Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman Untuk Tetua Qing
Lonjakan energi spiritual tiba-tiba menyambar tubuh Mei seperti gelombang panas dari inti bumi. Cahaya tipis berputar di sekujur badannya sebuah getar yang membuat daun-daun di sekeliling berdesir.
“Nona, cepat berkultivasilah! Energi itu akan memaksa terobosan!” suara Mailong bergetar lewat telepati, penuh kekhawatiran.
Bugh!
Dao tak menunggu dua kali, dengan satu tonjokan menyapu, ia mendaratkan tendangan telak ke arah Qing Shan pria itu tersungkur, mukanya merah padam oleh malu dan rasa sakit.
Wei dan Dao saling bertatapan, wajah keduanya tegang namun yakin. “Mei’er, cepat, cari tempat aman untuk berkultivasi!” Wei berteriak.
“Kita akan tahan mereka!” tambah Dao sambil menyiapkan posisi.
Mei menghela napas, dadanya terasa sesak, lonjakan energi membuat seluruh tubuhnya bergetar. “Tapi kalian bagaimana?” suaranya seret karena napasnya tercekat.
Wei menyeringai singkat, menaruh telapak tangannya di gagang pedang. “Jangan remehkan kami. Kita bisa menahan mereka,” katanya mantap.
Rambut Mei berkibar, fengan tangan gemetar ia menyerahkan dua pil penyembuh ke Wei dan Dao. Di tangan lainnya tersembunyi sebuah bom kecil dan pistol senjata dari ruang ajaib yang baru saja Mailong keluarkan.
“Jaga-jaga,” Mei berbisik.
Wei dan Dao mengangguk, wajah mereka tegas dan merasa tak gentar.
Mei lalu melesat ke dalam hutan, tetua Qing menyadari Mei hendak naik menerobos, ia tertawa serakah dan melesat maju mencari kesempatan menghantam saat Mei lemah.
“Musnahkan dia sebelum dia menjadi ancaman!” teriaknya.
Wei menelan pil penyembuh dan membalas cepat, ia melemparkan bola spiritual yang meledak di udara, membentuk gelombang yang memaksa tetua Qing mundur.
Boom!
Dao sudah menempel pada Qing Shan duel pedang terjadi, gaya beladiri Dao lincah, membuat Qing Shan kewalahan, namun perbedaan ranah terlalu besar.
Di dalam hutan, Mei memasuki ruang ajaib kolam jernih dan batu tengah menanti. Ia duduk bersila di atas batu itu, menutup mata, membiarkan Mailong memandu.
“Pusatkan pikiranmu. Jangan berpikir soal mereka.” Mailong mengingatkan.
Mei menelan napas dalam, menolak pikiran tentang Wei dan Dao walau hatinya menjerit untuk membantu. Ia menarik semua energi yang ada, memusatkan ke dantian. Tubuhnya bergetar hebat keringat membasahi jidatnya. Gemuruh halus menggema di ruang ajaib.
Ledakan energi pecah sebuah terobosan besar, cahaya menyambar ke atas, dan ketika asap mereda, Mei berdiri, aura barunya padat. Dia telah naik ke Ranah Jenderal Perang tingkat lima.
Mailong bersorak girang.
Mei menutup formasi ruangnya dan melontarkan dirinya kembali ke medan pertempuran.
Di sana pemandangan berubah Wei dan Dao sudah terpojok kedua tubuhnya terluka, napas mereka terdengar pendek, tetua Qing tertawa terbahak, pedangnya diangkat tinggi.
Qing Shan juga bersiap menimpal, mata tetua Qing sinis. “Kau kira bisa melawanku, bocah kecil?”
Saat kedua pedang itu mencoba menyentuh leher Wei dan Dao.
Mei mendarat di antara mereka seperti bayangan, dalam sekejap aura Jenderal Perang memancar, tekanan yang membuat tanah retak kecil. Kedua lawan itu tersentak mata mereka membulat.
“Berani kau kembali?” geram Qing Shan, namun suaranya tenggelam saat pukulan Mei meluncur.
Mei melepaskan serangan bertubi-tubi, pukulan dan lontaran energi membuat tetua Qing dan Qing Shan terhempas beberapa langkah, keduanya terbatuk, cairan merah mengalir di bibir mereka.
Tetua Qing menatap dengan marah dan ketakutan. “Kau … sudah naik ranah?!”
Mei menatap dingin. “Kau audah berani melukai kedua kakakku. Maka aku akan mengembalikan kepada kalian berdua.”
Bugh!
Bugh!
Mei melesat lagi, cepat seperti kilat, pukulan demi pukulan menghunjam tubuh kedua pria itu, membuat mereka terseret mundur.
Saat mereka terkapar sebentar, Mei berhenti, tatapannya kejam, tanpa belas kasih. Dengan gerakan satu tangan yang dingin, ia menghimpun benang energi halus dan menekan ke arah dantian kedua pria itu.
“Tidak! Jangan lakukan itu!”
Teriakan panjang meledak dari kerongkongan mereka ketika Mei memutuskan, bukan membunuh, melainkan menghancurkan dantian keduanya.
Qing Shan menjerit, suaranya pecah, tetua Qing meraung lebih lama, wajahnya berubah pucat, tubuh mereka gemetar.
Mereka kini terkapar lemah, napas berat, tidak dapat lagi membangkitkan energi seperti sedia kala.
Mei menatap mereka, tanpa ampun. “Selamat menjadi sampah,” suaranya dingin seperti es.
“Aku tidak membunuh kalian. Aku membiarkan kalian hidup untuk merasakan bagaimana rasanya tak berharga. Hidup kalian kini hanyalah beban.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Mei memutar tubuh dan segera menghampiri kedua kakaknya yang tersungkur tak jauh dari sana. Wei berlutut, menahan pedih di pundaknya yang terluka parah, sementara Dao terengah, darah menetes dari bibirnya.
“Kak Wei! Kak Dao!” seru Mei panik sambil berlutut di antara mereka.
Mei segera mengeluarkan dua pil penyembuhan dari cincin ruang penyimpanannya dan menyodorkannya pada keduanya. “Cepat, telan ini.”
Wei menatap adiknya dengan senyum lemah. “Kau selalu datang di saat tepat kami benar-benar menyusahkanmu kali ini.”
Mei menggeleng cepat, air matanya nyaris jatuh. “Jangan bicara begitu, Kak. Kalian melindungiku. Sekarang giliran Mei yang melindungi kalian.”
Mei membantu mereka menelan pil itu, lalu mengeluarkan air spiritual dari botol giok kecil dan menuangkannya perlahan ke mulut mereka berdua.
Energi lembut mulai mengalir di tubuh Wei dan Dao, wajah mereka yang pucat kini mulai mendapatkan warna. Luka mereka tak langsung hilang, tapi napas keduanya sudah stabil.
Dao menghela napas panjang. “Aku pikir kita akan mati di sini,” gumamnya.
Mei tersenyum tipis, namun nada suaranya tegas, “Tidak selama aku di sini. Tidak ada yang bisa menyentuh keluarga kita lagi.”
Wei mengangguk perlahan, menatap sang adik dengan bangga dan rasa haru yang sulit disembunyikan. “Kau sudah jauh lebih kuat dari yang bisa kami bayangkan, Mei’er.”
Mei hanya mengembuskan napas, menatap tanah tempat tetua Qing dan Qing Shan tergeletak. “Kaliaj juga harus semakin kuat. Ayo kita pergi dari sini,” katanya.
Dao bertanya, “Lalu bagaimana dengan mereka?”
Wei juga menatap ke arah dua sosok yang kini nyaris tak sadarkan diri.
Mei menoleh sekilas, matanya dingin.“Jika mereka beruntung, mungkin seseorang akan menemukannya. Jika tidak, maka monster hutan yang akan menjemput mereka.”
Kedua kakaknya saling berpandangan, lalu hanya mengangguk tanpa bicara lagi. Tidak ada lagi belas kasihan untuk orang-orang yang mencoba membunuh keluarga mereka.
Mei membantu Wei dan Dao berdiri. Ketiganya berjalan perlahan ke arah jalan setapak tempat kereta kuda mereka menunggu.
Saat mereka mendekat, Rong yang sejak tadi menunggu di dalam kereta segera turun. Wajahnya pucat, matanya basah oleh air mata yang tertahan. Saat melihat ketiga anaknya kembali dengan selamat, tubuhnya langsung gemetar dan air matanya jatuh begitu saja.
“Kalian … kalian tidak apa-apa?” suaranya parau dan penuh getaran.
Mei langsung memeluk ibunya erat, menenangkan wanita itu. “Kami baik-baik saja, Ibu. Semuanya sudah selesai.”
Rong menatap ke arah hutan, melihat samar-samar bayangan dua sosok yang tergeletak jauh di belakang. Tatapannya kosong. “Ibu tak pernah menyangka hanya karena harta, mereka tega mencoba membunuh kalian.”
Wei menggenggam bahu ibunya dengan lembut. “Mereka sudah memilih jalan mereka sendiri, Ibu. Mulai sekarang, biarlah masa lalu terkubur di sana.”
Rong mengangguk perlahan, menatap ketiga anaknya satu per satu. Ada kesedihan, tapi juga rasa bangga yang mengalir di matanya. “Kita pergi, ya.” suaranya lirih.
Mei mengangguk dan membantu ibunya naik kembali ke dalam kereta. Ia lalu memberi isyarat pada kusir untuk berangkat.
Roda kereta kuda kembali berputar, meninggalkan hutan yang masih menyimpan bekas pertarungan berdarah itu. Sedangkan tetua Qing dan yang lainnya kini terkapar tidak sadarkan diri.