Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. PINDAH KE BATAVIA
Sekar pulang ke rumah saat matahari terbenam, ia berkeliaran di pedesaan hanya untuk melihat lebih jelas lagi bagaimana suasana di desa. Apa-apa saja yang berharga di zaman ini, setiap kali warga desa bertemu dengan Sekar mereka langsung menghindar. Ada pula yang berbisik-bisik lirih, melirik Sekar dengan tatapan tak senang. Menjadi seorang nyai merupakan penghinaan, apalagi ayah Sekar merupakan rentenir kejam.
Dulunya mereka takut pada Sekar hanya karena siapa ayah Sekar, diperparah oleh keadaan dirinya saat ini menjadi gundik seorang jendral. Mereka menghindari Sekar seperti menghindari wabah penyakit, Ratna yang mengikuti Sekar dari belakang tidak banyak omong. Ia tahu Sekar dalam suasana hati yang buruk setelah berdebat dengan Joyo, Sekar mendesah berat saat melihat rumah diterangi oleh lampu petromaks jauh lebih terang dibandingkan dengan rumah lainya.
"Kenapa baru pulang sekarang, hm?"
Deep voice mengalun di saat Sekar baru saja menginjak ruang tamu, Sekar terkesiap dan menghentikan langkah kakinya. Ia melirik ke arah kursi kayu jati dengan ukiran rumit itu, di mana tampak Johan mengusap senapan di tangannya tanpa melihat ke arah Sekar.
"Aku merindukan orang tuaku, dan berbincang tanpa kenal waktu. Maafkan aku, Jendral," sahut Sekar setenang mungkin.
Ia sudah meminta izin pada Johan untuk mendatangi kedua orang tuanya, Johan awalnya hanya melirik intens wajah Sekar cukup lama. Hingga ia memberikan izin pada Sekar, siapa sangka gundiknya ini pulang sudah mau malam. Sempat terbesit rasa cemas di hati Johan, prasangka buruk bergelayut di otaknya dan hatinya. Bisa saja Sekar yang masih tidak bisa melupakan Aji mengajak pria itu kabur, meskipun terlihat tenang di permukaan. Nyatanya Johan sangat resah, Johan menurunkan senapan di pangkuannya membawa atensinya ke arah Sekar. Manik matanya menyapu kembali penampilan Sekar, kalung emas yang ia berikan tadi pagi masih melingkar di leher jenjang sang gundik.
"Siapkan makan malam," titah Johan membawa atensinya ke arah Ratna, gadis remaja itu terburu-buru menuju dapur.
Sekar masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak seinci pun, menunggu komando dari Johan.
"Duduklah," titah Johan.
Sekar mengayunkan langkah kakinya menuju kursi, duduk di kursi sebelah Johan. Jari jemari tangannya saling bertautan, ia sedikit tertekan dengan kehadiran Johan. Selama ia berada di rumah ini tanpa Johan, rasanya tidak semenakutkan ini. Sejak Johan kembali, ia merasa seperti sedang diawasi. Sekali melakukan kesalahan maka ia akan mati mengenaskan di tangan Johan, ia meneguk kasar air liur di kerongkongan.
"Besok siang kita akan ke Batavia, bersiap-siaplah meninggalkan desa." Johan memberi tahu kepindahan mereka yang dinilai mendadak.
"Hah? Kita ke Ibu Kota? Kenapa harus ke Ibu Kota? Apakah kita akan tinggal selamanya di sana?" Sekar memborbardir Johan dengan banyaknya pertanyaan tanpa ia sadari.
Senapan di tangannya di letakkan di atas meja, jari jemari kaki Sekar menekuk di lantai. Ia menunduk tak berani menoleh ke samping, Johan mengulurkan tangannya menyentuh sebelah sisi wajah Sekar. Jari jemari panjang Johan turun ke dagu, ia mengapit dagu dan membawa pandangan Sekar langsung tertuju pada Johan. Tubuh Sekar kaku seketika, ia menahan napas tanpa ia sadari.
"Rumah resmiku ada di sana, kami akan memulai segalanya di sana. Kamu dan aku harus tinggal di Batavia, kampung ini pun tak jauh dari Batavia. Jika kamu merindukan kedua orang tuamu, kamu bisa menyurati mereka," tutur Johan serak, "atau mungkin kamu enggan meninggalkan desa ini hanya karena kekasih masa lalumu masih di sini, benarkah begitu?"
Bibir Sekar berkedut, ia meneguk kasar air liur di kerongkongan. Menggeleng cepat, Sekar sama sekali tidak menginginkan Aji—mantan kekasih tak setia itu. Hanya saja jika ia ke Batavia maka ia akan bertemu dengan para tokoh penting di dalam novel, terutama tokoh Kartika dan Samudra. Meskipun Sekar tahu betul ia tak akan melakukan kebodohan yang ditulis di buku novel, tetap saja ia merasa sedikit ketakutan jika alurnya menyeret Sekar kembali pada ke arah kematian.
"Bu—bukan, aku sama sekali tidak pernah mencintainya. Menyebutkan namanya saja aku tak sudi," balas Sekar tergagap membawa tatapan matanya lurus ke arah manik mata Johan.
Sekilas seringai Johan terlihat, ia senang mendengar jawaban Sekar. Perlahan-lahan ia lepaskan jepitannya pada dagu Sekar, ia melirik ke depan.
"Bagus, aku senang dengan jawabanmu. Namun, jangan sampai aku kecewa padamu ke depannya Nyai," tutur Johan sebelum berdiri dari posisi duduknya.
Sekar menganggukkan kepala seperti ayam yang mematuk makanan, ujung jari jemari lentiknya terasa sangat dingin. Seakan baru saja lepas dari kematian.
...***...
Matahari condong ke barat, menumpahkan cahaya keemasan di atas bangunan bergaya Eropa yang berjajar di pusat kota Batavia. Jalan-jalan utama masih dipenuhi lalu-lalang kereta kuda, delman, dan beberapa mobil milik kaum elite yang berderu pelan melewati jalur berbatu. Dari arah pelabuhan Sunda Kelapa, aroma asin laut bercampur dengan bau ikan dan rempah yang dibongkar para kuli angkut.
Di pasar Senen dan Tanah Abang, hiruk pikuk belum sepenuhnya reda. Pedagang pribumi menata sisa dagangan, sementara perempuan-perempuan dengan bakul di kepala berjalan pulang membawa sisa hasil jualan. Suara tawar-menawar bercampur dengan teriakan anak-anak kecil yang berlarian di gang sempit. Di kawasan Weltevreden, suasana berbeda para meneer Belanda duduk di beranda rumah besar mereka, menyeruput kopi atau bir sambil membaca koran sore. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, dan dari kejauhan terdengar dentang lonceng gereja tua yang menandai waktu senja.
Langit berwarna jingga, perlahan berubah menjadi ungu keabu-abuan. Batavia seakan terbagi dua, satu sisi sibuk dengan hiruk pikuk rakyat jelata yang pulang membawa lelah, sisi lain tenang dan megah dengan gedung-gedung kolonial yang bersinar diterpa cahaya senja.
"Woah tampak sangat ramai," gumam Sekar di saat kaca mobil diturunkan.
Sungguh sangat beruntung menjadi gundik dari seorang jendral, di era kolonial siapa yang bisa mengendarai mobil jadul ini. Bahkan para bangsawan berdarah biru saja tak semampu jendral satu ini, perjalanan memakan waktu empat jam terbayar lunas dengan suasana kota. Meskipun tak seramai abad ke-21, setidaknya di sini adalah perputaran uang paling besar.
Johan melirik ekspresi takjub Sekar dari ekor matanya, tersenyum tipis. Sekar merasa termotivasi, ia akan mengeluarkan kemampuannya untuk meraup pundi-pundi uang di zaman ini. Di desa tak ada satu pun yang bisa ia kerjakan, apalagi di sana terbilang tidak seramai ini. Mobil Chevrolet memasuki perumahan di mana para petinggi Belanda menetap, dan beberapa kalangan elit pribumi berada.
Bangunan bergaya Eropa klasik langsung memanjakan mata, mobil berhenti di depan rumah bernomor tiga belas. Pintu mobil terbuka, Sekar turun dari mobil menepuk-nepuk body belakangnya terasa nyeri. Menggeliat merenggangkan persendian tubuhnya, ia menatap sekitar perumahan. Semua bangunan tampak sama, dahi Sekar berkerut di saat ia mendapati sosok pria bertubuh tegap terlihat mengintai dari balik pohon beringin di ujung jalan.
'Siapa dia?' Sekar bertanya-tanya, tepukan di pindah mengalihkan perhatian Sekar dari arah pohon beringin ke arah belakang.
Bersambung...