Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. MENGHILANG
Hening yang tenang di dalam ruangan bayi itu retak oleh suara gaduh dari luar. Olivia Morgan yang sejak tadi duduk tenang di pinggir tempat tidur, tubuhnya menunduk sambil mengelus pelan kepala mungil Cassandra, tiba-tiba menegang.
Tangisan bayi yang tadi bergemuruh kini sudah padam. Cassandra kecil tertidur dengan damai, wajahnya merah muda, bibir mungilnya masih bergerak seolah mencari payudara yang baru saja memberinya kenyamanan yang tak pernah ia temukan dari orang lain. Davian berdiri tak jauh, matanya yang tajam penuh tanda tanya, namun untuk sesaat ia tak ingin mengusik pemandangan rapuh itu: bayi yang selalu menolak pelukan dunia, kini terlelap dalam dekapan seorang asing.
Namun saat pintu bergetar karena bentakan dari luar koridor, Olivia tersentak. Jantungnya berdegup tak terkendali, matanya membelalak ke arah pintu seakan sesuatu yang ditakutinya telah tiba di ambang sana.
"Olivia?!"
Suara itu ... jelas, dalam, penuh desakan.
Nama yang ia sembunyikan, nama yang seharusnya tidak dipanggil.
Tangan Olivia gemetar. Ia menatap Cassandra yang masih tertidur dengan damai, lalu menoleh pada Davian. Sorot paniknya begitu telanjang, seperti seseorang yang baru saja melihat jurang maut menganga.
"Apa yang terjadi?" tanya Davian, alisnya berkerut. Ia sempat melangkah maju, namun Olivia justru bergeming, semakin merapatkan pelukan pada bayi mungil itu. Seakan melindungi Cassandra kecil entah dari apa.
Suara gaduh makin mendekat. Ada langkah kaki terburu-buru, ada nada keras laki-laki di balik pintu. Olivia menelan ludah, wajahnya pucat pasi.
"Aku ... aku harus pergi." Suaranya pecah, hampir tak terdengar.
Emily yang berdiri di sisi lain ruangan menatapnya dengan bingung. "Pergi?" Tapi-"
Olivia mengguncang kepalanya cepat, air mata berkilat di sudut matanya. Perlahan, dengan gerakan yang nyaris gemetar, ia menurunkan Cassandra dari dekapannya dan menyodorkannya kepada Davian.
"Dia kenyang. Dia tenang," ucap Olivia.
Davian menerima bayi mungil itu tanpa sempat berkata apa-apa. Matanya menelisik wajah Olivia, mencoba membaca sesuatu di balik kepanikan itu. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, wanita itu sudah berlari menuju pintu. Langkahnya goyah, tapi penuh desakan seperti ada badai yang mengejarnya.
"Olivia?!" seru Davian. Namun pintu sudah terbuka, suara gaduh di luar langsung menyergap masuk.
"Apa yang terjadi sebenarnya," ucap Peter bingung.
Namun Davian tak sempat menjawab. Hanya dalam hitungan detik, Olivia menghilang ke koridor, tubuhnya diseret arus ketakutannya sendiri.
Davian cepat menyerahkan Cassandra ke pelukan Emily. "Jaga dia!" katanya singkat, suaranya penuh ketegasan yang membuat Emily hanya bisa mengangguk meski hatinya dibebani tanda tanya.
Tanpa menunda, Davian melompat ke luar ruangan, Peter menyusul di belakangnya. Koridor rumah sakit itu dipenuhi orang-orang yang heran oleh keributan. Beberapa perawat mencoba menenangkan, tapi suara bentakan pria-pria asing itu membuat suasana kacau.
Dan di ujung lorong, Davian melihatnya.
Olivia.
Wanita itu berusaha melepaskan diri dari genggaman dua pria berjas gelap. Wajahnya tegang, matanya liar mencari celah, tapi cengkeraman mereka begitu kuat.
"Lepaskan dia!" teriak Davian. Suaranya bergemuruh, menggetarkan lorong.
Olivia menoleh sejenak, mata mereka bertemu. Ada kilatan pedih, ada permohonan tak terucap, ada rahasia yang membara namun terpenjara di balik irisnya. Dan sebelum Davian sempat menjangkau, tubuh itu ditarik masuk ke dalam mobil hitam yang menunggu di depan pintu utama rumah sakit.
"Tidak!" Davian berlari sekuat tenaga, Peter mengikutinya. Napasnya terengah, sepatu kulitnya menghentak lantai, jantungnya berdetak kencang. Ia merasa jarak itu bisa ditebas, ia bisa meraih tangan Olivia sebelum mobil itu melaju.
Namun kenyataan selalu lebih cepat dari harapan.
Mesin meraung, ban berdecit, mobil melesat meninggalkan halaman rumah sakit. Asap tipis mengepul, meninggalkan jejak samar dan ketidakpastian.
Davian berhenti di ambang pintu, tubuhnya tegak namun sorot matanya penuh amarah bercampur kebingungan. Napasnya berat, keringat dingin menetes dari pelipisnya.
Peter menepuk pundaknya dengan terengah. "Kita tak sempat. Mereka sudah pergi."
Davian mengepalkan tinjunya, pandangannya tak lepas dari jalan kosong yang kini hanya menyisakan bayangan hitam kendaraan yang menjauh.
Olivia Morgan.
Nama itu kini terpatri kuat dalam benaknya. Wanita asing yang muncul tanpa permisi, yang dengan ajaib mampu menenangkan putrinya, kini lenyap dalam sekejap ditelan malam.
Davian berdiri di depan rumah sakit itu, matanya terpaku ke arah jalan yang semakin lengang setelah mobil hitam yang membawa Olivia menghilang di tikungan. Napasnya berat, dadanya naik-turun seolah paru-parunya baru saja dipaksa menahan api. Peter di sampingnya masih terpaku, menatap ke arah yang sama, wajahnya dipenuhi kegelisahan.
"Dia dibawa pergi begitu saja," gumam Peter, suaranya hampir tenggelam dalam dingin malam.
Davian mengepalkan tangannya. Jemarinya terasa kaku, seolah amarah dan ketidakberdayaan mencengkeramnya sekaligus. "Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja," katanya, suara beratnya terdengar seperti janji. "Olivia ... dia satu-satunya yang bisa menenangkan Cassandra."
Nama itu terucap dengan berat, seperti sebuah kunci yang baru saja ditemukan, namun kemudian direnggut paksa.
Peter menoleh ke arahnya. "Kita harus mencari tahu siapa mereka. Mobil itu ... kau lihat platnya?"
Davian menggeleng. "Terlalu cepat. Dan kaca gelapnya membuatku tak melihat wajah mereka jelas. Hanya sekilas… dua pria bertubuh besar. Seperti baYangan hitam yang tiba-tiba muncul untuk merenggutnya."
Angin malam menusuk kulit, membawa aroma obat-obatan dari rumah sakit yang bercampur dengan hawa lembab. Di balik kaca jendela lantai dua, cahaya lampu dari ruang perawatan Cassandra berpendar lembut. Bayangan Emily tampak samar-samar di sana, menggendong bayi mungil itu yang kini tertidur pulas. Kontras sekali, ketenangan di dalam ruangan dengan kekacauan yang baru saja terjadi di luar.
Davian menutup matanya sejenak. Kilasan wajah Olivia kembali terbayang: tatapan matanya yang penuh rahasia, senyumnya yang samar ketika menimang Cassandra, dan kepanikan yang tiba-tiba merekah di wajahnya saat mendengar namanya dipanggil di koridor.
Seolah ia adalah seorang buronan.
"Peter," Davian membuka mata, tatapannya tajam. "Aku harus tahu siapa Olivia Morgan sebenarnya. Dari mana dia datang. Dan mengapa ada orang yang begitu nekat membawanya pergi."
Peter mengangguk, meski wajahnya masih diliputi kebingungan. "Aku akan mencari informasi. Mungkin staf rumah sakit tahu sesuatu, mungkin ada catatan identitas ketika dia masuk."
Namun bahkan Peter sendiri terdengar tidak yakin. Wanita itu datang begitu mendadak, tanpa perkenalan, tanpa meninggalkan jejak selain keajaiban aneh, Cassandra yang berhenti menangis dalam pelukannya.
Malam itu, Davian tidak bisa tidur. Ia duduk di kursi samping tempat tidur kecil Cassandra, menatap wajah putrinya yang damai. Emily duduk di sofa, matanya merah karena lelah dan khawatir. Peter sesekali keluar-masuk ruangan, mencoba menghubungi beberapa orang untuk melacak mobil yang membawa Olivia.
Namun semua usaha berakhir dengan jalan buntu.
"Dia benar-benar seperti hantu," gumam Emily lirih. "Datang begitu tiba-tiba, dan menghilang sama cepatnya. Tapi Cassandra menerima dia. Akhirnya kau bisa merasa kenyang juga, Cassandra." Ada kebahagiaan di wajah Emily ketika melihat bayi kecil itu kini tenang dan kenyang.
Davian menoleh ke arah Emily, sorot matanya berat. "Itu yang membuatku tidak bisa tenang. Cassandra menolak semua orang, bahkan aku sebagai ayahnya. Tapi Olivia, hanya dalam beberapa detik, dia bisa meredakan tangisan itu. Apa yang membuatnya berbeda?"
Emily menunduk, menatap bayi mungil di pelukannya. "Entahlah, Sie. Mungkin ... ikatan aneh yang tidak kita mengerti. Tapi aku takut ...."
Davian menunggu, alisnya terangkat. "Takut apa?"
Emily menelan ludah. "Takut kalau Cassandra tidak pernah berhenti menangis lagi karena kehilangan satu-satunya orang yang bisa menenangkannya?"
Kata-kata itu menancap dalam-dalam ke dada Davian. Ia tidak pernah merasa setakut itu sebelumnya. Bukan soal bisnisnya yang besar, bukan soal ancaman dari pesaing, tapi tentang bayi mungil yang kini menjadi pusat hidupnya dan tentang wanita asing yang entah bagaimana menjadi kunci bagi bayi itu.
Keesokan paginya, matahari bersinar redup di balik jendela rumah sakit. Davian berdiri di balkon kecil, menatap jalanan di bawah. Hiruk pikuk kota berjalan seperti biasa, seolah tidak ada penculikan yang baru saja terjadi di depan pintu rumah sakit malam tadi. Dunia tampak cuek, tak peduli dengan rahasia yang baru saja terkuak dan menghilang.
Peter masuk dengan wajah serius. "Aku sudah coba melacak lewat rekaman CCTV jalan. Mobil itu tidak masuk ke dalam catatan parkir resmi, tapi aku dapat sedikit petunjuk. Mereka melaju ke arah timur ke kawasan perumahan."
Davian menoleh, matanya berkilat. "Kawasan Timur. Bukankah itu wilayah saingan perusahaan kita."
"Ya. Aku bisa ajak beberapa orang untuk memeriksa ke sana," jawab Peter.
Davian menggeleng. "Tolong cari jejaknya. Jika kau sudah mendapatkannya, segera beritahu aku. Jika dia memang penting bagi Cassandra aku harus menemukannya."
Peter terdiam, lalu akhirnya mengangguk. Ia tahu betapa keras kepala Davian ketika sudah memutuskan sesuatu.
Hari berikutnya menjadi kabut tebal bagi Davian. Di siang hari, ia bersama Peter mencari informasi, menelusuri jejak yang hampir mustahil. Di malam hari, ia kembali ke rumah sakit, menatap putrinya yang masih sulit ditenangkan, meski Emily berusaha keras. Ada sesuatu yang hilang, kehadiran Olivia. Seolah bayi mungil itu merindukan sesuatu yang bahkan tidak bisa ia sebutkan dengan kata-kata.
Suatu malam, ketika Cassandra kembali menangis tak terkendali, Davian berdiri tak jauh dari tempat tidur kecil itu, merasa putus asa. Tangisan itu menembus dinding hatinya, memecah sisa-sisa pertahanan yang selama ini ia bangun sebagai seorang pria dingin dan tak tergoyahkan.
Sampai sebuah pesan dari Peter berisi foto dan informasi mengenai perempuan yang dicarinya, membuat senyum di wajah Davian merekah.
"Tenang, Cassie. Aku akan membawakan wanita itu padamu. Sabar sebentar lagi, ya," ucap Davian yang kini akhirnya menemukan titik terang keberadaan Olivia.
Ya, Davian akan membawa wanita itu untuk Cassandra. Tidak peduli seberapa mahal ia harus membayar wanita itu.
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi