Sarah, si bunga kota yang dikenal cantik, bohay, serta menyimpan sisi nakal dan jahil di balik wajah manisnya, kini menjalani salah satu babak penting dalam hidupnya: Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa subur di Pinrang.
Takdir mempertemukannya dengan Andi Af Kerrang, seorang pemuda tampan, berwibawa, dan dikenal kaku, namun juga seorang juragan padi sekaligus pemilik bisnis kos yang terpandang di wilayah tersebut.
Awalnya, perbedaan latar belakang dan kepribadian membuat interaksi mereka terasa canggung. Namun, seiring berjalannya waktu, serangkaian peristiwa tak terduga—mulai dari kesalahpahaman yang berujung fatal, hingga situasi mendesak yang menuntut keberanian untuk melindungi—membawa keduanya semakin dekat.
Dari jarak yang semula terbentang, tumbuh benih rasa yang perlahan berubah menjadi candu.
akankah sering berjalan nya waktu Andi mengikuti arus kenakalan Sarah ataukah Sarah yang pasrah ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Azzahra rahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kedatangan ortu
Siang itu, suasana rumah Andi terasa berbeda. Sejak pagi, ibunya sudah sibuk menyiapkan hidangan: ikan bakar rica, barongko, buras, dan sayur bening daun kelor yang jadi kesukaan keluarga. Ayah Andi pun ikut mengatur tikar di ruang tamu, memastikan semua rapi untuk menyambut tamu istimewa.
“Besok-besok kita masak biasa, tapi kalau menyambut besan, harus lengkap. Biar mereka rasakan torang sambut dengan ikhlas,” ujar ibu Andi dengan logat Makassar yang lembut.
Tak lama kemudian, suara deru mobil terdengar dari jalan depan. Sarah yang sedang duduk di kursi teras langsung berdiri, meski tubuhnya masih lemah. Andi cepat menahan, “Pelan-pelan, Sayang. Biar aku yang sambut.”
Pintu mobil terbuka. Ayah dan ibu Sarah turun dengan wajah penuh rindu sekaligus cemas. Begitu melihat putrinya, ibunya langsung berlari kecil, memeluk Sarah erat-erat.
“Anakku… Sarah, Alhamdulillah sehat-sehat jaki , Nak. Mama sama Ayah khawatir sekali,” ucap ibunya sambil meneteskan air mata.
Sarah balas memeluk, suaranya parau, “Maafkan Sarah, Ma… bikin Mama sama Ayah khawatir. Tapi sekarang Sarah baik-baik saja. Ada cucu Mama di sini.” Tangannya menempel lembut di perutnya yang masih rata.
Ayah Sarah menepuk bahu Andi dengan hangat. “Terima kasih, Nak Andi. kamu sudah jaga anakku baik-baik. Sekarang tanggung jawabmu makin besar.”
Andi menunduk hormat, “Iye’ Pak, insyaAllah. Saya jaga Sarah sama calon anak kami dengan sepenuh hati.”
Dari dalam rumah, ayah dan ibu Andi keluar menyambut. Ayah Andi langsung menyalami besannya dengan erat, khas lelaki Bugis yang penuh wibawa.
“Assalamu’alaikum, besanku… selamat datang di kampung ta ini. Maaf kalau sambutan kami sederhana, tapi ikhlas dari hati,” ucap ayah Andi dengan suara dalam dan berwibawa.
“Wa’alaikumussalam… terima kasih banyak, besanku. Tidak ada sederhana di mata kami. Sambutan ini sudah lebih dari cukup. Hanya doa kami, semoga anak-anak ta ini sehat dan rukun terus,” jawab ayah Sarah dengan nada halus penuh hormat.
Ibu Andi mendekat, memeluk ibu Sarah dengan penuh keramahan. “Silakan masuk, Besan. Mari ki duduk, istirahat dulu. Sudah kami siapkan makanan ala kampung. Semoga cocok di lidah ta.”
Mereka pun masuk ke ruang tamu. Suasana hangat tercipta, penuh tawa kecil dan doa. Sarah duduk di samping ibunya, sementara Andi duduk bersebelahan dengan ayahnya, sesekali menuangkan teh untuk tamu.
Ibu Andi mulai berbicara, “Besan, kami sangat bersyukur. Sarah itu seperti anak kami sendiri. Kami anggap dia bukan menantu, tapi putri kandung. Sekarang, apalagi sudah ada rezeki besar… cucu pertama. InsyaAllah, kita saling jaga.”
Ibu Sarah mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Iye, saya percaya. Lihat bagaimana anakku sekarang, lebih tenang, lebih bahagia. Semua itu karena Andi dan keluarga ta yang baik. Terima kasih banyak.”
Ayah Andi menambahkan dengan nada bijak, “Anak-anak itu ibarat padi di sawah. Kalau dijaga baik, disiram dengan doa, pasti berbuah bagus. Jadi kita sebagai orang tua, tugasnya hanya mendoakan, mendukung. Urusan mereka membangun rumah tangga, biarlah mereka yang jalani.”
Ayah Sarah tersenyum setuju. “Betul sekali, Besan. Mulai sekarang kita satu keluarga besar. Mari kita doakan anak-anak ta ini kuat, sehat, dan kelak jadi orangtua yang amanah.”
Andi meraih tangan Sarah di sampingnya, menggenggam erat. Sarah menunduk malu, tapi senyum bahagia tersungging jelas di wajahnya.
Sore itu, rumah sederhana di desa berubah jadi tempat berkumpulnya dua keluarga besar. Tak ada lagi batas antara kota dan desa, antara keluarga Andi dan Sarah. Yang ada hanyalah ikatan baru: besan yang menyatu dalam doa, harapan, dan rasa syukur atas kehidupan baru yang sedang tumbuh dalam rahim Sarah.