NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Bad Boy / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:33.2k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32. Cek Dokter

“Ehh tunggu-tunggu! Dari tadi lo ngomong dia, dia, emang ‘dia’ itu siapa sih?” tanya Kenzo penasaran, matanya melebar.

“Alendra,” jawab Rayven pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.

“HAHHH?!” teriak Darren, Aksa, Alvaro, Kenzo, Julian, dan Axel hampir bersamaan.

“Alendra yang pinter itu?” tanya Kenzo memastikan, seolah masih tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.

“Iya, itu,” ucap Rayven datar.

“Kok bisa?” tambah Julian, mencondongkan tubuhnya ke depan, ingin tahu lebih jauh.

“Ya bisa,” jawab Rayven singkat, matanya menatap kosong ke arah meja.

Darren, yang sejak tadi duduk bersandar di sofa kulit usang di pojok markas, akhirnya angkat bicara dengan nada berat. “Gimana ceritanya, Ray? Kok bisa lo sampai ngerusak Alendra?”

Rayven menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya yang sudah hampir meledak karena perasaan bersalah. “Kalian inget gak waktu kita main truth or dare, dan gue dapet dare buat minum alkohol?”

Mereka semua mengangguk. Saat itu mereka bermain truth or dare karena bolos sekolah.

“Nah… entah siapa yang usil, tapi kayaknya minuman gue ketukar,” lanjut Rayven pelan. “Gue gak tau siapa yang ngerjain, tapi ternyata di dalamnya ada obat perangsangnya. Setelah itu gue sadar ada yang gak beres sama badan gue. Gue langsung keluar dari club dan pulang. Tapi saat di perjalanan gue bener-bener udah gak kuat sampai akhir gue ketemu Alendra yang baru pulang dari cafe. Gue langsung minta tolong dia dan langsung bawa dia ke rumah kosong yang gak jauh dari tempat kita berdiri.

Axel yang sedari tadi diam langsung menegakkan tubuhnya, menatap Rayven tak percaya. “Lo... bawa dia ke rumah kosong?!”

Rayven mengangguk pelan, wajahnya menunduk. “Iya. Waktu itu gue udah gak bisa mikir, kepala muter, badan panas banget. Gue cuma pengen tenangin diri, tapi di saat yang sama gue juga takut dilihat orang. Lo tau sendiri, malam itu banyak anak sekolah yang lagi nongkrong di sekitar situ.”

Julian menatapnya dengan dahi berkerut. “Terus? Alendra ngapain? Dia tahu lo lagi gak beres?”

Rayven menarik napas panjang. “Dia panik, jelas. Dia sempet bilang mau manggil bantuan, tapi gue malah... gue malah narik tangannya biar jangan pergi. Gue gak sadar gue udah nyeret dia ke dalam rumah itu.”

Ruangan tiba-tiba hening. Tak ada yang berani menyela. Yang terdengar hanya suara detik jam di dinding markas yang berdetak lambat, seolah waktu sengaja berjalan lebih pelan untuk memperpanjang rasa sesak di udara.

Rayven melanjutkan dengan suara berat, “Setelah itu... semuanya gelap. Gue cuma inget dia nangis, nyoba dorong gue. Tapi obat itu udah ngerusak semua logika gue. Gue gak sepenuhnya sadar sama apa yang gue lakuin. Begitu gue sadar, dia udah duduk di pojok, nangis, sambil bilang ‘kenapa lo gini, Rayven...’. Dan dari situ gue tahu, gue udah ngancurin hidupnya.”

Aksa menutup wajahnya dengan kedua tangan, menggeleng pelan. “Lo gila, Ray... Lo sadar gak, itu bukan cuma salah kecil. Itu hidup orang, bro.”

“Gue tau!” bentak Rayven tiba-tiba, suaranya serak. “Lo pikir gue gak tau, Aks?! Tiap malam gue mikir gimana kalau waktu itu gue gak minum, gimana kalau gue bisa kontrol diri. Gue bahkan udah siap kalau orang tuanya mau laporin gue ke polisi!”

Darren yang duduk di ujung sofa menghela napas panjang. Ia menatap Rayven lama sebelum bicara dengan nada tegas tapi tenang. “Terus sekarang? Lo mau tanggung jawab?”

Rayven mengangguk pelan.

"Oke gue paham. Untuk sekarang menurut gue jalanin apa yang Lo bisa jalanin dulu. Untuk masalah nikah lebih baik Lo pikirin matang-matang karena nikah gak semudah Lo beli rokok." Ucap Darren bijak.

"Oke thanks kalian semua udah mau dengerin curhatan gue. Gue pergi dulu mau anterin Alendra ke rumah sakit cek kandungan," ucap Rayven sambil berdiri dari kursi dan meninggalkan teman-temannya.

 

Sore itu suasana sekolah mulai sepi. Suara langkah kaki para siswa yang baru keluar dari gerbang bercampur dengan riuh rendah tawa, tapi Rayven cuma diam di atas motornya, bersandar di setang sambil memainkan kunci motor di jarinya. Matanya terus mengarah ke arah gerbang, menunggu satu sosok yang belum juga muncul.

Udara sore mulai hangat, matahari condong ke barat dan menyorot separuh wajahnya. Ia sudah duduk di situ hampir setengah jam, tapi tak ada tanda-tanda bosan di wajahnya.

Akhirnya, dari kejauhan, terlihat Alendra berlari kecil ke arahnya. Seragam putih-abu-nya terlihat agak kusut, rambut yang diikat setengah menari-nari tertiup angin.

“Ehh, gak usah lari-lari,” ucap Rayven spontan begitu jarak mereka tinggal beberapa meter.

Alendra langsung memperlambat langkah, napasnya ngos-ngosan. “Lo nunggu lama ya?” tanyanya pelan, masih sambil mengatur napas.

“Enggak kok,” jawab Rayven cepat, meski sebenarnya sudah menunggu lebih dari dua puluh menit. “Gue baru dateng.”

Alendra menatapnya sekilas, ekspresinya datar tapi matanya keliatan masih ada ragu. Sejak kejadian itu, hubungan mereka berubah total. Alendra gak bisa lagi bersikap santai di depan Rayven, dan Rayven pun tahu, setiap kata yang keluar dari mulutnya bisa jadi terlalu berat buat didengar cewek itu.

“Lo udah siap ke rumah sakit?” tanya Rayven, nada suaranya lebih pelan.

Alendra cuma mengangguk pelan. “Udah, tapi... gue agak takut.”

Rayven berusaha tersenyum, meski hatinya ikut tegang. “Santai aja. Gue ada kok. Lagian cuma periksa doang, gak bakal lama.”

Dia nyodorin helm ke Alendra. “Nih, pake. Jangan lupa dikancingin.”

Alendra ragu sejenak sebelum akhirnya ngambil helm itu. Jari mereka sempet bersentuhan, dan Rayven merasa ada sesuatu yang aneh di dadanya—campuran antara nyesek, canggung, dan rasa bersalah yang gak pernah hilang.

Setelah Alendra naik, Rayven langsung menyalakan motor. “Pegangan yang bener ya, jalan depan agak rusak,” katanya tanpa menoleh.

Tapi Alendra cuma diam. Tidak menyentuh Rayven, tak juga pegang jok belakang. Alendra duduk dengan jarak yang cukup, kedua tangannya memegang tali tasnya erat.

Rayven mengerti. Dia tam mau maksanya.

Motor melaju pelan, menembus jalanan sore yang mulai ramai. Angin sore menerpa wajah mereka, membawa aroma aspal dan daun basah. Gak ada yang ngomong sepanjang perjalanan—cuma suara mesin motor dan deru angin yang kedengeran.

Setelah sekitar dua puluh menit, mereka sampai di rumah sakit. Rayven matiin motor dan melihat ke arah Alendra. “Lo mau gue temenin masuk gak?”

Alendra sempet terdiem sebentar, lalu mengangguk pelan. “Boleh.”

“Yaudah, yuk.”

Mereka jalan bareng ke dalam. Rayven melangkah setengah langkah di belakang, agar tak terlalu dekat. Dia tahu batasnya. Di ruang tunggu klinik kandungan, suasananya sunyi, cuma ada suara TV kecil di pojokan muterin acara berita.

Begitu nama Alendra dipanggil, dia berdiri. “Gue masuk dulu ya.”

Rayven mengangguk. “Oke. Gue tunggu di sini.”

Begitu pintu ruang periksa tertutup, Rayven langsung menyandarkan punggungnya ke kursi, dua tangannya dia lipat di depan dada. Pandangannya kosong.

Dia berpikir banyak hal—semua kejadian itu terus berputar di kepalanya kayak kaset rusak. Malam itu, kesalahannya, tatapan Alendra yang hancur, dan rasa bersalah yang gak pernah berhenti.

Gue bener-bener brengsek, pikirnya.

Tapi sekarang, tak ada jalan buat kabur. Dia harus tanggung jawab, apa pun yang bakal terjadi.

Beberapa menit berlalu. Setiap kali pintu ruangan kebuka, Rayven langsung menengok, tapi bukan Alendra yang keluar. Sampai akhirnya, sekitar setengah jam kemudian, pintu itu terbuka lagi dan Alendra muncul. Wajahnya pucat, tapi tenang.

Rayven langsung berdiri. “Gimana?” tanyanya cepat.

“Dokternya bilang... semuanya baik-baik aja,” jawab Alendra pelan. “Kandungannya sehat.”

Rayven ngangguk pelan. “Syukur deh. Gue sempet khawatir banget."

Alendra masih diem. Tatapannya kosong ke lantai. “Tapi, Ray... gue masih belum tau harus gimana.”

Rayven menarik napas panjang. “Gue ngerti. Lo gak perlu mutusin apa pun sekarang. Gue cuma minta satu hal—biarin gue tanggung jawab. Lo gak sendirian.”

Alendra akhirnya melihat Rayven. “Gue gak tau gue bisa percaya lo lagi atau enggak,” katanya pelan. “Setiap kali gue liat lo, gue keinget semua hal yang bikin gue pengen lari.”

Rayven menurunkan pandangannya. “Lo berhak ngerasa gitu. Gue pun gak bakal maksa lo maafin gue. Tapi selama gue masih bisa napas, gue bakal jagain lo dan anak ini. Itu janji gue.”

Alendra terdiam lama. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia tahan. “Ray... gue capek. Gue pengen semuanya balik kayak dulu.”

Rayven nyengir tipis, tapi senyumnya pahit. “Gue juga, Alen. Tapi kita udah gak bisa balik. Yang bisa kita lakuin sekarang cuma jalan ke depan.”

Beberapa detik keheningan. Habis itu, Alendra cuma bilang pelan, “Kalau lo beneran mau tanggung jawab, buktiin. Tapi bukan dengan kata-kata.”

Rayven ngangguk. “Oke. Gue bakal buktiin.”

Mereka keluar dari rumah sakit bersama. Langit udah berubah jingga keemasan. Sinar matahari sore nyentuh wajah Alendra, bikin kulitnya yang pucat terlihat hangat. Tapi tatapan matanya masih sendu.

Di parkiran, Rayven nyodorin helm lagi. “Yuk, gue anterin pulang.”

Alendra cuma ngangguk. Gak banyak ngomong. Mereka naik motor lagi, kali ini lebih tenang.

Sepanjang perjalanan, Rayven gak berhenti berpikir. Tentang tanggung jawab, tentang kesalahan, dan tentang gimana caranya bikin Alendra percaya lagi. Dia tau itu gak bakal mudah. Tapi dia siap.

Saat sampai di depan rumah Alendra, Rayven matiin motor dan turun duluan. “Udah, sampe. Lo hati-hati ya. Kalo butuh apa-apa, kabarin gue.”

Alendra turun pelan, ngelepas helm dan ngasih balik ke Rayven. “Makasih udah nganter.”

Rayven ngangguk, menerima helm itu. “Selalu, Len.”

Alendra melihatnya sebentar, lalu melangkah ke arah pintu rumanya. Tapi sebelum masuk, dia sempet berhenti dan berbicara pelan tanpa melihat, “Jangan bikin gue kecewa lagi, Ray.”

Rayven diam. Cuma satu kalimat, tapi rasanya lebih berat dari apa pun. Dia nyengir kecil, meski matanya gak bisa nutupin rasa sesak. “Enggak bakal.”

Begitu pintu rumah tertutup, Rayven duduk lagi di motor, ngeliatin arah rumah Alendra cukup lama. Langit sore udah berubah ke warna ungu, dan suara azan magrib mulai kedengeran dari kejauhan.

Dia nyalain mesin pelan, terus berbisik sendirian,

“Gue janji, Len. Gue bakal benerin semuanya. Gue gak akan jadi pengecut lagi.”

Motor itu akhirnya melaju pelan di jalan sempit depan rumah Alendra, meninggalkan bayangan panjang di bawah cahaya lampu jalan yang baru menyala.

Dan di hati Rayven, satu tekad kecil tumbuh pelan—tekad buat nebus semua yang udah hancur, mulai dari hari itu.

Hai, semua pembaca setia cerita ini!

Sebelumnya, aku mau kasih tahu dulu kalau alur cerita ini akan berjalan lambat alias slow burn. Jadi, jangan heran kalau perkembangan hubungan antar tokohnya terasa pelan.

Terima kasih sudah sabar dan tetap mengikuti sampai sejauh ini. Selamat menikmati cerita selanjutnya, dan semoga kalian tetap bisa jatuh cinta lagi sama cerita ini🥰

1
Favmatcha_girl
bohong itu bu🤭
Favmatcha_girl
dari calon mantu bu
Favmatcha_girl
perhatian juga Abang yang satu ini
Favmatcha_girl
Semangat berjuang Rayven 💪
ilham gaming
nasehat papa Damian bagus
Favmatcha_girl
Lhaa baru kenalan
Favmatcha_girl
gak galak kamu ven
Favmatcha_girl
sama orang lahh
Favmatcha_girl
ketuanya aja kaget
Favmatcha_girl
bukan sakit tapi mulai jatuh cinta🤭
Favmatcha_girl
lagi bahagia dia Nay😌
Favmatcha_girl
Jauh sekali perumpamaan nua
Favmatcha_girl
untung aja gak kenapa-kenapa
Favmatcha_girl
hahh betul, aku dukung kamu
Favmatcha_girl
kayaknya enggak deh Ven, pikiran kamu aja
Favmatcha_girl
cie udah mulai jatuh cinta 🤭
Favmatcha_girl
yahhh zonk
Favmatcha_girl
jemput aja udah, kasihan kalau pakai sepeda mulu
Favmatcha_girl
jangan banyak-banyak pikiran Len😌
Favmatcha_girl
aminn
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!