp.”
“Kamu nggak bohong kan, Monik?”
Monik menggeleng ribut.
“Saya pegang omongan kamu. Kalau saya sampai tahu kamu berbohong suatu saat nanti, saya pecat kamu!”
“Iya, Mas… saya mengerti.” Hanya itu yang Ajeng katakan.
“Sekarang, berhenti beresin barang-barang Ajeng! Kalau dia menghubungimu, bilang kalau dia harus mengambil semuanya sendiri kesini.”
Monik dan temannya mengangguk patuh.
“Ya sudah, sana keluar!”
Monik dan Ayu berpandangan sebentar, sebelum akhirnya sama-sama keluar dari kamar majikan mereka.
Setelah benar-benar berhasil keluar dari sana, Monik menatap pintu kamar Ajeng dengan hembusan nafas lega.
‘Untung dompet sama surat-surat yang tadi udah aman.’ gumam gadis itu dalam hatinya, sambil memandangi ke arah tubuhnya sendiri.
Pasalnya, di dalam jaket yang dia kenakan saat ini, tersembunyi barang-barang berharga milik Ajeng.
Beruntung, surat-surat berharga Ajeng tinggal sedikit saja karena sebagian sudah berada di tangan pengacaranya. Ajeng juga tidak punya banyak barang berharga lain seperti perhiasan dan barang mahal lainnya.
Saat Monik dan Ayu menuruni tangga, mereka berpapasan dengan Sabrina yang tergesa-gesa berjalan berlawanan arah.
“Mas Rendy di kamarnya?” Tanya wanita hamil itu kepada Monik dan Ayu.
Mereka hanya mengangguk saja, lantas sama-sama kembali meneruskan langkah menuju tujuan masing-masing.
“Mas!” Panggil Sabrina dengan wajah khawatir. “Kamu nggak apa-apa? Kata Joko kamu berantem sama Mbak Ajeng sampai dia pergi.”
Rendy mendengus, sebelum menjawab istrinya itu.
“Ajeng tahu perselingkuhan kita.” kata Rendy tak butuh basa-basi.
“A—apa?” Sabrina sampai terbata saking terkejutnya. “Dia tahu dari mana, Mas?”
“Dari seseorang yang nggak suka sama kita. Dia menghubungi Ajeng pakai nomor dan akun palsu.”
“Siapa? Aku nggak punya musuh.”
Rendy mengedikkan bahunya, disertai hembusan cepat.
“Terus, sekarang Ajeng nya kemana?”
“Kalau aku tahu, aku nggak mungkin tanya sama Monik. Dia juga nggak mau angkat teleponku."
“Tapi aktif kan? Kenapa nggak dilacak lagi kayak kemarin?”
“Ya, aku belum sempat bicara sama Doni.”
“Ya sudah, kita turun yuk! Kamu lagi emosi. Kamu harus punya temen biar nggak gegabah ambil keputusan..”
Mau tak mau, Rendy menuruti istrinya keluar dari kamar. Tapi, saat Sabrina hendak menggandengnya, lelaki itu menepis kasar.
“Beri aku waktu berpikir, Brina! Jangan ganggu aku dulu dengan semua rengekanmu itu!”
“Astaga, Mas. Kamu ini kenapa? Kok marah sama aku?” Jelas, Sabrina tak terima. “Aku cuma mau gandeng kamu.”
“Nggak perlu! Kamu dengar kan? Jangan ganggu aku dulu!”
“Oh, jadi menurutmu aku ganggu kamu? Padahal, aku sengaja ke sini untuk menghiburmu, Mas.”
“Sudahlah, Brina! Aku nggak ada waktu untuk berdebat. Lebih baik, pulanglah dulu karena aku masih banyak urusan.” Rendy memilih melunakkan sikapnya. Dia tahu, istri keduanya itu tak pernah ingin kalah dalam berdebat.
“Sekarang, kamu ngusir aku?”
“Astaga….” Rendy bergumam sambil menyugar rambutnya frustasi.
“Cuma karena masalah Ajeng, kamu juga ikut marah sama aku, Mas? Ngapain sih dia kamu bikin ribet? Katamu, dia nggak bisa apa-apa kan kalau di ranjang? Dia juga kampungan kalau diajak jalan.”
“Tapi, dia istriku juga, Brina.”
“Aku tahu. Tapi kan selama ini kamu udah nggak peduli lagi sama dia. Kamu selalu nempel sama aku. Jadi, ngapain pusing cuma karena dia pergi?” Sabrina benar-benar menunjukkan sifat aslinya.
“Tapi, dia pergi karena marah sama kita. Lagian, kalau kamu nggak merayuku terus, aku juga nggak akan mengacuhkan Ajeng.”
“Berarti, pesonaku lebih unggul kan daripada Ajeng?”
Rendy berdecak sambil menggelengkan kepalanya. “Bukan waktunya untuk membahas itu. Aku sedang pusing ngurusin Ajeng. Asal kamu tahu, awal mula masalah ini juga kamu yang buat. Jadi, tolong mengertilah."
“Kok aku? Kita sama-sama suka dan sama-sama mau, Mas. Memangnya, cuma aku doang yang mau jadi selingkuhan kamu. Kan kamu juga mau.”
“Ya tapi seharusnya kamu itu bisa menempatkan diri. Aku sudah bilang sejak awal, kalau kamu cuma istri kedua. Tapi kamu malah menguasaiku sampai Ajeng nggak terima.”
“Hey, Mas! Aku berhak atas kamu. Meskipun cuma istri kedua, tapi aku juga tetap istrimu yang punya hak sama kayak Ajeng. Apalagi aku sedang mengandung anakmu. Jadi, wajar aku mau kamu deket-deket aku terus.” Sabrina tak ingin disalahkan.
“Seharusnya kamu kasih Ajeng sedikit waktu untukku.”
“Aku udah ngasih kok.”
“Kapan? Kalau aku di rumah Ajeng, kamu selalu merengek menyuruhku pulang.”
“Aku menyuruhmu pulang karena ada alasannya.”
“Sudahlah!” Rendy memilih memalingkan wajahnya. “Berdebat terus sama kamu nggak ada gunanya. Sekali keras kepala, tetap keras kepala. Seperti saat kamu terus mendesakku untuk menikahimu.”
Setelah itu, Rendy memilih pergi karena tak mau terlalu lama berdebat dengan Ajeng. Sayangnya, Sabrina tak terima dikacangi begitu saja.
“Mas, tunggu! Kita belum selesai bicara.” Sabrina mengejar Rendy yang lebih dulu keluar.
“Kalau masih mau berdebat, nanti saja kalau aku sudah pulang. Aku bicara dulu sama Doni.” Acuh lelaki itu.
“Enak saja! Selesaikan dulu masalah kita.”
“Nggak akan selesai kalau kamu masih keras kepala. Aku cuma minta waktu, Brina. Waktu sedikit saja mencari istriku.”
“Akh!”
Rendy sontak menoleh ke ke belakang ke arah Sabrina. Mereka memang sedang menuruni tangga, makanya Rendy bersikap sigap.
Namun, saat dia tahu apa yang terjadi kepada Sabrina, lelaki itu menghela nafas panjang.
“Ada apa lagi?” Rendy menatap wanita yang sedang mencengkeram erat pembatas tangga itu.
“Aku mau jatuh, Mas.” Kata Sabrina.
“Tapi nggak jadi kan?” Enteng Rendy.
“Ish, kamu kok gitu, Mas? Kalau ada apa-apa sama aku gimana?”
“Nggak mungkin!” Ucap Rendy yakin. “Kalaupun kamu keseleo, aku pasti akan menangkapmu karena aku lebih dulu di bawahmu.”
“Tapi kalau jatuh dulu gimana?”
“Enggak, Brina. Please lah, jangan drama dulu! Aku minta waktu satu sampai dua jam buat bicara sama Doni.”
“Em, aku ikut.” Wanita itu mulai merengek.
Menghela nafas panjang, lalu Rendy berbicara, “Ya sudah, ayo! Tapi jangan ribut buat cepet-cepet selesai.”
Sabrina mengangguk antusias. Lalu, mengekori suaminya yang berjalan lebih dulu.
“Kita bicara di kantor sebentar, Don.” Kata lelaki itu saat kebetulan bertemu Doni dan yang lainnya sedang membahas pekerjaan.
“Baik, Bos.”
Doni mengikuti, lalu mereka mengambil tempat masing-masing.
“Lacak Ajeng lagi, Don! Sama perintahkan Jarwo untuk mencari dan menyeret Ajeng pulang. Gue nggak terima kalau dia di luaran sana beneran sama laki-laki lain.”
“Maksud bos?” Doni tak paham.
“Ajeng selingkuh, Don. Tapi, gue nggak percaya. Pasti, dia cuma gertak gue doang. Tapi yang lebih penting, gue nggak mau dia gugat cerai.”
Doni mengerti. Dia lantas memanggil seorang pakar untuk melacak nomor Ajeng lagi.
“Nomor Ajeng udah nggak aktif semuanya, Bos. Gimana?” tanya Doni.
“Lo yakin?”
“Ya, Ren.” Pakar yang mereka undang juga menjawab.
“Kalau lokasi terakhir kalinya?” Rendy masih mencoba peruntungan.
“Nggak bisa juga.”
“Sialan!” Tiba-tiba, Rendy memukul meja.
“Mas, apa sih ngagetin aja. Nggak usah berlebihan kenapa?”
Mendengar protesan istrinya, Rendy tak peduli. Pikiran lelaki itu masih terlalu fokus tentang Ajeng.
“Sebenarnya, kemana dia?” guman lelaki itu.
“Em, gimana kalau kita cari ojek yang bawa Ajeng aja, Bos?” Usul Doni.
Rendy sontak menatap orang kepercayaannya itu dengan penuh harapan.
“Ide yang bagus. Gue tahu dia, Don. Rumahnya nggak jauh dari ini.”
“Baiklah, kita cari dia.”
Tentu saja yang bergerak hanya Doni. Beruntung, hanya dalam waktu singkat, seseorang sudah membawanya dari gerombolan pemuda di pos ronda.
“Dimana kamu menurunkan istri saya?” Tanya Rendy dengan angkuhnya.
“Di Tower Raflesia, Mas. Disana, Mbak Ajeng ketemu laki-laki ganteng pakai mobil mewah. Saya dikasih uang bensin 300 ribu.”