NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:562
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15: Imam Pertama

“Kamar di rumah ini Cuma satu.”

Tiny membeku sepersekian detik. “Satu…?”

Xion mengangguk, menatap lurus ke arah dinding.

Tiny mendadak salah posisi duduk. Ia membenarkan rambutnya yang padahal tidak berantakan. “Terus… sekarang?”

“Sekarang?” Xion mengangkat alis, lalu menghela napas. “Ya… kita harus kompromi. Kalau kamu mau, aku bisa tidur di sofa dulu.”

Tiny langsung menggeleng cepat. “Lho… kok gitu? Ini rumah kamu. Harusnya aku yang ngalah.”

Xion menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, “Kamu perempuan, Tiny.

Tiny membuka mulut, siap membalas, tapi akhirnya hanya mengatupkannya lagi. Kata-kata itu... terlalu gentleman.

Tiny menatap Xion beberapa detik, lalu akhirnya bangkit dari sofa. Ia berdiri tegak, tangan mengepal kecil di samping badan.

“Mana kamarnya?” tanyanya, suara pelan tapi jelas.

Xion menunjuk ke arah lorong kecil di samping dapur. “Pintunya yang paling ujung, sebelah kanan.”

Tiny mengangguk sekali. “Boleh aku lihat dulu?”

Xion menatapnya sebentar. Lalu mengangguk. “Boleh. Silakan.”

Tanpa banyak bicara lagi, Tiny mulai melangkah. Langkahnya pelan. Tapi bukan karena takut. Lebih ke… mencoba memahami kenyataan baru yang sedang ia jalani.

Xion tidak bergerak dari tempatnya. Ia hanya menatap punggung mungil di depannya. Rambut Tiny bergerak sedikit saat ia berjalan. Kaos lengan panjangnya jatuh pas di pergelangan. Kaki mungilnya melangkah hati-hati, seperti takut menodai rumah itu.

Begitu Tiny membuka pintu kamar, aroma khas sabun laundry langsung menyambut.

Ruangannya tidak besar, tapi bersih. Rapi.

Satu ranjang single yang cukup lebar dengan sprei abu-abu. Lemari pakaian dua pintu berdiri di pojok. Meja belajar penuh buku, sebagian masih terbuka. Ada laptop di atasnya, dalam mode sleep.

Di lantai, terhampar kasur lipat dengan bantal kecil dan selimut yang terlihat baru dikeluarkan dari plastik.

Tiny melangkah masuk. Tangannya menyentuh permukaan meja belajar. Lalu beralih ke sisi lemari. Ia membuka sedikit salah satu pintu—isinya rapi. Beberapa kemeja tergantung. Semuanya polos. Tak satu pun bercorak.

Ia tersenyum kecil. “Rapi banget. Mirip orangnya,” gumamnya.

Lalu ia menoleh ke kasur lipat di lantai. Menatapnya cukup lama, lalu duduk pelan di atas ranjang.

Xion masih berdiri di ruang tamu. Ia tidak ingin ikut masuk tanpa diundang. Tapi ia bisa membayangkan ekspresi Tiny di dalam sana—mungkin sedang bingung, mungkin juga diam-diam mulai menyusun strategi untuk mengubah kamar itu agar sedikit lebih… hidup.

Tiny membuka pintu kamar pelan, lalu melangkah keluar dengan ekspresi yang... nyaris meledak. Bibirnya sedikit terbuka, alisnya naik, matanya menyipit—pertanda mulutnya siap menembakkan komentar cerewet seperti biasanya.

Xion yang masih duduk di sofa langsung menoleh.

Dan... tidak ada komentar itu.

Tiny hanya berdiri di depan pintu. Matanya menatap Xion, lalu bergeser ke arah langit-langit, lalu kembali lagi ke Xion.

Hening.

Xion mengangkat alis, menunggu. “Gak ada komentar?” tanyanya akhirnya.

Tiny menghela napas, lalu duduk di sisi sofa yang satunya. “Komentar ada. Banyak.”

Ia menoleh cepat, ekspresinya polos tapi menyimpan banyak pendapat. “Tapi… tahan dulu deh.”

Xion tersenyum kecil. “Kok ditahan?”

Tiny melipat tangan di dada. “Soalnya... aku juga baru masuk ke kehidupan kamu. Masa baru lima menit di kamar langsung minta diganti semuanya?”

Xion mengangguk pelan. Ia paham maksudnya. Tapi diam-diam, ekspresi Tiny itu mengingatkannya pada dua orang lain yang pernah masuk ke kamar itu.

Layla dan Diva.

Waktu itu mereka datang untuk mengantar beberapa barang titipan orang tua. Dan saat melihat kamar Xion?

Layla langsung komentar, “Ini kamar atau lab penelitian? Kelabu semua.”

Diva menyusul, “Bang, kasih lah satu aja bantal yang warna pink. Biar manusia dikit.”

Keduanya tertawa keras waktu itu. Sementara Xion Cuma diam—karena memang tidak tahu harus membela diri dengan argumen apa.

Kini, Tiny duduk di tempat yang sama. Tidak berkomentar. Tidak tertawa.

Tapi dari wajahnya, Xion tahu—ia menyimpan daftar panjang rencana perubahan interior.

°°°°

Maghrib pun tiba.

Langit Jakarta mulai berubah jingga keunguan, dan suara azan dari masjid kecil di ujung gang terdengar jelas masuk ke dalam rumah.

Tiny dan Xion saling melirik sebentar. Tak ada yang langsung bergerak.

Xion akhirnya bangkit duluan. “Aku ambil wudhu dulu, ya.”

Tiny mengangguk pelan. “Aku juga.”

Suasana terasa... kikuk.

Bukan karena canggung dengan ibadah—tapi karena ini pertama kalinya mereka akan shalat di rumah yang sama. Bersama.

Dalam status yang masih terasa seperti baju baru: belum lekat, tapi sudah melekat.

Xion selesai wudhu lebih dulu. Ia mengambil sajadah dan menggelarnya di ruang tamu, seperti biasanya. Biasanya memang begitu. Rumah ini kecil, tidak ada mushola, dan ruang tamu yang paling leluasa.

Namun kali ini, setelah sajadah digelar... ada jeda.

Xion menoleh pelan ke arah dapur, lalu ke arah kamar. “Tiny?”

Tiny muncul tak lama kemudian, dengan wajah yang masih basah wudhu. Rambutnya sedikit berantakan karena tergesek kerudung instan warna biru pucat yang ia pakai.

Langkahnya pelan. Ragu.

“Jadi… kita shalat bareng?” tanyanya pelan.

Xion mengangguk sekali. “Kalau kamu nggak keberatan.”

Tiny mengangguk juga. “Aku ikut di belakang, ya?”

“Ya. Imamnya… aku.”

Ada nada geli di ujung suaranya, seolah baru sadar betapa besar peran barunya ini.

Setelah shalat selesai, Xion masih dalam posisi duduk, membaca doa dalam hati. Suasana ruang tamu yang sempit itu terasa hangat dan tenang. Lampu temaram, suara azan yang kini hanya tersisa gema jauh, dan dua insan yang duduk bersebelahan di atas sajadah.

Tanpa banyak suara, Tiny tiba-tiba menoleh ke Xion. Matanya lurus, wajahnya serius.

Lalu... ia mengulurkan tangan. Perlahan. Tak ada basa-basi.

Xion menoleh, dan terdiam. Matanya menatap tangan mungil itu. Keningnya sedikit berkerut.

“Eh…”

Tangannya tidak langsung bergerak. “Kenapa?”

Tiny tetap menatapnya. Tak banyak penjelasan. Tapi suaranya pelan, jujur, dan tulus. “Soalnya... Mama aku biasanya kalau habis shalat, suka salaman sama Papa.”

Xion makin diam. Tangannya yang semula ragu, akhirnya terangkat juga. Ia menyambut tangan itu—pelan-pelan, bahkan nyaris takut menekan.

Tiny menunduk sedikit, lalu mencium punggung tangan Xion dengan takzim. Bukan karena dipaksa tradisi, tapi karena... Ya memang itu yang biasa ia lihat di rumah.

Gerakan itu singkat. Tapi cukup membuat Xion tercekat.

Tak ada yang manis berlebihan. Tidak romantis. Tapi justru karena itu, rasanya menyentuh.

Setelah Tiny melepaskan tangannya, ia langsung membetulkan kerudungnya yang agak miring. Wajahnya tidak malu-malu, hanya… tenang. Seperti orang yang memang melakukan hal biasa.

“Maaf ya, aneh ya?” katanya akhirnya.

Xion menggeleng pelan. “Nggak aneh. Justru... bagus.”

Tiny tersenyum kecil. “Soalnya aku orangnya... ya, gitu deh. Lurus aja. Nggak mikir banyak.”

Xion mengangguk pelan. Matanya menatap perempuan di sebelahnya—perempuan yang kini sudah jadi istrinya. Yang polos, jujur, dan kadang terlalu spontan.

Tapi justru karena itu... membuat ia bingung harus bereaksi seperti apa.

°°°°

Pukul 10 malam.

Rumah mungil itu sudah hening. Lampu ruang tamu sudah dimatikan. Hanya cahaya redup dari kamar yang tersisa.

Tiny duduk bersandar di kepala ranjang, rambutnya sudah dikuncir dua asal, kaosnya longgar, dan wajahnya polos tanpa make up. Di sisinya, tempat tidur hanya berisi bantal, tanpa tubuh Xion di sana.

Sementara itu, Xion…

Tidur di bawah.

Kasur lipat sudah digelar. Selimut tipis, bantal kecil. Semua ia siapkan sendiri sejak sore. Tiny sempat protes, sempat berkata, “Tidur bareng aja.”

Tapi Xion menolak halus. “Nggak apa-apa. Aku biasa tidur di bawah juga kok.”

Padahal alasannya bukan itu. Xion sedang menahan sesuatu—dan bukan hanya tentang rasa atau canggung. Tapi hasrat.

Dia lelaki. Tiny perempuan.

Mereka suami istri, secara hukum dan agama. Tapi hubungan itu belum sepenuhnya tumbuh. Masih penuh tanda tanya. Masih transisi. Masih... belum siap. Dan seandainya nanti, mereka bercerai. Dalam waktu dekat.

Tiga bulan. Dua bulan.

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!