Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan di caffe
Sore itu, sinar matahari mulai meredup, menembus kaca jendela tinggi ruang CEO. Aldrich duduk santai di kursi kebesarannya, membuka kancing jas bagian atas. Di meja, segelas whisky on the rock hampir kosong, beradu dengan tumpukan berkas yang menunggu diperiksa.
Ketukan pelan terdengar.
Tok... tok...
“Masuk,” suara Aldrich rendah namun tegas.
Seorang pria dengan kemeja hitam rapi melangkah masuk. Victor, asisten pribadi Aldrich yang terkenal cekatan dan sangat tertutup. Tangannya membawa map cokelat tebal.
“Tuan,” ucap Victor sembari meletakkan map itu di atas meja. “Ini hasil penyelidikan mengenai staf baru bernama Audy Shafira, sesuai permintaan Anda.”
Aldrich mengangkat alis, mengambil map tersebut. Ia membuka lembar demi lembar, matanya menyipit ketika membaca detail biodata, riwayat pendidikan, dan—bagian yang paling membuatnya mengerutkan dahi—nama ayah.
“David Sinclair...” gumamnya lirih.
Victor mengangguk kecil. “Benar, Tuan. Putri tunggal konglomerat ternama. Nama Sinclair terlalu besar untuk disembunyikan, tapi anehnya, hampir semua data resmi yang masuk ke HR perusahaan ini... bersih. Seolah seseorang sengaja menyamarkan identitasnya.”
Aldrich menyandarkan punggung, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni. Senyum tipisnya muncul. “Jadi... benar dugaanku, dia bukan sekadar gadis biasa yang cerewet di lobi, ya.”
“Sepertinya begitu, Tuan.” Victor menunduk hormat. “Ada lagi yang perlu saya lakukan?”
“Tidak untuk sekarang,” jawab Aldrich sambil menutup map itu dengan mantap. “Biarkan saja dia merasa aman. Jangan sampai dia tahu aku sudah mengetahuinya. Aku ingin melihat sampai sejauh mana gadis itu berusaha kuat tanpa bayang-bayang ayahnya.”
Victor mengangguk. “Baik, Tuan.”
Setelah asistennya keluar, Aldrich kembali termenung, menatap langit sore di balik jendela.
Putri Sinclair, bekerja di bawahku tanpa identitasnya terkuak... menarik. Sangat menarik.
Senyum smirk khasnya kembali muncul.
_____
Malam itu, Audy duduk santai di sebuah café bergaya industrial chic. Kaos oversized, jeans robek di bagian lutut, dan sneakers putih jadi outfit pilihannya malam itu—terkesan santai, tapi tentu saja semua barang itu bukan barang pasar malam. Bahkan Zoey sampai geleng-geleng kepala melihat sahabatnya.
“Kau itu katanya mau menyamar jadi karyawan biasa,” Zoey mencibir sambil mengaduk frappe miliknya. “Tapi sneakersmu itu? Limited edition. Tas kecilmu itu? Harganya bisa untuk renovasi dua kamar salonku!”
Audy menegakkan badan, pura-pura tak peduli. “Zoey, tidak semua orang tahu harga barang.”
Zoey melotot. “Orang biasa mungkin tidak tahu, tapi bos-bos tajir? Jangan bercanda, Audy.”
Audy menepuk meja, wajahnya penuh drama. “Sudah lah! Kau dengarkan dulu kisah penderitaanku tadi siang!”
Zoey mencondongkan badan. “Ceritakan.”
Audy langsung berapi-api. “Jadi, kau tahu kan ini hari keduaku? Tiba-tiba, rapat internal! Aku panik, Zoey, sumpah panik! Semua orang tampak serius, bosku duduk dengan wajah ala Dracula versi korporat, dan tiba-tiba—tiba-tiba, aku ditanya!”
Zoey menutup mulut, menahan tawa. “Lalu kau jawab apa?”
“Aku jawab, Zoey! Dengan analisis! Untung saja aku sering menguping rapat Daddy dulu, jadi lumayan nyambung. Dan kau tahu reaksi semua orang? Mereka melihatku seolah aku alien baru mendarat!”
Zoey tertawa terpingkal-pingkal. “HAHAHA... kau memang tidak bisa normal, Audy.”
Audy menepuk dadanya dramatis. “Lalu... bosku itu—yang wajahnya seperti patung marmer hidup—tersenyum, Zoey! TERSENYUM! Astaga, aku rasa jantungku hampir copot. Tapi senyumnya membuatku merinding.”
“Hati-hati. Jika bosmu sampai senyum ke arahmu, artinya... entah kau calon karyawan kesayangannya, atau calon korban berikutnya,” Zoey berkedip nakal.
Audy menjerit kecil sambil menutup telinga. “Jangan menakutiku! Aku masih ingin hidup tenang!”
Tawa mereka pecah lagi, membuat beberapa pengunjung café ikut melirik.
Namun, seketika semua tawa Audy berhenti. Ia membeku, matanya membelalak.
Zoey bingung. “Kenapa? Jangan bilang kau lihat hantu, ya.”
Audy perlahan menunduk, mencoba menutupi wajahnya dengan gelas minuman. “Zoey... jangan menoleh. Bosku baru saja turun dari mobil dan sekarang dia... masuk ke café ini.”
“APA?!” Zoey spontan ingin menoleh, tapi Audy buru-buru menahan kepalanya. “Ku bilang jangan menoleh, nanti dia melihatku!”
Dengan detak jantung yang nyaris merobek dada, Audy melirik dari celah rambutnya. Dan benar saja—Aldrich, dengan setelan kasual rapi namun tetap mahal, melangkah masuk. Meski penampilannya santai, auranya tetap memancarkan boss energy.
Audy menelan saliva. Paniknya bertambah ketika menyadari... tatapan Aldrich sempat menyapu ruangan, lalu berhenti beberapa detik lebih lama di mejanya.
Astaga... jangan bilang dia mengenali sneakers-ku... atau tas-ku... atau... wajahku yang jelas-jelas baru beberapa jam lalu bertatap muka di kantor!
Zoey masih bingung. “Jika bosmu memang ada di sini, ya sudah lah. Kau kan hanya makan bersama sahabatmu, apa salahnya?”
Audy berbisik dengan suara parau. “Zoey... aku ini sedang menyamar jadi karyawan biasa. Jika dia menyadari aku ini putri Sinclair yang penuh privilege, tamatlah riwayatku!”
Zoey menahan tawa sambil menyesap minumannya. “Drama sekali hidupmu, Audy.”
Sementara itu, Aldrich sudah melangkah menuju meja barista. Sekilas, matanya kembali melirik ke arah Audy. Dan kali ini... senyum tipis muncul di bibirnya.
.....
Aldrich berdiri di depan meja barista, menunggu pesanannya. Dari kaca besar di samping, ia bisa melihat pantulan meja tempat Audy dan sahabatnya duduk.
Kedua gadis itu tertawa tanpa beban, saling nelempar komentar konyol. Bagi mata orang awam, mereka hanya terlihat seperti dua gadis muda nongkrong malam-malam. Tapi bagi Aldrich, detail berbicara lebih keras.
Sneakers limited edition—hanya diproduksi ratusan pasang di dunia. Tas kecil Audy, koleksi musim lalu dari brand ternama Eropa, tidak dijual di butik Asia. Bahkan jam tangan mungil di pergelangan tangan sahabatnya, Zoey, adalah edisi langka yang harganya setara apartemen studio.
Aldrich tersenyum samar. Dua gadis ini… benar-benar uang berjalan.
Ia menyesap kopinya yang baru saja dihidangkan, lalu berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Namun sesekali, tatapannya kembali tertuju ke arah Audy.
Dari cara gadis itu duduk, ekspresi berlebihan saat bercerita, hingga kecerobohan menutup wajah dengan gelas plastik—semuanya menarik.
Jadi begitu caramu bersembunyi, Audy Shafira Sinclair? pikir Aldrich dalam hati. Kau ganti mobilmu dengan kendaraan sederhana saat bekerja, tapi sayangnya aku tahu—mobil mewah berwarna limited edition di depan café ini adalah milikmu. Kau bisa menipu orang lain, tapi tidak denganku.
.....
Sementara itu, di meja mereka, Audy masih panik setengah mati.
“Zoey, sumpah, jantungku hampir copot. Kau tidak paham betapa berbahayanya jika dia mengenaliku.”
Zoey mengunyah french fries dengan santai. “Kalau begitu, jangan buat kontak mata. Duduk saja seperti batu.”
Audy mendengus. “Zoey! Mana bisa aku diam seperti batu? Aku itu terlahir untuk nyerocos!”
Zoey mendesah panjang, lalu menyikut Audy. “Tapi ku rasa ini aneh ya. Bosmu itu—” ia melirik sebentar ke arah barista, “—sama sekali tidak menyapamu. Malah seperti tidak kenal.”
Audy menggigit bibir. “Jangan-jangan... dia benar-benar lupa wajahku? Ya ampun, aku bahkan sempat jadi bahan teriakan di lobby!”
Zoey menahan tawa. “Atau jangan-jangan... dia memang pura-pura tidak kenal?”
Audy membeku. Wajahnya pucat. “ASTAGA! Itu lebih menyeramkan, Zoey. Jika dia pura-pura, artinya... dia sedang merencanakan sesuatu!”
Zoey ngakak, hampir tersedak. “Audy, kau nonton drama terlalu banyak.”
Dari sudut ruangan, Aldrich mengangkat cangkirnya, menyembunyikan senyum smirk yang semakin jelas. Ia menikmati setiap detik kepanikan Audy, meski gadis itu sama sekali tidak tidak menyadari jika dirinya sedang diperhatikan.
Bagi Aldrich, permainan baru saja dimulai.