Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Fajar baru saja naik ketika kabut masih menggantung rendah di perbukitan perbatasan. Angin membawa dingin yang menggigit tulang, membuat nyala api unggun semalam hanya meninggalkan arang hitam berasap tipis.
Bai Xue Yi bangun lebih dulu. Rambutnya yang panjang terurai sedikit berantakan, wajahnya tampak pucat karena kurang tidur. Ia melangkah pelan ke luar ruangan, menatap jauh ke arah hutan utara. Di sanalah, menurut laporan Jian, jejak Serigala Hitam menghilang.
Ia menggenggam pedangnya erat. Serigala Hitam… kalau benar merekalah yang dikirim, maka yang membayar pasti punya ambisi besar. Dan orang itu tidak hanya ingin membunuh Wang Ji, tapi juga ingin mengguncang seluruh istana Siu.
Langkah kaki terdengar dari belakang. Wang Ji keluar, masih dengan perban melilit tubuhnya. Meski luka-lukanya jelas membuatnya sulit bergerak, sorot matanya tetap tajam, penuh tekad.
“Kau bangun terlalu pagi,” ucap Wang ji pelan.
Xue Yi menoleh sebentar. “Aku tidak bisa tidur. Bayangan pertempuran semalam masih jelas di kepala.”
Wang Ji berdiri di sampingnya, ikut menatap ke arah utara. “Aku sudah terbiasa. Tapi kali ini berbeda. Karena ada kau di sana, bertarung bersamaku. Setiap kali pedangmu berayun, aku tahu kematian menjauh dariku.”
Xue Yi menghela napas, lalu menatapnya dengan kesal. “Berhentilah berbicara seakan-akan aku perisai hidupmu. Kau tetap harus kuat berdiri sendiri. Kalau kau terus begini, bagaimana kau bisa memimpin kerajaan?”
Wang Ji tersenyum tipis. “Aku bisa memimpin kerajaan. Tapi tidak ada salahnya bila hatiku ingin bersandar padamu.”
Pipi Xue Yi merona, tapi ia cepat membuang wajahnya. “Dasar pandai bicara.”
----
Siang hari, Jian dan Luo kembali membawa kabar. Mereka menemukan sebuah rumah kosong di kaki bukit, tempat para pembunuh bayaran berkumpul sebelum menyerang.
“Kami menemukan dokumen setengah terbakar,” Jian melapor. “Tulisan di dalamnya samar, tapi ada cap emas keluarga dagang besar dari utara. Mereka punya hubungan lama dengan Menteri Liang.”
Wang Ji mengambil gulungan yang hangus itu, menatap dengan mata menyipit. “Keluarga dagang Qin… aku sudah curiga. Mereka bukan hanya pedagang. Mereka juga pencuci uang bagi faksi-faksi kotor yang ingin menjatuhkan istana.”
Xue Yi duduk bersila di lantai, meraih dokumen itu dari tangan Wang Ji. “Kalau benar mereka, maka tidak mungkin bergerak tanpa restu pejabat tinggi. Ada nama besar di belakang mereka. Dan aku tidak akan heran bila dalangnya berada sangat dekat dengan singgasana.”
Ruangan hening. Jian dan Luo saling pandang, lalu menunduk dalam-dalam.
“Apa rencanamu, Tuanku?” tanya Luo hati-hati.
Wang Ji menutup mata sejenak, lalu membuka dengan tatapan tegas. “Kita akan biarkan mereka merasa berhasil. Mereka pikir aku terluka parah, nyawaku tinggal seutas benang. Itu kabar yang akan mereka dengar. Sementara itu, kita akan bergerak diam-diam mencari bukti lebih banyak. Aku ingin tahu siapa sebenarnya yang memberi perintah.”
Xue Yi mengangkat alis. “Jadi kau ingin bermain dengan topeng lagi?”
Wang Ji menoleh, tersenyum miring. “Kali ini bukan topeng kebodohan. Kali ini topeng kelicikan. Biar mereka percaya aku rapuh, padahal aku yang menyiapkan jerat untuk mereka.”
Xue Yi terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Itu baru terdengar seperti seorang pangeran mahkota. Baiklah, aku akan mendukung permainanmu.”
---
Malam berikutnya, Xue Yi dan Wang Ji duduk berdua di halaman kecil kediaman rahasia. Bulan purnama menggantung besar di langit, cahayanya memantulkan kilau perak pada rambut Xue Yi.
“Apa kau takut?” tanya Wang Ji tiba-tiba.
“Takut pada apa?” tanya Xue Yi
“Takut kalau kita tidak bisa menemukan dalangnya. Takut kalau pada akhirnya aku mati, dan kau harus melanjutkan semuanya sendirian.” jawab Wang Ji
Xue Yi menoleh, menatap dalam mata Wang Ji. “Aku sudah pernah hampir kehilanganmu sekali. Itu sudah cukup untuk membuatku tahu bahwa aku tidak ingin mengulanginya. Jadi apa pun yang terjadi, aku akan bertarung sampai akhir. Kalau kau mati, aku pun tidak akan tinggal diam. Dunia ini akan kubakar.”
Mata Wang Ji bergetar mendengar itu. Ia meraih tangan Xue Yi, menggenggam erat. “Kau benar-benar gila, tapi aku mencintaimu.”
Xue Yi tersenyum kecil, untuk pertama kalinya malam itu. “Dan kau, meski pandai menyembunyikan otakmu, tetap lelaki paling keras kepala yang pernah kutemui. Itulah kenapa… aku juga tidak bisa berhenti mencintaimu.”
Hening. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Mereka saling menatap lama, sampai akhirnya Wang Ji menarik Xue Yi ke dalam pelukannya. Pelukan itu erat, hangat, seolah menyingkirkan semua ketakutan di dunia.
...----------------...
Keesokan harinya mereka sudah melakukan perjalanan
Fajar masih menyisakan embun di rerumputan ketika kelompok kecil itu mulai bergerak. Jian dan Luo berjalan di depan, menyingkirkan setiap bahaya yang mungkin menghadang di jalan berbatu menuju perbatasan. Di sisi kiri, Su Mei dan Yi Chun menempel ketat pada Putri Bai Xue Yi, sementara Lan Er membawa kantong kain berisi catatan-catatan serta barang bukti yang kemarin malam mereka rebut dari tubuh pembunuh.
Wang Ji, meski masih terluka, menolak untuk naik tandu. “Jika aku masih bisa berjalan, maka aku akan berjalan,” katanya tegas, membuat Xue Yi menghela napas setengah kesal, setengah kagum.
“Keberanianmu hanya akan membuat luka itu semakin parah,” ucap Xue Yi dingin, tapi tatapannya berkedip lembut. “Kalau kau mati di tengah jalan, jangan harap aku akan mengangkat mu.”
Wang Ji hanya tersenyum samar. “Kalau aku mati, aku ingin mataku tertutup dengan wajahmu sebagai yang terakhir kulihat.”
Lan Er yang berjalan di belakang langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaga, Tuan, Nona… bisakah kalian menahan sedikit kata-kata manis itu? Kami ini masih hidup, tahu!”
Yi Chun menahan tawa, sementara Su Mei mendengus. “mereka pikir seorang putri dan putra mahkota boleh bebas bicara soal hati? Itu terlalu berbahaya.”
Namun Xue Yi hanya mengibaskan tangannya, seakan tak peduli, dan langkah mereka pun berlanjut.
---
Saat siang tiba, Jian berhenti di persimpangan jalan. Ia berlutut dan menunjuk sesuatu di tanah, bercak darah yang tampak lebih baru daripada darah dari pertempuran semalam.
“Bekas ini segar,” ujar Jian. “Ada seseorang yang berhasil melarikan diri. Luka di pergelangan tangannya tidak ringan, mungkin dialah kurir atau pemimpin kecil kelompok itu.”
Luo mengangguk. “Kalau benar, dia pasti membawa sesuatu yang penting.”
Yi Chun mencondongkan tubuh, meneliti tanah. “Arah utara… bekas tapak kuda. Satu orang saja, menunggang cepat.”
Su Mei menyipitkan mata. “Kita harus mengejarnya. Kalau lolos, semua jejak akan hilang.”
Xue Yi menoleh pada Wang Ji. “Bagaimana menurutmu?”
Wang Ji terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kita tidak bisa menunda. Jika dia benar kurir, maka ia akan langsung menuju majikannya. Itu berarti jejak akan membawa kita ke dalang sebenarnya.”
Lan Er menggenggam erat kantong kain di pelukannya. “Kalau begitu, kita harus segera bergerak sebelum jejaknya dingin.”
Bersambung