Di kota megah Aurelia City, cinta dan kebencian berjalan beriringan di balik kaca gedung tinggi dan cahaya malam yang tak pernah padam.
Lina Anastasya, gadis sederhana yang keras kepala dan penuh tekad, hanya ingin bertahan hidup di dunia kerja yang kejam. Namun, takdir mempertemukannya dengan pria paling ditakuti di dunia bisnis Ethan Arsenio, CEO muda yang dingin, perfeksionis, dan berhati beku.
Pertemuan mereka dimulai dengan kesalahpahaman konyol, berlanjut dengan kontrak kerja yang nyaris seperti hukuman. Tapi di balik tatapan tajam Ethan, tersembunyi luka masa lalu yang dalam… luka yang secara tak terduga berhubungan dengan masa lalu keluarga Lina sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 17
Maybach itu meluncur tanpa suara menembus jalanan malam Aurelia City.
Di dalam, keheningannya pekat. Jauh berbeda dari kebisingan palsu ballroom tadi. Lina duduk tegak di kursi kulit yang mewah, tidak berani bersandar. Dia bisa merasakan pandangan sopir di kaca spion, tapi dia hanya fokus pada lampu-lampu kota yang berlalu.
Di sebelahnya, Ethan Arsenio telah melepaskan dasi kupu-kupunya sepenuhnya. Kancing atas kemejanya terbuka, dan dia sedang menatap ke luar jendela, pikirannya tampak jauh.
"Pujian" singkatnya di lobi basement tadi masih menggantung di udara di antara mereka. Eksekusi yang sempurna.
Lina tahu dia harus memecah keheningan. Dia harus mengembalikan belenggu itu.
Dia merogoh dompet kecil yang serasi dengan gaunnya dompet yang juga dibeli di 'La Perle' dan mengeluarkan kartu hitam platinum itu.
"Tuan Arsenio," katanya pelan.
Ethan menoleh. Matanya yang dingin tampak lebih gelap dalam cahaya remang-remang mobil.
Lina mengulurkan kartu itu padanya. "Terima kasih... untuk ini. Saya sudah selesai menggunakannya."
Ethan menatap kartu yang terulur di tangan Lina. Dia tidak mengambilnya.
"Simpan," katanya datar.
Lina terkejut. "Tuan? Saya tidak bisa. Ini... ini milik Anda."
"Dan kau adalah asistenku," balas Ethan, nadanya tidak sabar. "Malam ini membuktikan kau akan sering berada di luar kantor bersamaku. Aku tidak bisa membuang waktu tiga puluh menit setiap kali kau butuh 'seragam' baru."
Hati Lina mencelos. Seragam.
Dia benar. Gaun biru safir ini, sepatu hak rendah yang elegan ini... ini bukan untuk Lina. Ini adalah seragam untuk "Asisten Presdir Arsenio". Sama seperti jas yang dia tumpahi di hari pertama.
"Saya mengerti, Tuan," kata Lina, suaranya sedikit kaku. Dia menarik tangannya kembali.
"Dan satu hal lagi," lanjut Ethan, kembali menatap ke luar jendela. "Mulai besok, gunakan kartu itu untuk makan siangmu. Di kafetaria atau di luar. Aku tidak peduli."
Lina menatapnya. "Tuan, saya bisa"
"Aku tidak mau lagi ada sandwich yang diletakkan di mejamu," potong Ethan, nadanya tajam. "Itu tidak efisien. Aku tidak mau lagi ada interupsi... atau 'gangguan suara'... karena asetku lupa mengisi bahan bakar."
Aset. Seragam. Bahan bakar.
Dia tidak akan pernah membiarkannya lupa posisinya. Dia bukan manusia di matanya. Dia adalah alat yang sangat berguna.
"Dan jangan," tambah Ethan, seolah bisa membaca pikiran Lina, "ganggu aku dengan laporan pengeluaran untuk makanan di bawah seratus ribu. Gunakan saja. Anggap itu bagian dari gajimu. Aku hanya mau laporan jika kau membeli... gaun."
Lina mencengkeram kartu itu erat-erat di tangannya. Kartu itu terasa dingin dan tajam. Ini adalah belenggu emasnya, dan Ethan baru saja mengencangkannya.
"Baik, Tuan Arsenio," bisiknya.
Sisa perjalanan dihabiskan dalam keheningan total.
Mobil mewah itu akhirnya berbelok ke jalan kecil yang familier jalan menuju gedung apartemen Lina yang sederhana.
Saat Maybach itu berhenti di depan lobi yang bercat kusam dan diterangi satu lampu neon yang berkedip-kedip, kontrasnya begitu nyata hingga terasa menyakitkan.
Ini adalah dunianya. Dunia yang sangat jauh dari ballroom mewah, tuksedo, dan kartu kredit platinum.
Lina buru-buru meraih gagang pintu. "Terima kasih atas tumpangannya, Tuan. Selamat malam."
"Nona Anastasya."
Suara Ethan menghentikannya. Lina menoleh.
Ethan tidak sedang menatapnya. Dia sedang menatap gedung apartemennya yang sederhana, ekspresinya tidak terbaca di dalam bayangan mobil. Dia sepertinya baru menyadari sesuatu.
Dia menatap gedung itu selama beberapa detik, lalu dia menoleh ke Lina. Tatapannya intens.
"Pukul delapan besok pagi," katanya. "Kita harus menganalisis kerugian yang disebabkan Nyonya Prawira setelah dia tahu kita kabur."
Dia tidak menyinggung soal apartemennya. Dia tidak menghina. Dia hanya... kembali bekerja.
"Baik, Tuan," kata Lina. "Selamat malam."
Dia keluar dari mobil, gaun safirnya berdesir. Dia berjalan cepat ke lobi yang remang-remang, tidak berani menoleh ke belakang.
Dia bisa merasakan tatapan Ethan Arsenio padanya sampai pintu lobi tertutup. Saat dia mengintip dari kaca lobi yang retak, Maybach itu sudah meluncur pergi, menghilang seperti kereta hantu kembali ke dunianya yang gemerlap.