Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29. Acara Menuju Halal
Gerbang rumah hantu menjulang dengan cahaya remang dan suara jeritan palsu yang keluar dari speaker tersembunyi. Di depannya, tujuh orang berdiri saling melirik.
Wajah Kiara tampak santai, tangan menggandeng Raymeer yang justru kelihatan gugup. Aylara dan Audra sibuk selfie sambil pura-pura takut. Sementara Nayaka sudah loncat-loncat duluan.
"Masuk yuk! Ayo tanding, siapa pasangan yang paling kompak keluar dari sini tanpa teriak," seru Nayaka penuh semangat.
"Berani taruhan, Nay?" tantang Kiara dengan alis terangkat.
"Yakin banget lo nggak bakal nangis?" goda Raymeer.
Nayaka melirik Arslan. "Kalo Mas Arslan sih, pasti menang. Dia kan nggak punya perasaan," celetuknya sembari nyengir.
Arslan menatap datar. “Aku cuma nggak lebay.”
Mereka pun masuk satu per satu. Di dalam, cahaya makin gelap, hanya disinari lampu merah temaram. Suara rantai diseret dan jeritan mendadak bikin suasana makin mencekam.
Nayaka otomatis mendekat ke Arslan. "Mas... ini beneran serem sih beneran." ucapnya mulai cemas.
Arslan tak menjawab. Tapi saat dari arah samping muncul boneka pocong jatuh dari atas, tangannya spontan menarik Nayaka ke belakangnya, menggenggam pergelangan gadis itu dengan kuat.
Nayaka terdiam. Dada berdegup bukan karena takut, tapi karena kejutan sentuhan itu. Sementara dari belakang, Audra dan Odelia sempat saling melirik.
“Uwah... lihat deh. Si dingin bisa juga ya posesif gitu,” bisik Audra ke Aylara.
Mereka terus berjalan. Kali ini formasi tak lagi bebas. Nayaka nempel di samping Arslan, Kiara dan Raymeer di tengah, lalu Audra, Aylara, Odelia, dan Uwais menyusul di belakang.
Saat mendekati lorong berliku, mendadak seseorang dengan topeng berdarah melompat dari tirai.
“AAAAAAAAAAAAKKK!!!” Kiara menjerit sambil reflek mendorong Raymeer.
Yang bikin heboh, justru Uwais yang lari duluan. “GILA! Itu real banget!” teriaknya panik.
Raymeer langsung ketawa ngakak. “Cowok lo kabur duluan, Del!”
"Enak aja!" protes Uwais dari jauh. "Gue lari buat mastiin aman!"
Sementara itu, Nayaka malah diam membeku. Kakinya nyaris goyah, tapi sebelum sempat jatuh, Arslan sudah memeluk bahunya dan membisik.
“Tenang. Itu semua cuma efek. Pegangan sini, biar aku yang jalan duluan.”
Deg.
Tak cuma Nayaka yang terpaku. Aylara sampai berhenti melangkah, memperhatikan dari belakang.
"Serius itu romantis banget. Gimana bisa cowok sedingin dia punya sisi lembut gitu?" gumamnya.
Odelia mengangguk. “Nayaka kayak nemu cheat code buat ngebuka sisi rahasianya Arslan.”
Mereka keluar rumah hantu dengan napas ngos-ngosan, tapi juga tawa yang pecah-pecah. Di luar, Nayaka langsung duduk di bangku terdekat, tangannya masih gemetar.
“Mas... itu tadi asli sumpah serem banget,” katanya.
Arslan menyodorkan botol minum yang disiapkan di tasnya.
“Makanya, lain kali jangan sok berani,” ujarnya pelan, tapi tangannya tetap sibuk membenarkan rambut Nayaka yang menempel di wajahnya.
Suasana mendadak sunyi. Yang lain pura-pura sibuk lihat HP. Tapi dalam hati, ada persaingan yang tak bisa dipungkiri.
Hari itu, Nayaka mungkin menang taruhan bukan karena dia paling kompak atau paling berani, tapi karena satu-satunya yang berhasil bikin si dokter dingin membuka sisi hangatnya tanpa paksaan.
Bridal Shower – Sore Hari
Ruangan kaca di lantai atas hotel mewah dipenuhi bunga peony dan lilac. Kursi-kursi putih dihiasi pita satin ungu muda.
Meja panjang penuh makanan ringan macaron, cupcakes, salad buah, dan teh herbal dalam teko kaca.
Di tengah ruangan, Nayaka dan Aylara duduk berdampingan. Sama-sama mengenakan dress lembut warna pastel. Wajah mereka bersinar, meski sorot mata Aylara terlihat sedikit cemas.
"Aku baru sadar besok kita bukan cuma ganti status, tapi juga ganti dunia," gumam Aylara sambil menatap cermin kecil di hadapannya.
Nayaka mengangguk cepat. “Dan kita bakal serumah sama dua makhluk paling kaku sejagat,” celetuknya.
Odelia tertawa dari balik meja kado. “Kaku sih iya tapi dokter dan polisi aman secara jasmani dan rohani.”
Kiara berdiri sambil mengangkat satu kartu permainan. “Oke, sekarang giliran Nayaka jawab. Kalau Mas Arslan tiba-tiba nyamar jadi orang biasa dan kamu nggak tahu dia siapa apa yang bikin kamu jatuh cinta lagi?”
“Hmm...” Nayaka menyentuh dagunya. “Kalau dia jadi penjual es keliling pun, asal dia masih suka benerin anak rambutku dan bilang berantakan dengan nada juteknya aku tetap jatuh,” ucapnya, disambut sorakan teman-temannya.
Setelah sesi permainan, satu per satu teman dan keluarga memberikan hadiah. Aylara mendapat satu set piyama satin bordir namanya. Nayaka menerima jurnal cantik bertuliskan “Notes from His Wife.”
“Biar kamu bisa catat semua kalimat pertama Mas Arslan yang berhasil bikin kamu senyum. Minimal ada satu, kan?” ucap Audra setengah bercanda.
Bachelorette Party – Malam Hari
Pindah ke lounge rooftop hotel. Lampu gantung gantung kecil menyala redup. Musik chill R&B mengalun. Semua perempuan sudah ganti outfit lebih santai tapi tetap stylish.
Minuman soda berwarna pastel disusun membentuk “mocktail tower”. Sementara di salah satu sisi ruangan, disiapkan photobooth dengan properti lucu seperti bando "Bride to Be" dan kacamata love.
"Ayo-ayo, sesi curhat terakhir sebelum resmi jadi nyonya!" seru Kiara sambil menyeret Nayaka ke sofa besar.
“Aku takut besok aku malah pingsan di depan penghulu. Terlalu serius wajah Mas Arslan, bisa bikin aku lupa ijab kabul itu harus dijawab ‘sah’, bukan ‘siap, Mas!’” kelakar Nayaka.
Tawa meledak. Bahkan Aylara yang tadinya agak tegang akhirnya ikut rileks.
"Kalau aku sih udah ikhlas. Mau Audra tiba-tiba bongkar lemari baju atau ngacak isi dapur, asal dia pulang tiap malam dan bilang ‘capek, tapi kangen kamu’ aku nggak minta yang lain,” bisik Aylara.
Audra yang diam-diam mendengar dari luar ruangan cuma geleng-geleng. “Dasar cewek-cewek ini dikasih hati, minta ginjal,” katanya sambil senyum kecil, lalu balik lagi ke kamar cowok.
Sementara itu, di ruangan lain, Arslan dan Audra si calon pengantin pria juga sedang mempersiapkan diri dalam versinya sendiri. Lebih sepi, lebih dingin, tapi dalam hati mereka deg-degan sama seperti para perempuan itu.
Besok akad. Tapi malam ini, mereka rayakan perpisahan kecil dengan masa lajang. Bukan dengan kebebasan, tapi dengan harapan. Bahwa cinta mereka akan tetap hidup, bahkan saat status dan peran berganti.
Malam menjelang. Hujan gerimis menyapu jendela kamar yang remang. Di dalam, aroma lavender dari diffuser menyebar lembut, menenangkan hati siapa pun yang berada di dalamnya.
Nayaka dan Aylara duduk berdampingan di atas ranjang, masih memakai kimono tidur serupa warna salem muda.
Wajah mereka sudah dibersihkan dari makeup, tapi justru itulah yang membuat keduanya tampak paling murni seperti anak-anak kecil yang dulu sering tidur berdempetan.
Pintu kamar terbuka pelan. Bu Dina melangkah masuk tanpa suara. Di tangannya ada sapu tangan lama yang sudah basah di sudutnya.
“Aku cuma mau lihat kalian sebentar,” ucapnya lirih.
Aylara langsung bangkit, memeluk ibunya. “Mah... jangan nangis dong.”
Nayaka ikut berdiri, lalu menggenggam tangan ibunya yang gemetar.
“Susah, Nak... mama pikir, mama bakal kuat. Tapi ternyata nggak semudah itu ngelepas dua anak perempuan mama di hari yang sama,” ujar Bu Dina sambil menyeka pipi.
“Tapi kan kita nggak ke mana-mana, Mah. Kita masih bisa pulang, masih bisa peluk Mama kapan aja,” ucap Nayaka pelan.
Bu Dina mengangguk, matanya masih basah.
“Aylara dulu kamu yang paling cerewet soal laki-laki. Bilang nggak mau nikah sebelum umur tiga puluh. Tapi ternyata kamu jatuh cinta juga. Sama si polisi galak itu,” godanya sambil tersenyum getir.
Aylara tertawa kecil, tapi matanya ikut berkaca.
“Dan Nayaka...” lanjut Bu Dina sambil menatap si bungsu, “kamu dari kecil paling susah diatur. Tapi justru kamu yang duluan minta dinikahkan. Dengan pria paling kaku sejagat.”
Nayaka meringis. “Yah karena cuma dia yang bisa tahan sama aku, Mah.”
Mereka bertiga saling berpelukan dalam diam. Di antara isakan, ada doa-doa yang tak diucapkan dengan kata.
Hanya hati seorang ibu yang merapalnya diam-diam, meminta langit menjaga anak-anaknya bukan hanya di pelaminan, tapi juga dalam setiap detik kehidupan setelahnya.
“Besok kalian akan jadi istri. Tapi buat Mama... kalian tetap bayi kecil yang suka minta dikepangin rambut tiap pagi,” ujar Bu Dina sambil membelai kepala kedua putrinya.
Waktu berlalu pelan. Tak ada musik, tak ada pesta. Hanya satu kamar, tiga hati perempuan, dan malam terakhir sebelum status berubah selamanya.
Pagi sebelum akad suasana rumah sudah dipenuhi haru dan doa.
Aroma melati dan pandan memenuhi udara. Di halaman belakang, dekorasi putih dan hijau menyatu dengan taburan bunga segar.
Kursi-kursi tersusun rapi, dan air siraman disiapkan dalam kendi tanah liat yang diletakkan di atas bokor emas. Di sudut, seorang ibu-ibu pengajian membacakan salawat lirih.
Bu Dina mengusap matanya yang basah. Di depannya, Nayaka duduk bersimpuh dengan balutan kain batik, rambut disanggul rapi dan dihiasi bunga melati menjuntai ke bahu.
Sementara di sisi lain, Aylara juga duduk bersimpuh, wajahnya tertunduk khidmat, menahan gejolak hati yang campur aduk.
“Ya Allah... dua anak gadisku,” suara Bu Dina bergetar, “...besok udah resmi jadi istri orang. Rasanya baru kemarin kalian belajar jalan.”
Tangisnya pecah. Tamu-tamu perempuan yang hadir ikut mengusap air mata, merasakan haru yang sama.
Pak Ustaz mulai memimpin doa sebelum siraman.
“Semoga rumah tanggamu nanti dipenuhi keberkahan. Dijauhkan dari fitnah, didekatkan dengan rahmat...”
“Aamiin,” jawab hadirin bersamaan.
Siraman dimulai. Bu Dina memercikkan air ke kepala Nayaka, tangannya gemetar, tapi wajahnya penuh cinta.
“Semoga bersih lahir batinmu, Nak. Jadi istri yang sabar, jadi peneduh untuk Arslan...” ucapnya pelan.
Nayaka menahan tangis, tapi pipinya sudah basah. Bukan karena air siraman, tapi karena cinta yang mengalir dari mata ibunya.
Aylara juga digilir. Kali ini, tangis Bu Dina makin pecah.
“Lara dari kecil kamu yang paling tegar. Tapi ingat, dalam rumah tangga nanti kamu nggak harus selalu kuat sendirian. Kamu boleh bersandar...” ujarnya sambil menyiramkan air ke puncak kepala sang putri sulung.
Setelah semua selesai, kedua mempelai wanita digandeng masuk ke ruang tengah. Di sana, lantunan ayat-ayat suci kembali menggema.
Ruangan berubah jadi ruang pengajian. Ada sesi nasihat pernikahan, dan pembacaan doa khusus untuk kelancaran akad besok.
Wajah Nayaka dan Aylara sama-sama memerah. Campuran malu, deg-degan, dan rasa tak percaya: mereka akan menikah.