Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HUTANG BUDI YANG SULIT DIBALAS
... "Jangan pernah kamu berbohong. Sebab, ketika kebenaran akhirnya terungkap, yang hancur bukan hanya fakta, melainkan juga kepercayaan yang susah payah dibangun. Dan tanpa kepercayaan, kau akan berdiri sendirian di tengah kekacauan yang kau ciptakan sendiri."...
"Aku butuh tidur. Aku benar-benar lelah." Kata Seo Han berbalik badan, memunggungi pintu dan jendela, mencari perlindungan dalam kegelapan selimutnya.
Keheningan kembali. Itu benar-benar menambah warna dalam kekacauan emosi ini—hanya terdengar suara ritmis dan monoton tetesan air infus yang jatuh ke ruang kosong. Suara itu, yang semula hanya penanda medis, kini menjadi metronom yang menghitung setiap detik utang budi.
Jae Hyun berdiri dari kursi, matanya penuh kekhawatiran. "Oke, aku keluar sekarang. Kamu istirahat ya, besok aku ke sini lagi." Ia memberi isyarat kepada Seo Ryeon.
"Ayo," ajak Seo Ryeon, mengangguk setuju bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk menekan.
Mereka berdua keluar, dan pintu geser ruangan tertutup dengan sangat pelan, mengembalikan keheningan pada Seo Han.
Jae Hyun bersandar di dinding lorong ruangan, menghela napas berat. Bau antiseptik yang pekat menusuk hidungnya. Seo Ryeon hendak berpamitan.
"Ryeon, kamu boleh pulang. Aku mau di sini jagain Seo Han. Aku tidak tega ninggalin dia sendiri," kata Jae Hyun, matanya tak lepas dari pintu kamar.
"Aku ikut, kita jaga sama-sama," balas Seo Ryeon segera.
"Tidak, kamu pulang ya, biar aku saja yang jaga malam ini," desak Jae Hyun, ia tahu Ryeon harus menjaga tokonya. "Besok kamu bisa ke sini lagi."
Seo Ryeon menimbang-nimbang sebentar, lalu mengangguk pelan. "Ya sudah deh, aku pulang ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku."
"Sip. Hmm, hati-hati di jalan ya, jangan ngebut bawa mobilnya," kata Jae Hyun, memperhatikan bahu Seo Ryeon yang menjauh di lorong hingga menghilang di tikungan.
Setelah memastikan Ryeon sudah benar-benar pergi, Jae Hyun meluruskan kakinya dan merosot duduk di salah satu kursi tunggu di depan ruangan. Ia memejamkan mata sejenak, wajahnya lelah. Ia tidak peduli dengan pandangan perawat atau pengunjung. "Ahh, enak rasanya," gumamnya, mencoba mengusir rasa lelah dan khawatir. Ia mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari lowongan pekerjaan paruh waktu di Jeju, sambil sesekali melirik pintu kamar Seo Han.
Di dalam kamar, Seo Han masih terus berpikir. Hatinya berdebar kencang saat mencoba menghubungkan kepingan-kepingan ingatan samar yang tersisa.
Apa itu Ayah yang menolong aku?
Ia mencoba mengingatnya lagi, memaksa otaknya memutar kembali rekaman singkat sebelum kegelapan total. Potongan kecil mulai muncul:
Suara serak, seperti orang yang tidak pernah bicara: "...kamu demam, Nak?"
Sentuhan tangan yang kasar di dahinya.
Lalu, rasa terangkat dari lantai, tubuhnya yang lemah diangkat. Ia ingat bau aftershave yang dikenalnya—bau maskulin yang ia harap sudah lama ia lupakan.
Suara panik dan tercekat: "...bertahan, Nak. Ayah akan bawa kamu ke RS."
Jelas. Suara itu adalah suara Ayahnya yang sudah lama tidak ia dengar, dan sentuhan itu adalah sentuhan terakhir yang ia rasakan sebelum semuanya menjadi gelap.
"Benar, itu dia," bisik Seo Han, suaranya dipenuhi realisasi yang dingin.
Lee Young Jun, Ayahnya, telah menyelamatkan nyawanya.
Bukan tetangga baik hati, bukan kebetulan, melainkan pria yang paling ia benci dan paling ingin ia hindari. Rasa lega karena selamat kini berganti menjadi kemarahan dan rasa terjerat yang dalam. Utang budi ini terasa lebih berat daripada dehidrasi. Ia rela membayar biaya rumah sakit sepuluh kali lipat asalkan itu bukan ulah Ayahnya.
Seo Han membenamkan wajahnya ke bantal. Ia merasa benci karena Ayahnya datang dan pergi seperti hantu, meninggalkan kebaikan yang ia tidak minta—kebaikan yang membuat semua kebenciannya terasa salah. Lee Young Jun datang, menghancurkan ketenangan yang rapuh, membuatnya pingsan karena stres, lalu muncul kembali sebagai penyelamat misterius.
Kebaikan vs. Kebencian. Konflik itu menggerogoti.
Seo Han membalikkan badan, menatap jendela. Sinar matahari siang terasa menusuk mata. Jika dia benar-benar peduli, kenapa dia pergi? Kenapa dia menghilang saat aku kecil? Pertanyaan lama itu kembali menusuk, memicu amarahnya.
Ia mengambil ponselnya yang retak, kembali menatap foto wisuda SD-nya. Ia memfokuskan pandangan pada wajah Ayahnya di foto itu—wajah yang lebih muda, penuh janji. Ia mengingat momen terakhir mereka sebelum perpisahan:
Seo Han kecil berpegangan pada Ayahnya di stasiun. "Ayah akan kembali, kan?" tanyanya, suaranya gemetar.
"Tentu, Nak. Ayah hanya pergi sebentar. Ayah akan menjagamu dari jauh," janji Lee Young Jun, lalu ia pergi, tanpa pernah kembali.
"Menjaga dari jauh? Datang dan pergi sesukamu setelah bertahun-tahun?" Seo Han mengepalkan tangan di bawah selimut. Sentuhan tangan Ayah tadi malam—tangan yang menggendongnya—kini terasa seperti rantai yang mengikatnya. Utang nyawa ini adalah ikatan yang paling kuat, dan Seo Han tidak tahu bagaimana cara memutuskannya tanpa menghancurkan dirinya sendiri.