Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERCENGKRAMA
Hunian Terra masih sama seperti dulu.
Dari bangunan itu berdiri sampai sekarang, tetap menjadi tempat berkumpul seluruh keluarga.
Budiman duduk di kursi makan, menikmati sarapannya dengan tenang.
“Huh, boss kere!” ledek Haidar dari ujung meja.
Budiman tidak menggubris, malah makin lahap menyuap nasi.
“Padahal, Ibu masak loh di rumah,” ujar Mia pelan, matanya sedikit kecewa.
“Eh, Bu…!” Haidar refleks menatap, wajahnya keki.
“Jangan dipikirin, Bu,” sahut Gisel, istri Budiman, sambil tersenyum lembut.
“Kak Haidar memang suka bercanda begitu. Bahkan sebelum Mas Budi menikah sama aku.”
“Tapi kan jadi nggak enak,” balas Mia lirih.
“Bu, maaf. Aku cuma bercanda,” ujar Haidar, suaranya menurun.
Budiman santai saja. Ia menghabiskan suapan terakhir, lalu menaruh sendoknya.
“Terima kasih, Maria. Ini enak sekali!” ucapnya tulus.
Haidar hendak menimpali, tapi melihat wajah ibunya yang masih sedih, niat itu ia tahan.
“Sudah ya, Bu,” ucap Terra lembut, mencoba menenangkan.
“Iya, Nak. Ibu ini sudah tua, terlalu terbawa perasaan,” kata Mia, sambil menyeka sudut matanya.
“Saya juga minta maaf ya, Bu,” tambah Haidar dengan nada menyesal.
Budiman berdiri, lalu membawa piring kotor ke dapur. Di sana ada Layla, tengah mencuci.
“Biarkan saja, Mas,” ujarnya cepat. “Masih banyak piring lain. Saya yang cuci.”
Budiman hanya mengangguk, lalu meninggalkan dapur.
Haidar ingin sekali menggoda, tapi mengingat suasana tadi—ia urung lagi.
“Makanya, Pa. Lihat-lihat kalau bicara,” tegur Terra pelan.
Haidar hanya manyun.
Di ruang tengah, Feri sedang berbincang dengan Deno. Tawa mereka pecah berulang kali.
Budiman penasaran dan ikut duduk.
“Aduh, Bapak sama Rama ngobrol apa, sih?” tanyanya.
“Biasa,” jawab Deno sambil tersenyum. “Obrolan masa muda. Gimana caranya meluluhkan hati ibu kalian.”
“Wah, emang Rama dulu gimana ngejar Biyung?” tanya Budiman makin penasaran.
Haidar ikut duduk di sisi Feri, sementara di balik sofa, Khadijah dan Mala ikut menguping.
“Biyung itu dulu gadis sederhana di desa,” Deno memulai cerita.
“Tidak begitu cantik, tapi punya daya tarik yang… susah dijelaskan. Itu yang bikin Rama nggak bisa lepas.”
Sementara itu, jauh dari kediaman Terra. Seroja tengah berdiri di sisi kliennya. Danar Barata. Seorang pria berusia mau sembilan puluh tahun. Ia memang sudah tua, tapi postur tubuhnya masih segar, walau kacamata tebal bertengger di hidungnya. Rambutnya sudah memutih dan tipis.
Ia duduk dengan karisma tersendiri, Danar menatap menantu dan juga putrinya. Hanya demi jabatan dan duniawi. Putri yang sangat ia sayangi dan lindungi, kini berbalik menyerangnya. Ingin mengambil alih semuanya, tapi tidak mau mengurusnya yang tua.
Seroja berdiri tegak di sisi kliennya.
Setelah kesaksian dari pihak penggugat selesai, kini gilirannya untuk bertanya.
“Baik, untuk Saudari Amelia Hutami,” ucapnya tegas.
“Di sini tertulis Anda menjabat sebagai Humas di perusahaan Danar Corp, benar begitu?”
“Iya, benar,” jawab saksi yakin.
“Anda bekerja di sana selama dua tahun. Pertanyaan saya, dari mana bukti penyelewengan keuangan itu Anda dapatkan?”
“Dari pihak manajemen keuangan,” jawab Amelia cepat.
“Humas tidak bersinggungan langsung dengan manajemen keuangan, setahu saya,” sergah Seroja tenang tapi tajam.
“Kalau Anda punya akses ke data itu, seharusnya jabatan Anda bukan Humas, tapi staf keuangan.”
“Keberatan, Yang Mulia! Penasihat hukum membelokkan bukti!” seru penuntut umum.
Seroja menatap lurus ke arah hakim.
“Saya hanya bicara berdasarkan fakta, Yang Mulia. Dalam struktur perusahaan, Humas berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan—bukan keuangan.”
Hakim mengetuk palu.
“Keberatan ditolak. Lanjutkan, penasihat hukum.”
Suasana hening. Ruang sidang megah berisi para jurnalis, saksi, dan para pengacara yang bersiap di meja masing-masing. Di sisi kanan, Seroja berdiri dengan jubah kebesarannya, rambutnya ditutup jilbab warna gelap, matanya fokus menatap berkas di tangannya.
Hakim mengetuk palu.
“Sidang dilanjutkan.”
Pihak penuntut menyerahkan selembar bukti ke meja hakim.
“Yang Mulia, ini adalah neraca keuangan yang menunjukkan indikasi penyelewengan dana sebesar 3,2 miliar rupiah dari perusahaan terdakwa.”
Seroja menatap lembar itu. Matanya menyipit.
Ia berjalan perlahan ke arah hakim.
“Yang Mulia, izinkan saya memeriksa dokumen tersebut.”
Hakim mengangguk. Seroja menerima lembar itu, menatapnya sekilas, lalu mendekati layar proyektor di sisi ruangan. Ia menekan klik pada remote—tampilan dokumen keuangan muncul di layar besar.
“Baik,” ucapnya tenang, tapi nada suaranya penuh keyakinan.
“Kita semua di sini sepakat bahwa dokumen keuangan adalah dokumen legal yang disusun dengan format akuntansi yang diakui secara nasional maupun internasional, benar begitu, Yang Mulia?”
Hakim: “Benar.”
Seroja menunjuk layar.
“Tapi… di sini tidak ada tanda tangan kepala akuntan. Tidak ada cap perusahaan. Tidak ada ledger code, dan—yang paling fatal—angka-angka ini tidak menggunakan format balance sheet sama sekali.”
Suara gemuruh kecil terdengar dari bangku penonton. Seroja menoleh ke arah jaksa.
“Saudara Jaksa, ini bukan neraca keuangan. Ini… catatan tulisan tangan yang bahkan tidak bisa diverifikasi sumbernya.”
Jaksa: “Keberatan! Itu hanya salinan yang disederhanakan untuk kepentingan pengadilan!”
Seroja menatap dingin.
“Salinan, Saudara Jaksa? Maka tolong tunjukkan dokumen aslinya—dengan nomor laporan, tanggal audit, dan tanda tangan auditor. Jika tidak, salinan ini hanyalah lembar fiktif yang bahkan bisa dibuat oleh anak SMA dengan kalkulator.”
Hakim mengetuk palu sekali.
“Keberatan ditolak. Lanjutkan, penasihat hukum.”
Seroja kembali menatap layar, lalu menggeser tampilan.
Ia menampilkan neraca resmi perusahaan yang diunduh langsung dari situs kementerian.
“Ini, Yang Mulia, adalah contoh neraca yang saya ambil dari situs resmi Yang Mulia. Kita bisa lihat Nomor audit, tanda tangan kepala keuangan, dan cap resmi tercantum jelas!”
Ia lalu membandingkan dua dokumen itu berdampingan. Ada beberapa poin dihilangkan demi keamanan.
“Silakan lihat, Yang Mulia. Format, struktur, bahkan margin penulisan berbeda total. Satu menggunakan sistem double entry accounting, satu lagi hanyalah—maaf—coretan angka tanpa dasar hukum!”
Hakim menatap serius.
“Apakah Anda menyimpulkan bahwa bukti yang diajukan tidak sah?”
Seroja mengangguk mantap.
“Bukan hanya tidak sah, Yang Mulia. Bukti ini palsu.”
Ruangan hening seketika.
Kamera wartawan berbunyi serentak.
Seroja menatap lurus ke arah saksi dari pihak penuntut.
“Dan berdasarkan hasil digital forensik, dokumen ini diketik dari laptop pribadi saksi Amelia Hutami. Kami lampirkan metadata-nya dalam berkas berikut.”
Suara gumam memenuhi ruang sidang.
Hakim mengetuk palu tiga kali.
“Sidang diskors lima belas menit untuk memeriksa bukti tambahan dari penasihat hukum.”
Seroja menarik napas pelan, melangkah kembali ke mejanya. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
Dalam diam, ia tahu—pertarungan pertama hari itu dimenangkannya.
Koridor itu sunyi. Hanya terdengar langkah sepatu dan suara kamera wartawan yang semakin menjauh.
Dari balik kaca, seorang pria bertubuh tegap berdiri. Jas hitamnya rapi, dasinya senada dengan wajah tanpa ekspresi.
Ia menatap ruang sidang di mana Seroja baru saja keluar sambil memegang map. Tatapannya dingin.
Tangan kirinya menggenggam ponsel.
[Klik.]
Layar ponsel menampilkan nomor bernama “Bejo – Freelance”.
Suara berat menjawab di seberang.
“Siapa targetnya, Pak?”
“Perempuan mungil. Sangat cerdas… terlalu cerdas,” ucapnya datar.
Ia mengirim foto Seroja yang diambil diam-diam dari ruang sidang.
“Jangan bikin ribut. Cukup buat dia tak bisa bicara di sidang berikutnya.”
“Paham, Pak. Kapan mulai?”
“Sekarang.”
Ia menutup telepon, lalu menyandarkan tubuh ke dinding.
"Bye, Bye ... Seroja. Namamu cocok di tabur di pemakamanmu sendiri!" gumamnya sinis lalu ia merogoh saku celana. Mengambil rokok, mematik api dari korek gas dan menyalakan ujung rokok.
Seketika kepulan asap keluar dari mulutnya. Ia seperti puas dengan apa yang akan terjadi nanti. Padahal di dinding tertulis dengan huruf besar.
"AREA BEBAS ASAP ROKOK!"
Bersambung.
Wah ... Ada yang mau macam-macam sama Ata' Loja.
Next?