Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 – Dalam Gelap dan Hujan
Luna duduk di depan meja rias, menunduk sambil perlahan melepas anting yang sejak sore tadi menggantung di telinganya. Lampu meja rias memantulkan bayangan wajahnya yang cantik namun dingin, kontras dengan gaun tidur tipis berwarna gading yang membalut tubuhnya. Tangannya luwes, bergerak pelan, seakan ritual setiap malamnya adalah menatap bayangan diri yang semakin lama semakin membuatnya puas.
Di belakangnya, pintu kamar terbuka perlahan. Samudra masuk dengan langkah pelan, tidak ingin membuat suara keras. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya masih lembap, kaus putih yang melekat di tubuhnya menegaskan bidang dadanya. Tatapannya jatuh pada punggung Luna yang terbuka karena gaun tidurnya terpotong rendah. Ada kerinduan yang membara dalam matanya, kerinduan seorang suami yang sudah terlalu lama tidak disentuh oleh istrinya.
Samudra mendekat tanpa suara. Tangannya terulur, melingkari pinggang Luna dari belakang, lalu menarik tubuh sang istri ke dalam dekapannya. Hembusan napasnya hangat di leher Luna.
“Aku menginginkanmu malam ini, Luna,” bisiknya berat, penuh hasrat yang tertahan.
Luna menegang sesaat, tapi kemudian menghela napas panjang. Tatapannya tetap pada pantulan cermin, wajahnya tidak berubah banyak. “Samudra… aku lelah,” jawabnya singkat, suaranya datar, seolah menutup pintu bagi permintaan itu.
Samudra menunduk, bibirnya nyaris menyentuh bahu Luna. “Sudah hampir satu bulan kita tidak bersama. Kau bahkan selalu menghindariku. Aku suamimu, Luna. Apa kau tidak merindukan aku sama sekali?” suaranya parau, ada luka yang terselip di dalamnya.
Namun Luna hanya mengangkat jemarinya, merapikan rambutnya sendiri. Ia tidak menoleh, tidak pula tersenyum. “Aku benar-benar lelah, Samudra. Hari ini aku mengurus banyak hal. Aku tidak punya tenaga lagi.”
“Tapi...” Samudra mencoba membujuk. Tangannya menekan lebih erat di pinggang Luna, seakan takut kehilangan.
Luna akhirnya berdiri, melepaskan pelukan Samudra dengan lembut namun tegas. Ia melangkah ke arah ranjang, lalu merebahkan diri tanpa memberi jeda. “Aku ingin tidur.”
Kalimat singkat itu seperti palu yang menghantam hati Samudra. Ia menatap Luna yang sudah memalingkan punggung padanya, selimut ditarik menutupi tubuh. Tidak ada ruang untuk protes, tidak ada ruang untuk diskusi.
Samudra menelan ludah. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ia tahu pertengkaran hanya akan memperburuk keadaan. Ia mencintai Luna, terlalu mencintainya untuk membiarkan pertengkaran merusak malam itu. Jadi ia memilih menahan kecewa, menahan luka yang menusuk hingga ke dada.
Dengan langkah berat, ia keluar dari kamar. Pintu ditutup perlahan, menyisakan ruang gelap gulita yang terasa semakin sepi.
Ruang tamu rumah itu hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan di luar jendela. Samudra menjatuhkan tubuhnya di sofa panjang. Tangannya meremas rambutnya sendiri, kepalanya menunduk. Kekecewaan, frustrasi, dan kesepian bercampur menjadi satu.
“Apa aku sudah tidak diinginkan lagi?” gumamnya lirih pada dirinya sendiri.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi justru di dalam keheningan itulah pikiran-pikiran buruk bermunculan. Tentang Luna yang selalu menolak, tentang tatapannya yang belakangan terasa semakin jauh, semakin asing. Samudra memejamkan mata, merasakan luka yang menyesakkan.
Langkah pelan terdengar dari arah koridor. Senja, dengan piyama sederhana berwarna biru muda, berjalan sambil memeluk sebuah buku yang tadi dibacanya. Ia berhenti ketika melihat sosok Samudra duduk sendirian di ruang tamu.
“Oh…” Senja tercekat. “Maaf, aku tidak tahu kalau Mas Samudra ada di sini.”
Samudra menoleh pelan, sorot matanya masih teduh meski ada kegelapan di dalamnya. “Tidak apa-apa. Kau mau ke kamar?”
Senja mengangguk, canggung. “Iya… tadi aku ambil minum.”
Samudra menatapnya sejenak, lalu berkata lirih, “Temani aku sebentar, Senja. Mas… tidak ingin sendirian.”
Senja terdiam. Ia ingin menolak, ingin segera berlalu agar tidak terjebak dalam situasi yang janggal. Tapi tatapan Samudra begitu dalam, begitu rapuh. Ada sesuatu yang menahan langkahnya. Perlahan, ia mengangguk. “Baiklah.”
Ia duduk di ujung sofa, menjaga jarak. Samudra menyandarkan tubuh, kepalanya menengadah ke langit-langit gelap. Mereka berdua terdiam cukup lama, hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
Hening itu pecah tiba-tiba oleh suara hujan deras di luar. Tetesan air menghantam jendela dengan irama yang cepat. Disusul kilatan petir yang menyambar, lalu gemuruh guntur yang menggelegar.
Senja refleks menutup mata, tubuhnya menegang. Sejak kecil ia selalu takut pada petir. Tangannya menggenggam erat buku di pangkuan.
“Kau takut?” Samudra menoleh, menyadari perubahan ekspresi Senja.
Senja tidak menjawab, tapi tubuhnya jelas bergetar. Dan ketika suara guntur kembali menggelegar lebih keras, ia spontan bergerak mendekat,memeluk Samudra erat-erat.
“Aaaah!” Senja sadar terlalu cepat, tapi tubuhnya sudah terlanjur menempel pada Samudra. “Ma—maaf, Mas. Aku...”
Samudra tidak berkata apa-apa. Tangannya justru naik perlahan, menyentuh punggung Senja yang kecil dan hangat. Ada sesuatu yang meledak di dalam dirinya. Keheningan, hujan, petir, dan dekapan Senja membuat hatinya bergetar hebat.
Ia menunduk, mendapati wajah Senja begitu dekat. Mata gadis itu terpejam, bibirnya bergetar karena gugup. Dan sebelum logika sempat bekerja, sebelum akal sehat bisa mencegah, Samudra menurunkan wajahnya.
Bibirnya menyentuh bibir Senja.
Sentuhan itu lembut, ragu-ragu di awal. Tapi kehangatan bibir Senja begitu manis, begitu memabukkan. Samudra menahan napas, tubuhnya menegang sekaligus meleleh dalam sensasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Senja terbelalak. Matanya membesar, hatinya berdentum keras seolah mau meledak. Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya membeku. Bibirnya kaku, pasrah dalam kejutan yang membuatnya nyaris lupa bernapas.
Samudra menutup mata, membiarkan dirinya terseret oleh arus perasaan yang selama ini ia pendam tanpa sadar. Ciuman itu singkat, namun terasa panjang dan penuh arti.
Ketika ia akhirnya melepaskan, keduanya terdiam. Nafas mereka terengah, jantung berdegup cepat.
Senja menunduk, wajahnya merah padam. “M—mas Samudra… itu…” suaranya bergetar.
Samudra menatapnya, bingung antara rasa bersalah dan rasa yang tak bisa ia ingkari. “Mas tidak bermaksud… mas hanya…” suaranya serak, tenggelam dalam kegamangan.
Suara petir kembali menggema. Senja menjauh, melepaskan pelukan lalu berdiri dengan cepat.
"M-maaf Mas, aku ke kamar dulu," Senja berjalan cepat, setengah berlari meninggalkan Samudra sendirian.
"Senja..." Samudra memanggil, tapi suaranya teredam oleh derasnya air hujan.
"Bodoh!" Samudra memaki, menyalahkan dirinya yang bisa-bisanya di luar kendali.
Samudra kembali menutup mata. Ingin melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Tapi lembut dan manisnya bibir senja masih terasa. Ia menyentuh bibirnya sendiri. Hatinya bergejolak hebat. Ia tahu itu salah. Tapi mengapa… mengapa ciuman itu terasa begitu benar?
Sedangkan di dalam kamar, Senja berdiri di belakang pintu. jantungnya berdegup kencang, tangannya bergetar. Benarkah yang baru saja terjadi? Ciuman pertamanya, sudah hilang. Hilang oleh kakak iparnya sendiri dalam situasi yang sama sekali tidak terduga.