Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - TAK TERDUGA
"Satria gimana? Satria belum ketemu..." Elen mengusap wajahnya frustasi.
"Kamu tenang ya? Kita tanya gurunya dulu bagaimana?" tanya Rafael seperti mengingat sesuatu. Barangkali, Gurunya tau dengan siapa tadi Satria pergi.
Elen mengangguk, "makasih udah bantu."
"Sama-sama, dia kan anakku juga!" jawab Rafael.
Seketika Elen terdiam, entah harus senang atau sedih saat mendengar laki-laki lain justru menganggap Satria sebagai anaknya. Sedangkan Bram, mantan suaminya itu bahkan acuh tak acuh dengan darah dagingnya sendiri, kerap kali Elen berfikir apakah laki-laki itu lahir tanpa punya hati? Jelas-jelas Satria putranya tapi malah sama sekali tak perduli.
Dulu, ia bertahan dengan sikap laki-laki itu hanya karena ingin sang putra memiliki keluarga utuh. Meski kerap kali Satria selalu bertanya perihal sikap ayahnya, tapi Elen masih berharap laki-laki itu mau berbaik hati dan berubah seiring berjalannya waktu.
Namun, akhir-akhir ini Bram semakin menjadi, semakin tak sungkan berteriak padanya di hadapan Satria. Dan Elen, ia memilih jalan pisah karena memikirkan mental Satria nantinya. Berpisah mungkin akan ada jalan terbaik untuk kebahagiaan putranya kelak atau bisa jadi kebahagiaannya juga.
"Bisakah pulang sebentar, aku mau ganti bajuku."
"Baik, kita pulang sekarang baru nanti cari Satria lagi." Namun, pandangannya terfokus pada mobil milik Divine yang berhenti tepat di depan kontrakan Elen.
"Len, itu mobil Boss? Kok dia tau kamu tinggal disini?"
"Hah, iyakah?" tanya Elen tak percaya.
"Iya, ayo turun!" ajak Rafael. Keluar dari mobil memutar tubuh dan membukakan pintu untuk Elen.
"Paman Daddy," teriak Satria. Divine langsung terperangah saat tahu laki-laki yang disebut Daddy oleh Satria adalah Rafael asistennya.
"Apa kamu bilang boy? Siapa?"
"Paman Daddy dan Momy-ku datang Om." Satria berdiri tak sabar menyambut kehadiran Rafael dan Elen.
"Satria, astaga Momy mencarimu kemana-mana." Elen langsung memeluk Satria erat, bahkan tangisnya pecah karena bersyukur sudah menemukan putranya.
"Sorry, Mom. Aku pergi sama Om baik," ujar Satria mendongkak menatap Divine, seolah memberitahu Elen siapa yang ia maksud Om baik.
Elen baru menyadari ucapan Satria, segera ia bangkit akan tetapi terkejut saat melihat siapa laki-laki yang bersama Satria, memang benar-benar bossnya. Sementara Rafael sedari tadi diam sejak tahu Divine lah yang membawa Satria pergi hingga membuat Elen dan dirinya khawatir.
"Elen, jadi..." Divine terdiam menatap Rafael dan Elen bergantian.
"Iya, Pak. Saya Momy-nya Satria."
"Oh, dan kamu, Rafa? Kamu ayahnya?" tanya Divine. Meski tak begitu percaya, Rafael orang yang seperti itu.
"Ayah angkat," gumam Rafael.
"Elen, ajak masuk Satria. Biar aku ngomong sama Boss bentar," ujar Rafael yang lebih mirip sebuah perintah.
Elen mengangguk, dia membawa Satria masuk, sementara Rafael saat ini mengusap wajahnya kasar.
"Div, lain kali jangan asal membawa pergi anak orang," ujar Rafael.
"Hm, aku tahu. Aku sudah bilang ke Wina agar menyampaikan ke walinya Satria. Tapi, tunggu... Sejak kapan kamu jadi ayah angkat?" tanya Divine.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Mentang-mentang boss," kesal Rafael.
"Hey hey, kenapa jadi nyolot kamu. Teman lucknut! Aku cuma bawa dia bermain. Menghiburnya karena lomba ayah anak, tak satupun pihak keluarganya ada yang datang. Apa aku salah?"
Deg.
"Astaga!" Rafa kembali mengusap wajahnya karena baru ingat tentang hal itu.
"Hm, jadi aku yang salah? Heh?" Divine bersedekap dada, menatap tajam ke Rafael.
"Tetap saja. Kau salah, tak mengizinkan Elen." Rafael tak mau kalah.
"Sudah prosedur kerja begitu, lagi pula Elen baru seminggu bekerja. Atau jangan-jangan sebenarnya dia itu bukan adik ponakan kamu, tapi simpanan kamu," ujar Divine menatap selidik ke arah Rafael yang tiba-tiba emosi.
"Tentu dia adikku, kau bisa tanya sama Momy!" kesal Rafael.
Divine hanya mengibaskan tangannya ke atas sebagai jawaban.
"Pak Divine, terima kasih sudah mengantar Satria." Elen menunduk sopan.
"Dimana Satria?" tanya Rafael.
"Sudah tidur, mungkin capek sebenarnya hari ini aku sudah sangat mengecewakannya."
"Tidak ada orang tua yang mengecewakan anak, ini salahku." Divine menatap Elen iba, entah apa yang sudah dilalui wanita itu hingga Divine bisa melihat mendung bergelayut di sudut matanya.
"Bukan, aku yang salah. Aku lupa kalau ada janji dengan Satria," ujar Rafael menyela.
"Pak Divine, Rafael. Duduk saja dulu, biar aku buatkan teh."
"Oke."
"Baiklah."
Keduanya saling tatap saat menyadari ucapan mereka yang setuju dengan tawaran Elen.
Setelah Elen masuk, Divine menatap dingin Rafael, "jangan bilang kamu menyukainya?" hardik Divine langsung.
"Hey hey, santai. Dia single, gak ada yang melarang kalaupun aku menyukainya!" cibir Rafael.
"Aku melarangmu, kau cari saja wanita lain." Divine bersedekap dada.
"Atas dasar apa melarang heh?" Rafael tak mau kalah.
"Bukankah kau tadi bilang dia adik ponakanmu, aku harus mempercayai itu? Ingat, tidak boleh ada hubungan sesama karyawan di kantorku, kecuali kau mau keluar dan membiarkan Elen tetap bekerja!" tegas Divine.
"Hah terserah, yang jelas kau tak boleh menyukainya."
"Aku tidak suka perempuan, tenang saja!" Jawab Divine sebal, karena malas berdebat dengan Rafael. Namun, ekspresi Rafael yang mendengar ucapannya justru berlebihan.
"Ini, tehnya. Maaf, Pak seadanya." Elen meletakkan dua cangkir teh hangat di meja. Teras kontrakannya memang sangat nyaman untuk mengobrol, dan Elen tak enak hati jika langsung meminta Rafael dan Bossnya pulang.
"Terima kasih," ujar Rafael dan Divine bebarengan.
***
Setelah mereka pergi, Elen menghampiri Satria yang terlelap. Bahkan laki-laki itu sudah tak memakai baju seragam sekolahnya sejak bersama sang Boss.
"Apa Pak Divine yang membelikannya?" tanya Elen dalam hati.
"Mom," panggil Satria.
"Sudah bangun sayang? Momi minta maaf yah, sudah ingkar janji."
"Mom kan bekerja," sahut Satria, lalu tampak berfikir lama.
"Satria gak mau merepotkan Momy, nanti Momy gak boleh kerja lagi kalau datang ke Sekolah." Satria menatap Elen lalu tersenyum manis.
"Terus tadi kamu diajak Om baik kemana?" tanya Elen lembut.
"Banyak Mom, Om baik yang nemenin aku lomba, yang jadi pasangan ayahku, beliin aku es krim dan jalan-jalan."
"Benarkah? Kok bisa?" tanya Elen penasaran, sebenarnya sosok seperti apa Divine itu, kenapa anaknya justru menganggap boss dingin dan galak itu baik.
"Tadi Om baik ajak main di tempat keren, beliin aku baju juga. Mom, kapan-kapan aku boleh ketemu Om baik lagi kan?" tanya Satria.
"Boleh, tapi harus pamit Momy dulu. Dan kalau bisa jangan dibeliin ini itu, kan Satria baru kenal."
"Oke, Mom."
"Sekarang, bangun dulu. Mandi dan makan baru istirahat." pinta Elen.
"Mom, kapan aku punya ayah yang baik kayak paman dady dan om baik?" tanya Satria.
Elen terdiam lama, ia pun tak tahu harus menjawab apa.
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....