Setelah kematian ayahnya, Renjana Seana terombang-ambing dalam kehidupan tak terarah, gadis yang baru menginjak umur 20 an tahun dihadapkan dengan kehidupan dunia yang sesungguhnya disaat ayahnya tidak meninggalkan pesan apapun. Dalam keputusasaan, Renjana memutuskan mengakhiri hidupnya dengan terjun ke derasnya air sungai. Namun takdir berkata lain saat Arjuna Mahatma menyelamatkannya dan berakhir di daratan tahun 1981. Petualangan panjang membawa Renjana dan Arjuna menemukan semua rahasia yang tersimpan di masa lalu, rahasia yang membuat mereka menyadari banyak hal mengenai kehidupan dan bagaimana menghargai setiap nyawa yang diijinkan menghirup udara.
by winter4ngel
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ela Safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasutri canggung
Jalanan yang hanya seluas dua motor membawa Renjana dan Arjuna menyusuri dari ujung hingga ujung. Mereka berdua mencari tempat yang bisa digunakan untuk bermalam hari ini dan memikirkan rencana kedepannya. Berbeda dengan Renjana yang terus berusaha berpikir cara menemui kedua orang tuanya di masa ini, Arjuna sebaliknya, dia tidak punya niat apalagi tujuan selain berusaha mencari jalan keluar untuk kembali ke tahun 2022.
Langkah Renjana dan Arjuna terhenti saat melihat sebuah pos kamling yang ramai beberapa bapak-bapak dengan tugas berjaga malam, Arjuna menghampiri pos tersebut berniat untuk bertanya mengenai penginapan atau homestay yang bisa digunakan istirahat malam ini.
“Permisi, saya mau bertanya.”
“Ya, ada yang bisa kami bantu mas?.”
“Pak, apakah tahu penginapan dekat sini?.”
“Waduh, kalau penginapan nggak ada di sini. Tapi kalau mau, bisa sewa kamar kosong di rumah saya, dekat dari sini, kalau tertarik saya antarkan. Biasanya juga banyak orang yang datang kesini terus menginap di rumah saya.”
“Boleh Pak.”
“Ayo mari ikut saya Mas.”
Arjuna mengajak Renjana ikut dengannya, mengikuti salah satu bapak-bapak penjaga pos kamling. Rumahnya tidak jauh, hanya beberapa meter masuk kedalam, di tengah ladang yang hanya ditumbuhi tanaman rumput ilalang, di sana ada sebuah rumah yang lumayan berukuran besar, rumah jaman itu dengan dinding kayu. Tahun 1981 di wilayah tempat tinggal Renjana dulu rumah yang sudah masuk golongan orang kaya biasanya menggunakan batu bata merah tanpa semen atau dinding kayu seperti ini, tapi kebanyakan masih menggunakan anyaman.
“Ini rumah saya. Mas dan Mbak nya Suami Istri?.”
“Itu bu-.” Belum sempat melanjutkan ucapannya, Arjuna lebih dulu menutup mulut Renjana menggunakan tangannya.
“Iya, kami tersesat sampai di desa ini. Mau liburan bulan madu, namanya juga baru menikah. Iya kan sayang?.” Arjuna melihat kearah Renjana sambil tersenyum.
“Oh gitu, pas kalau begitu. Ayo silahkan masuk.”
“Terimakasih pak.”
Disana Renjana dan Arjuna bertemu dengan istri dari seorang bapak yang mengantarkan mereka ke rumahnya, Pasangan keluarga Djoko. Pak Djoko dan Bu Mirah, mereka tidak membuka penginapan tapi kebetulan anak-anak pak Djoko merantau ke luar kota sehingga beberapa kamar di rumah itu kosongan karena mereka memang tinggal berdua saja. Bukan hanya Renjana dan Arjuna yang diijinkan tinggal, sebelumnya juga ada yang menginap di rumah itu beberapa hari.
Rumahnya tipe rumah yang dibiarkan terbuka tanpa batas dinding antara yang satu dengan yang lain, hanya diberikan beberapa sekat untuk kamar-kamar saja, ruang tamu ada di depan, beberapa kursi dan meja yang melingkar. Pak Djoko membuka satu kamar yang paling dekat dengan pintu, di dalam lumayan luas, ada satu ranjang lebar, meja nakas, lemari, dan juga tikar yang di lipat diletakkan di atas lemari.
“Ini kamarnya sederhana tidak apa-apa?.” Tanya Pak Djoko memastikan.
“Tidak apa-apa, ini sudah sangat bagus dan nyaman.”
“Oh ya nama mas dan mbaknya siapa? Belum sempat kenalan. Saya Djoko dan Istri saya Mirah.”
“Saya Arjuna Pak, ini istri saya namanya Renjana.”
Renjana hanya tersenyum simpul.
Pak Djoko hanya memperhatikan penampilan Arjuna dan Renjana dengan tatapan heran, tapi pria paruh baya itu tak mau ambil pusing. Karena kebanyakan yang datang ke desa dengan penampilan seperti itu adalah orang-orang ibu kota.
“Maaf sebelumnya pak, saat perjalanan kemari, kami kena rampok.”
“Ya ampun mas, terus gimana?.”
“Tapi kami baik-baik saja pak, saya Cuma punya ini buat bayar sewa.” Arjuna mengeluarkan jam tangannya dan di tunjukkan pada Pak Djoko.
“Ini mahal sekali.” Pak Djoko memperhatikan jam tangan milik Arjuna yang sudah berada di genggamannya.
“Memangnya bisa di jual pak?.”
“Bisa, Mas nya mau jual?.”
“Iya pak kalau bisa.”
“Kebetulan tetangga sebelah jual beli barang-barang, kalau mau besok saja saya pertemukan. Sekarang mas dan mbaknya bisa istirahat dulu.”
“Baik terimakasih banyak pak.”
“Sama-sama mas, kalau butuh apa-apa bilang saja ke Istri saya. Saya mau lanjut ronda.”
“Iya pak terima kasih.”
Setelah Pak Djoko dan Bu Mirah pergi, barulah Renjana dan Arjuna masuk kedalam kamar dan menutup kelambu kamar tersebut. Kamarnya tidak menggunakan pintu, hanya menggunakan kelambu. Kalau kelambunya terkena angin, bisa terbuka sedikit dan terlihat yang di dalam, walaupun ranjang tidak berhadapan dengan pintu tetap saja kelihatan isi kamar itu.
Renjana duduk di ranjang sedangkan Arjuna menarik kursi untuk dia duduki, tubuhnya sangat lelah, apalagi berjalan dengan jarak yang lumayan menguras tenaga. Arjuna bukan orang yang suka olahraga, jalan satu kilo saja sudah kelelahan, apalagi dia jalan lebih dari 2 kilo hari ini.
“Terimakasih, tapi kenapa harus bilang suami istri?.” Protes Renjana yang membuat Arjuna menoleh ke arah wanita itu, “Kan bisa bilang adik atau sepupu gitu.”
“Ga kepikiran sampai sana, lagian mau gimana lagi. Yang penting sekarang udah ada tempat teduh.”
“Huft, terus rencananya gimana lagi?.”
Arjuna berpikir sejenak, “Besok kita kembali ke sungai dan terjun lagi, siapa tau bisa balik.”
Renjana terdiam, “Kalau bisa sampai ke tahun 1981 berarti ada yang harus dicari tahu kan? Kenapa kita nggak berusaha survive dulu.”
“Kalau kamu ingin menemui orang tuamu saat mereka masih muda, aku tidak akan mengijinkan.”
“Itu-.”
“Renjana, kita bukan manusia yang ada di masa ini. kita tidak punya banyak cadangan hidup, Aku cuma ada itu, jadi kita harus segera pulang.”
Renjana merogoh saku celananya dan mengeluarkan dua lembar uang darisana, “Ini aku punya jam tangan juga.”
Arjuna tertawa kecil, “kamu tau nggak kalau DW baru rilis tahun 2011, sekarang kita ada di tahun 1981.”
“Tapi jam tanganmu bisa.”
“Itu punya kakekku, udah lama dan turun temurun, harusnya laku disini.”
“Maaf.”
“Maaf buat apa?.”
“Kamu jadi kehilangan jam tanganmu.”
“Nggak masalah, nggak usah dipikirin yang penting kita punya tempat tinggal sementara.” Arjuna beranjak dari tempat duduknya dan mengambil tikar yang ada di atas lemari “Pokoknya kita harus segera balik.”
Saat Arjuna menggelar tikar, tiba-tiba Renjana memegang pergelangan tangan Arjuna, membuat pria itu menoleh, “Satu kali saja, bisakah aku bertemu dengan kedua orang tuaku, aku mohon...”
Arjuna melepaskan tangan Renjana “Tidak.”
Renjana duduk di kursi dengan wajah sedih, “Sebelum aku memutuskan untuk bunuh diri, ayahku meninggal satu tahun yang lalu. Aku mungkin baik-baik saja jika ayahku meninggal karena dia sakit, tapi dia tidak sakit, ayahku baik-baik saja, bahkan dia tidak mengucapkan apapun padaku saat sebelum dia pergi.”
Arjuna menoleh ke arah Renjana, rasa kasihan itu menghampirinya. “Sekali, hanya sekali dan kamu tidak boleh mendekat. Menemuinya bukan berarti mengajak mereka berbincang, aku hanya mengijinkan kamu melihatnya dari jauh.”
“Serius?.”
Arjuna mengangguk.
“Thanks.” Renjana memeluk Arjuna erat.
“Lepas-lepas, aku mau mandi. Lengket semua ini.”
Arjuna mendorong tubuh Renjana bukan karena memang ingin mandi, tapi dia merasa kurang nyaman dekat dengan Renjana. Bukan saatnya dia bergulat dengan hatinya yang kacau karena wanita yang baru di kenal, apalagi wanita itu yang menyeretnya sampai di tempat asing ini.
“Aku juga mau mandi.”
“Tunggu disini, aku tanya ke Bu Mirah kamar mandinya.” Arjuna keluar dari kamar meninggalkan Renjana sendiri untuk menanyakan perihal kamar mandi yang bisa digunakan untuk membersihkan badan.
Beruntung pakaian mereka bisa kering setelah tercebur di sungai, karena berjalan jauh dan terkena angin membuat pakaian itu kering dengan sendirinya, tapi lengketnya tubuh tidak akan bisa membohongi keadaan sesungguhnya.