Aisyah yang mendampingi Ammar dari nol dan membantu ekonominya, malah wanita lain yang dia nikahi.
Aisyah yang enam tahun membantu Ammar sampai berpangkat dicampakkan saat calon mertuanya menginginkan menantu yang bergelar. Kecewa, karena Ammar tak membelanya justru menerima perjodohan itu, Aisyah memutuskan pergi ke kota lain.
Aisyah akhirnya diterima bekerja pada suatu perusahaan. Sebulan bekerja, dia baru tahu ternyata hamil anaknya Ammar.
CEO tempatnya bekerja menjadi simpatik dan penuh perhatian karena kasihan melihat dia hamil tanpa ada keluarga. Mereka menjadi dekat.
Saat usia sang anak berusia dua tahun, tanpa sengaja Aisyah kembali bertemu dengan Ammar. Pria itu terkejut melihat wajah anaknya Aisyah yang begitu mirip dengannya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Ammar akan mencari tahu siapa ayah dari anak Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Nama Yang Kau Sebut
Malam itu, setelah suasana meriah pesta pernikahan Ammar dan pasangannya, Mia berdiri di balkon kamar pengantin, menatap angin malam yang berembus lembut. Dia bisa mendengar suara tawa dan musik yang semakin samar seiring dengan tamu-tamu yang pulang. Namun, di dalam hatinya, ada kegundahan yang tidak bisa dia abaikan. Kegundahan itu semakin menguat setiap kali dia terkenang momen ijab kabul yang seharusnya menjadi titik puncak kebahagiaannya bersama Ammar.
Saat itu, ketika Ammar dengan percaya diri mengucap ijab kabul, dia dua kali salah sebut nama. Bukan nama Mia, melainkan "Aisyah".
Jika tadi Mia bersikap biasa karena tak mau merusak acara pesta yang telah dia rencanakan. Dia tak mau juga orang tahu jika dirinya kecewa.
"Aisyah? Siapa Aisyah?" gumam Mia, merajut semua benang pikirannya. Rasa marahnya semakin membara. Mia mendengar pintu kamar dibuka, dan sosok Ammar muncul dengan senyum samar dan wajah lelahnya.
"Sayang, kita sudah resmi jadi suami-istri. Tahu nggak, tadi semua orang bilang kita pasangan yang serasi!" Ammar berusaha menghibur, tetapi Mia hanya menatapnya dengan tatapan tajam.
Ammar sengaja melakukan itu hanya agar Mia tak mengungkit masalah ijab kabul. Dia tak mau ada pertengkaran.
“Mau serasi-serasi bagaimana? Kamu tidak merasa aneh ketika sebut nama Aisyah dua kali? Apa yang sebenarnya terjadi saat ijab kabul tadi? Apa yang ada dalam pikiranmu?” suara Mia lebih serius, memecah keceriaan yang ingin dibangun Ammar.
“Eh, itu cuma salah sebut. Kamu tahu kan, di saat-saat seperti itu, bisa stres. Maklum, banyak orang yang mengawasi." Ammar mencoba meraih tangan Mia dengan lembut, berusaha untuk menenangkan.
“Tapi, Ammar. Nama Aisyah itu siapa? Kenapa kamu sebut dua kali?” Mia menarik tangannya dari genggaman Ammar. Jantungnya berdebar, antara ingin tahu dan marah.
“Sudahlah, nggak usah dibahas lagi. Kita baru saja menikah, jangan merusak suasana ini dengan hal tak penting.” Ammar berkata sambil mencoba tersenyum, tetapi masih ada ketegangan di wajahnya.
“Tidak ada yang tidak penting! Ini tentang kita, Ammar! Kenapa kamu tidak mau jujur? Siapa Aisyah?” Mia mendongak, menatap Ammar dengan tatapan penuh tantangan.
Ammar menghela napas berat, mencoba mencari kata yang tepat. “Aisyah ... itu hanyalah teman lama. Nggak ada yang spesial, Mia. Aku sudah melupakan dia. Sekarang yang ada hanya kamu,” jawab Ammar agak berbelit-belit.
“Teman lama? Cuma teman? Kenapa kamu harus menggugah masa lalu yang seharusnya sudah kamu tinggalkan? Apa kamu masih memikirkan dia?” Mia menatap Ammar dengan penuh kekecewaan.
Dia tak percaya dengan ucapan Ammar yang mengatakan semua hanya masa lalu. Pasti dia sangat berarti sehingga pria itu sampai menyebut namanya dua kali.
“Aku tidak lagi memikirkan Aisyah, Mia! Kenapa kamu terus mendesak?” Ammar meninggikan suara, merasa tertekan.
Ammar terbawa emosi juga. Dirinya lelah dan berusaha membujuk, tapi Mia tetap saja mengungkit.
“Karena aku tidak mau ada rahasia di antara kita, Ammar. Aku butuh kejujuran, bahkan jika itu menyakitkan. Kenapa kamu hanya tidak bilang dari awal kalau itu mantanmu?”
Mia tampak masih emosi. Dia sepertinya tak akan puas sebelum mendapatkan jawaban yang diinginkan. Tapi, Ammar berusaha tak terbawa emosi. Dia tampak menarik napas berkali-kali.
"Kamu kira aku bodoh, Ammar. Kau tak akan salah sebut nama jika dia tak berarti bagimu!" seru Mia dengan nada semakin tinggi.
Ammar terdiam, wajahnya mulai memucat. Dia telah berusaha menahan agar tak terbawa emosi, tapi. “Ya, oke, dia mantanku. Tapi itu sudah berlalu. Jangan biarkan hal sepele ini merusak kebahagiaan kita!”
Dengan masih memikirkan pernikahannya yang baru berlangsung, Ammar berusaha menekan egonya. Walau sebenarnya ingin jujur dan mengatakan yang sebenarnya.
“Sepele? Bagimu itu hanya sepele. Aku menganggap ijab kabul adalah hal yang sakral, tapi kamu merusaknya dengan menyebut nama orang lain sebanyak dua kali. Aku malu, pasti semua orang sedang bicarakan kita!"
Mia melangkah menjauh, kepalanya pusing dengan semua ketidakpastian ini. Ammar meraih pinggir bajunya, ingin menariknya kembali. “Jangan pergi, Mia.”
“Biarkan aku sendiri sebentar,” jawab Mia sambil jalan menuju jendela, memandangi bintang-bintang di langit. “Aku butuh waktu.”
Ammar menghela napas sambil menatap punggungnya. “Mia, dengarkan aku. Satu kesalahan yang bodoh di hari bahagia kita tidak seharusnya membuatmu pergi. Aku benar-benar minta maaf.”
“Tapi, Ammar ... apa kamu yakin semua ini benar? Apakah kamu masih mencintai Aisyah? Ada satu pertanyaan membara dalam hatiku. Kalau dia muncul lagi, apa kamu akan berpikir dua kali untuk kembali dengannya?”
"Aku tak merasa terikat padanya lagi, Mia!" Ammar berpikir keras untuk menjelaskan. Dia harus bisa membujuk Mia. “Dia adalah bagian dari masa lalu yang seharusnya tidak pernah membebani masa depan kita.”
“Jadi, kamu ingin aku mempercayaimu hanya karena kamu menikahiku sekarang?” Mia berputar dan menatapnya. “Kalau kamu memang sudah move on, kenapa kamu sebut nama dia di momen penting kita?”
“Karena itu hanya kesalahan! Kesalahan manusiawi, bukan tanda cinta,” seru Ammar, mulai kehilangan kesabaran. “Aku mencintaimu, Mia! Buktinya aku memilih menikahi'mu. Jika kamu tidak bisa melihat itu, aku tidak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan.”
Mia merasa hatinya terbelah antara rasa sakit dan kenyataan. “Aku belum percaya jika kamu mencintaiku. Bisa saja ada alasan lain kamu memilihku."
Ammar mendekat, menatap matanya yang berkilau. “Mia, hanya kamu yang bisa mengisi ruang kosong di hatiku sekarang. Meski namanya terucap, itu tidak akan pernah ada artinya lagi. Biarkan itu pergi bersamaan dengan malam ini.”
“Lalu bagaimana jika dia kembali? Akan ada peluang baru? Apa kamu akan mengikutinya?” Mia tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir, kualitas suaranya melemah.
“Aku akan memiliki komitmen pada kita, pada kamu. Aku ingin kita membangun hidup baru, dengan nama kita berdua, Mia dan Ammar!” Ammar mengulurkan tangan dan menyeka air mata Mia.
“Jujur padaku, Ammar. Haruskah aku tetap hidup dengan bayangan masa lalu'mu? Bayangan Aisyah?” Mia menatap Ammar dengan niat untuk mendampingi arah yang baik.
Sekali lagi, Ammar meraup napas dalam dan berkata, “Mia, melihat ke belakang hanya akan menyiksa kita. Aisyah adalah pengalaman yang membuatku lebih menghargai kamu saat ini. Saat ini, aku hanya ingin melihat ke depan bersamamu. Bisakah kita memulai dari halaman baru?”
Mia menunduk sejenak, merenungkan kata-kata suaminya. “Halaman baru ... mmm, mungkin aku bisa mencoba.”
“Berarti, kamu mau memberiku kesempatan lagi?” Ammar memagu harapan di matanya.
“Kalau kamu jujur, ya. Tapi tidak akan ada lebih dari sekadar kata-kata, Ammar. Kamu harus buktikan jika memang hanya aku yang ada dihatimu. Aku tak mau mendengar nama itu lagi keluar dari bibirmu!"
Mia mengulurkan tangannya, dan Ammar menggenggamnya erat dengan sambaran harapan baru. Dia memberikan senyuman agar Mia yakin dengan ucapannya. Dia tak boleh membuat pernikahan ini gagal. Dia telah kehilangan Aisyah, dan tak akan melepaskan Mia. Tak mau keduanya hilang.
“Saat tadi aku menyebut namamu di ijab kabul dan namamu yang tertera di buku nikah, itu pertanda kekuatan cintaku. Mari kita buktikan bahwa cinta itu lebih kuat daripada bayangan masa lalu,” Ammar berkata dengan senyum yang dibuat setulus mungkin.
"Baiklah, Ammar. Aku beri kamu kesempatan. Kita baru mulai melangkah. Semoga ini hanyalah batu kerikil ketika kita akan melewati ujian rumah tangga."
Ammar mendekati Mia dan memeluknya. Dia harus bisa membuat istrinya yakin, agar tak mengungkit lagi masalah ijab kabul.
seperti cintanya alby yg nyantol di hati wanita yg sudah hamil anak orang lain.../Smile//Smile/
next...
alby rela melakukan ini...
ngelamar nih ceritanya si alby?