Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 20.
Siang itu, seperti hari-hari sebelumnya. Di depan gerbang megah kediaman keluarga Mahesa, berdiri seorang pria yang terus mencuri pandang ke arah dalam. Penampilannya sungguh mengenaskan, berewok yang tak terurus dengan mata sayu seolah memendam duka yang tak bertepi.
Rama.
Ia hanya ingin melihat Daffa, yang kini ia akui adalah darah dagingnya sendiri. Di benaknya, terlintas harapan sederhana. Mungkin... selagi Alina tengah berbulan madu bersama Davin, ia bisa membawa anak itu berjalan-jalan sebentar. Namun, keberanian itu tak pernah benar-benar hadir. Kakinya hanya terpaku di tempat, seakan ada tembok tak kasat mata yang menghalangi langkahnya.
Tuan Yudistira tentu mengetahui keberadaan Rama, laporan dari para penjaga selalu datang setiap hari.
“Panggil dia masuk, katakan aku mengundangnya minum teh. Bawa dia ke ruang santai... melalui jalan samping.“ Ucap Tuan Yudistira tenang, meski nadanya sarat wibawa.
“Baik, Tuan Besar.”
Tak lama kemudian, Rama yang masih diliputi keterkejutan digiring masuk melewati pintu samping. Ia berjalan lunglai, nyaris tanpa daya hingga tiba di ruang santai yang sunyi.
Di sana, Tuan Yudistira menyambutnya dengan sorot mata yang penuh kebijaksanaan. Tanpa banyak kata, ia merangkul tubuh Rama yang kini tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Tulang pipinya menonjol, wajahnya semakin tirus seolah dunia telah menggerogoti sisa-sisa kehidupannya.
“Duduklah, aku akan meminta seseorang menyiapkan makan siang. Kau terlihat jauh lebih kurus... kau pasti jarang memikirkan perutmu, bukan?” tutur Tuan Yudistira lembut.
Rama hanya mampu tersenyum getir.
Kata-kata itu menusuk, karena memang benar. Sejak menemukan Alina, wanita yang pernah menjadi separuh jiwanya dan kini sah menjadi milik pria lain, ia hampir tak pernah menyentuh makanan yang layak. Perutnya hanya diisi oleh alkohol yang menumpulkan rasa sakit di dadanya. Namun sejak seminggu lalu, perut itu mulai memberontak. Sering kali terasa perih, namun Rama tak peduli.
Dalam hatinya, ada doa yang tak pernah terucap. Seandainya Tuhan memilih untuk mencabut nyawanya sekarang, ia takkan menyesal. Ia sudah kehilangan Alina dan bersamanya... hilang pula setengah dari hidupnya.
Satu-satunya yang tersisa hanyalah Daffa.
Tali kehidupan yang begitu rapuh, namun menjadi satu-satunya pegangan yang membuatnya tetap berdiri. Jika anak itu mau menerima dirinya, jika ia diberi kesempatan untuk sekadar memeluk Daffa meski sebentar saja... mungkin itu akan menjadi secercah harapan terakhir yang bisa menahan hatinya dari kehancuran total.
Tuan Yudistira keluar dari ruang kerjanya dengan wajah penuh iba. Ia memerintahkan staf rumah untuk menyiapkan makanan bagi Rama, lalu bergegas menuju halaman belakang.
Di sana, Daffa sedang bermain bola bersama Raka. Anak itu tak menyadari bahwa hidupnya sebentar lagi akan bersentuhan kembali dengan masa lalu yang menyakitkan. Nyonya Ayunda sedang pergi berbelanja bersama Viola, sehingga kedua anak itu dititipkan pada Tuan Yudistira. Itulah... alasan ia berani membawa masuk Rama ke dalam rumah tanpa sepengetahuan istrinya.
“Daffa, ikut Eyang Kakung sebentar." Ujarnya dengan suara yang tak bisa ditolak.
Anak kecil itu menghentikan kegiatan bermainnya, menatap polos. “Mau ke mana, Eyang?”
“Ada yang ingin bertemu Daffa…”
Meski bingung, Daffa akhirnya menurut. Raka, yang tak begitu peduli, memilih masuk ke dapur mencari camilan dan minuman dingin.
Tuan Yudistira membuka pintu ruang santai. Begitu Daffa melangkah masuk, tubuh mungilnya terhenti. Matanya melebar ketika mendapati sosok Rama berdiri di sana.
Rama sendiri tercekat, napasnya seolah terhenti. “Nak…”
Daffa awalnya ragu.
Namun tatapan mata itu, mata seorang ayah yang penuh penyesalan membuat kakinya berlari kecil. Rama segera merentangkan tangan, air mata membasahi wajahnya.
Bruk!
Tubuh mungil itu memeluk ayahnya erat-erat, tangis Rama pecah. “Maaf… maafkan Papa, Nak…”
Daffa tak sepenuhnya mengerti, tetapi ia tahu... pria di depannya sedang menanggung luka yang dalam.
Setelah momen haru itu dan Rama yang makan sebentar, meski dengan berat hati Tuan Yudistira akhirnya mengizinkan Rama membawa Daffa berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan.
Tuan Yudistira tak serta merta mempercayakan Daffa pada Rama, Ia memerintahkan beberapa pengawal untuk mengikuti mereka. Ia tahu mempercayai Rama sepenuhnya adalah risiko besar, terlebih bila Nyonya Ayunda mengetahui keputusan ini.
Di pusat perbelanjaan, Rama dan Daffa larut dalam dunia kecil mereka. Tawa anak itu terdengar nyaring, menggema di antara rak-rak mainan dinosaurus. Untuk sesaat, Rama melupakan rasa sakit karena kehilangan Alina. Kehadiran Daffa seolah menjadi penawar luka yang membusuk di dadanya.
Namun kebahagiaan itu terhenti mendadak.
“Rama! Ayo bawa cucu Mama ke Jakarta!” suara dingin itu memecah udara.
Dita muncul, diiringi Erika. Kehadiran mereka bagaikan badai yang tak terhindarkan. Dengan wajah penuh ambisi, Dita mendekat dan langsung meraih lengan Daffa.
“Lepasin Daffa! Nanti Daffa aduin sama Eyang Putri!” seru anak itu, memberontak ketakutan.
“Heh, dia bukan nenekmu! Aku ini baru nenek kandungmu!” Dita membentak kasar, tangannya semakin mencengkeram pergelangan mungil itu. “Ikut Oma sekarang!”
“CUKUP!!” Suara Rama menghentak bagaikan gelegar petir.
Dengan satu hentakan keras, ia melepaskan cengkeraman ibunya dari tangan Daffa. Anak itu terhuyung, air mata mulai jatuh membasahi pipinya yang memerah akibat tarikan kasar. Rama sontak mengangkat Daffa ke dalam gendongan, melindungi anaknya.
Mata Rama menyala, pandangannya menusuk ibunya bagai belati. “Pulang sekarang juga ke Jakarta, Mah! Jangan ganggu anakku dan juga Alina… atau aku tak akan pernah memaafkan Mama seumur hidupku!”
Rahang Dita mengeras, amarahnya memuncak karena dibentak oleh darah dagingnya sendiri.
“Anak kurang ajar! Kau berani membentak ibumu sendiri?!” bentak seseorang.
Sebuah bayangan tinggi tegap berdiri di belakang Dita, itu Prabu. Pria yang pernah menorehkan luka dalam pada Nyonya Ayunda datang dengan wajah dingin yang sulit terbaca. Senyuman menyeringai tergambar di bibir Dita, seolah ia menemukan sekutu.
Di sisi lain, suasana di rumah keluarga Mahesa berubah panik. Alina dan Davin baru saja pulang dari bulan madu ketika mereka mendengar bahwa Daffa dibawa pergi jalan-jalan oleh Rama. Tubuh Alina seketika gemetar, wajahnya pucat. Nyonya Ayunda yang juga sudah kembali dari berbelanja, murka besar.
Tuan Yudistira menjadi sasaran amarah sang istri.
“Di mana mereka sekarang?!” suara Nyonya Ayunda bergetar menahan emosi.
Setelah mengetahui lokasi Rama dan Daffa, Alina tak berpikir panjang. Bersama Davin, Nyonya Ayunda dan Tuan Yudistira yang masih menerima amarah dari sang istri, segera melaju ke tempat yang disebutkan.
Hati Alina sebagai seorang ibu berdegup kencang, dihantui rasa takut akan kehilangan yang paling menyakitkan.
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.