Hutang pinjol 120 juta menjerat Juwita, padahal ia tak pernah meminjam. Demi selamat dari debt collector, ia nekat jadi pengasuh bayi. Tapi ternyata “bayi” itu hanyalah boneka, dan majikannya pria tampan penuh misteri.
Sebuah kisah absurd yang mengguncang antara tawa, tangis, dan cinta inilah perjalanan seorang gadis yang terpaksa berperan sebagai janda sebelum sempat menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MahaSilsi24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makam Princess Tanubrata
Juwita kembali ke kamar dan bersiap. Ia memilih dress hitam sederhana, panjangnya hampir menyentuh mata kaki. Warna hitam itu bukan karena ia ingin tampak elegan, melainkan satu-satunya yang ia tahu, orang yang pergi ke makam biasanya memakai pakaian gelap.
Di sisi lain, Zergan juga tengah bersiap. Namun berbeda dari pagi tadi saat ia bangun tidur tapi kini dengan sikap dingin dan terasa berat, kali ini ia begitu banyak diam. Seolah setiap gerakan tubuhnya terasa berat. Raut wajahnya muram, matanya kosong namun Juwita tahu, di balik itu semua, ada perasaan yang ia coba tahan sekuat tenaga.
“Tuan,” Juwita memberanikan diri bertanya pelan, “apa saya perlu bawa sesuatu?”
Zergan meliriknya sekilas, bibirnya bergerak lirih.
“Tidak perlu. Bawa diri saja.”
Suaranya dalam, pendek, dan berat. Tidak ada nada gurauan, tidak ada teguran ketus seperti biasanya. Hanya kepedihan yang samar-samar terdengar.
Mereka berangkat. Mobil melaju pelan menuju toko bunga. Di sana, Zergan berdiri mematung di antara deretan bunga. Matanya menatap satu persatu, tapi tangannya kaku, tak bergerak. Ia tidak tahu harus membeli yang mana. Selama ini, ia tidak pernah benar-benar menyiapkan sesuatu untuk anaknya bahkan makam pun belum pernah ia datangi.
Pelayan toko bunga menghampiri, tersenyum ramah.
“Mencari bunga apa, Tuan?”
Zergan menggertakkan rahang. Ia mencoba membuka mulut, tapi suaranya bergetar.
“Untuk… seorang putri kecil… yang cantik.”
Pelayan tertegun, namun segera mengangguk. Ia memilihkan rangkaian bunga putih dan merah muda, lembut dan manis, sesuai permintaan itu. Zergan menerimanya dengan kedua tangan bergetar.
Perjalanan kembali sunyi. Tidak ada percakapan di dalam mobil. Zergan menatap lurus ke depan, tangannya menggenggam erat bunga seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan hidupnya. Juwita ingin bicara, ingin menenangkan, tapi kata-kata seakan tak cukup. Ia hanya bisa duduk di sampingnya, menjadi pendamping yang diam-diam ikut menanggung rasa sakit itu.
Setibanya di makam, Juwita melihat hamparan tanah luas. Itu adalah lahan khusus yang memang dibeli keluarga besar Tanubrata. Namun, dari sekian banyak tanah kosong, hanya ada satu kuburan mungil yang lebih dulu berdiri di sana. Nisan putih kecil dengan ukiran nama:
Princess Tanubrata
Zergan berhenti. Napasnya tercekat. Langkahnya gemetar, hingga akhirnya tubuhnya tak sanggup menopang. Ia terjatuh di atas rerumputan hijau di depan makam putrinya.
“Sayangku… anakku… buah hatiku…” suara Zergan pecah, parau, hampir seperti jeritan yang teredam. Air matanya jatuh deras. “Papa datang, Sayang… Papa datang…”
Tangannya meraih nisan kecil itu, membelai permukaannya seolah sedang menyentuh wajah mungil Princess yang tak pernah sempat ia tatap.
Juwita berdiri di samping, kedua matanya berkaca-kaca. Pemandangan itu menusuk hatinya. Selama ini ia melihat Zergan sebagai pria keras, dingin, bahkan aneh karena terobsesi pada boneka. Tapi di sini di hadapan makam kecil ini ia melihat sisi paling rapuh dari seorang ayah yang hancur karena kehilangan.
Ia ikut berlutut, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Suara tangis Zergan menggetarkan jiwanya. Luka itu begitu dalam, luka yang hampir merenggut warasnya seorang pria.
Di depan nisan mungil itu, waktu seakan berhenti.
Tangis Zergan pecah tak terkendali. Ia menundukkan kepala, bahunya berguncang hebat. Setangkai bunga putih yang ia bawa jatuh ke tanah, kelopak-kelopaknya terkena embun pagi.
Juwita maju perlahan, lalu berjongkok di sampingnya. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya meletakkan tangannya di bahu Zergan.
“Sudah, Tuan… jangan terlalu menyiksa diri…” bisiknya pelan.
Tapi kata-kata itu justru membuat Zergan semakin terisak. Ia mendongak, menatap nisan kecil itu sambil terengah.
“Aku… gagal, Juwita. Aku bahkan bukan seorang ayah yang baik. Istriku… wanita yang seharusnya jadi tempatku bersandar, meninggalkanku demi pria lain. Lalu… putriku, satu-satunya cahaya hidupku… pergi begitu cepat. Bagaimana aku bisa bertahan?!”
Suara Zergan parau, penuh retakan. Ia menghantam dadanya dengan kepalan tangan, seolah menyalahkan dirinya sendiri.
Juwita terdiam. Ia bisa merasakan getar luka yang begitu dalam. Untuk pertama kalinya, pria dingin itu bicara jujur tanpa topeng.
“Aku mencoba… Juwita. Aku mencoba menganggap boneka itu sebagai penggantinya. Agar aku bisa merasa… dia masih ada di sisiku. Tapi nyatanya… aku hanya orang gila yang tak bisa menerima kenyataan!” Zergan menoleh, menatap Juwita dengan mata merah penuh air mata. “Kau pikir aku kuat? Tidak! Aku hancur, Juwita! Aku sudah lama hancur!”
Kata-kata itu menampar hati Juwita. Ia pun ikut menitikkan air mata, lalu memeluk Zergan tanpa peduli lagi status mereka.
“Tuan… Anda tidak sendiri. Saya tahu saya bukan siapa-siapa, tapi biarlah saya ada di sini. Menemani Tuan melewati semua ini,” ucap Juwita lirih sambil menahan tangis.
Zergan terdiam di dalam pelukan itu, tubuhnya masih bergetar. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan seseorang masuk ke dalam kepedihan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Di bawah langit pagi yang suram, dua hati yang sama-sama terluka menemukan sedikit kehangatan di depan makam kecil itu.
Tangis Zergan kian reda, meski sesekali masih terisak. Ia menyandarkan tubuhnya ke batu nisan, pandangannya kosong menatap nama kecil itu: Princess Tanubrata.
Juwita masih duduk di sampingnya, memeluk dirinya sendiri karena udara terasa dingin, tapi matanya tetap menatap Zergan dengan hati perih.
“Aku benci diriku sendiri, Juwita,” ucap Zergan lirih, suaranya hampir tak terdengar. “Aku benci karena aku tidak bisa menyelamatkannya. Aku benci karena aku masih hidup, sementara dia tidak.”
Juwita menunduk. Hatinya mencubit. Ia ingin menolak kata-kata itu, ingin meyakinkan bahwa Zergan tidak bersalah, tapi ia tahu kalimat sederhana tidak akan cukup. Maka ia hanya berani berkata pelan, “Kalau Princess bisa bicara, saya yakin dia tidak ingin Tuan berkata seperti itu. Dia pasti ingin Tuan tetap hidup… meski sakit, meski sendirian.”
Zergan menoleh perlahan. Tatapan matanya sayu, merah karena air mata. “Sendirian… ya. Itu yang selalu kutakutkan.”
Juwita menelan ludah, lalu memberanikan diri. “Tuan tidak harus sendiri. Ada saya. Boleh jadi saya bukan siapa-siapa, hanya pengasuh boneka yang Tuan pilih… tapi selama saya masih di sini, Tuan tidak sendirian.”
Sejenak hening. Hanya suara angin dan dedaunan makam yang bergoyang.
Zergan menatap Juwita lama sekali. Ada sesuatu yang bergeser dalam sorot matanya bukan sekadar dingin, bukan hanya luka, melainkan sebuah kelelahan yang akhirnya menemukan sedikit ruang untuk bersandar.
Ia mengangguk sekali, pelan, hampir tak terlihat. “Tetaplah di sisiku, Juwita… jangan tinggalkan aku, seperti mereka.”
Juwita terkejut. Itu pertama kalinya Zergan memintanya untuk tinggal, bukan sekadar menyuruh atau memerintah. Dadanya menghangat, matanya kembali berkaca-kaca.
“Saya janji, Tuan,” ucapnya lirih. “Saya tidak akan pergi.”
Zergan tidak menjawab lagi. Ia hanya menunduk, membiarkan setetes air matanya jatuh ke tanah di atas nisan kecil itu. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, ia tidak merasa benar-benar sendirian.