Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Suara tawa lembut Lauren masih terdengar dari dapur saat pintu depan kembali terbuka.
Suara berat dan tegas menyusul dari arah lorong.
“Ren, kenapa kamu tidak menungguku sebentar, kita kan bisa naik sama-sama."
Suara itu milik Juan Agler, ayah Gavin.
Sosok tinggi dengan jas abu gelap, rambut sedikit beruban di sisi, dan aura wibawa yang sulit diabaikan. Langkahnya mantap, dan begitu matanya menangkap pemandangan di ruang tengah, Rada yang masih berdiri kikuk, Gavin di sampingnya, dan Mama Lauren yang menyiapkan piring, ekspresinya langsung berubah.
"Sial! Sekarang Tuan Agler juga ada disini?" Rada mengeluh dalam hati, rasanya ia ingin teleportasi dan pergi sejauh mungkin. Pria tua yang baru datang itu bukan orang sembarangan, ia hanya berharap ayahnya tidak pernah menjadi rekan bisnisnya.
“Apa ini?” tanya Juan, Alisnya naik, tajam dan tak percaya.
Suasana langsung berubah hening. Mama Gavin refleks tersenyum canggung. “Sayang, jangan salah paham. Gavi hanya —”
Tapi sang ayah mengangkat tangan, menghentikan istrinya bicara. Tatapannya berpindah ke Gavin.
"Kamu… membawa perempuan ke apartemen ini?” Nada suaranya tidak meninggi, tapi tegas dan dalam sekali.
“Dia tetanggaku, Pa. Dia mabuk semalam dan aku hanya menolong.” kata Gavin berusaha tetap tenang.
Ayahnya menatap tajam, menimbang jawaban itu. Lalu dengan nada datar namun mengandung tekanan, ia berkata.
“Kau tahu apa artinya membawa gadis ke tempat tinggalmu dan membiarkannya bermalam? Kalau kabar ini sampai ke telinga orang lain, nama keluarga kita bisa jadi bahan pembicaraan.”
Lauren menatap suaminya lembut. “Jangan dibesar-besarkan, Sayang,”
"Ren,” potongnya tegas, “Kita keluarga terhormat. Sekali saja orang salah paham, kita kehilangan kehormatan.”
Rada menunduk, wajahnya mulai memanas. Ia bisa merasakan pandangan pria itu, tajam dan menilai.
"Maaf, Pak… saya tidak bermaksud—”
"Siapa orang tuamu?” tanya Juan.
Rada sempat terdiam. Mampus! Apa yang paling Rada takuti terjadi, sekarang ia sangat berharap Juan tidak mengenal ayahnya. Ia melirik Gavin sekilas, lalu menjawab dengan pelan namun jelas,
“Saya Rada… Nerada Athalia Argaya. Putri bungsu dari mama Istina dan papa Edwin Argaya.”
Ruangan mendadak hening. Nama itu seperti menggetarkan udara.
Tatapan Juan berubah, dari tajam menjadi penuh perhitungan. Ia mengulang perlahan, seolah ingin memastikan.
“Edwin Argaya…?”
“Iya, Pak,” jawab Rada sopan, menunduk sedikit. “Ayah saya… bekerja di bidang properti dan —”
"Dia sering bermain golf denganku,” potong Juan, kali ini dengan nada berbeda. Ada seulas senyum kecil di bibirnya, namun sorot matanya tetap tegas. “Jadi kamu putri Edwin. Dunia ini kecil, rupanya.”
Mama Lauren tersenyum lega, sementara Gavin hanya berdiri diam, ia tentu sudah lama tahu orang tua Rada bahkan pernah bertemu beberapa kali.
Namun ternyata meskipun sudah tahu siapa orang tua Rada, Juan belum selesai. Ia beralih menatap putranya dengan tatapan penuh makna.
"Kalau begitu, aku tidak ingin ada kesalahpahaman, Gavi.”
“Pa, ini tidak seperti yang—”
“Cukup. Untuk menjaga nama baik keluarga dan hubungan kita dengan keluarga Argaya, kalian sebaiknya menikah.”
Kata itu meluncur dengan tenang, tapi efeknya seperti ledakan. Rada membeku di tempatnya, sementara Gavin menatap ayahnya dengan ekspresi kaget bercampur tak percaya.
“Menikah?”
“Iya,” tegas ayahnya. “Kamu sudah menciptakan situasi yang bisa disalahpahami. Tidak ada solusi lain yang lebih terhormat. lagipula usiamu sudah cukup matang untuk menikah."
Mama Lauren menatap suaminya cemas. “Sayang, mungkin itu terlalu cepat,”
“Tidak, Ren. Aku tidak akan membiarkan kabar tidak benar mencoreng nama keluarga ini.”
Rada menelan ludah, itu kata keramat yang baru saja ia dengar.
“Tapi, Pak… kami bahkan baru saling kenal kemarin.” kata Rada pelan, mulai menyesal pergi ke klub tadi malam.
"Tidak masalah, Rada. Ayahmu pasti setuju, daripada nama keluarga kita tercoreng. Apa kata orang, kalau mereka sampai tahu kamu bermalam di kamar pria yang baru kamu kenal. Mereka akan menggunjing dan menertawakanmu." Kata Juan tenang.
Kata-kata itu sangat benar, tapi sesuatu dalam diri Rada merasa sangat marah, ia hanya tidak berani melampiaskan pada Juan.
Gavin memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri. Ia tidak masalah menikah dengan Rada, ia hanya tidak ingin Rada terbebani.
"Tidak perlu sejauh itu, pa. Kami tidak melakukan apa-apa, aku hanya menolongnya."
“Dan aku tidak akan mempertaruhkan nama keluarga karena sikap keras kepalamu,” balas sang ayah cepat, dingin dan tajam.
Ruangan kembali senyap. Hanya terdengar napas Rada yang tak teratur dan suara jam dinding yang berdetak pelan.
Mama Lauren akhirnya melangkah maju, mencoba menenangkan suasana.
"Mungkin sebaiknya kita semua duduk dulu. Rada, sayang, ayo sarapan sebentar. Mari kita bicarakan ini pelan-pelan.”
Namun dalam hati Rada tahu, hari ini, segalanya telah berubah. Hanya semalam ia berniat bersenang-senang, tapi pagi ini… ia justru berdiri di tengah badai keluarga yang bisa mengubah seluruh hidupnya.
Dan di sisi lain, Gavin masih menatap ayahnya dengan sorot mata orang yang tahu ia tak akan bisa benar-benar menentang, meskipun hatinya belum siap.
...✯✯✯...