Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Musuh dalam Selimut
Fajar menyingsing dengan wajah muram di Desa Qinghe. Kabar tentang percobaan peracunan di gudang pangan telah menyebar bagai api di musim kemarau, meninggalkan jejak kecurigaan dan ketakutan. Meski Ibu Leng telah dihukum dan Madam Zhao mendapat peringatan, rasa tidak aman masih menggantung tebal di udara.
Zhao Liyun duduk di bangku kayu depan gubuknya, menatap matahari terbit yang menyembul dari balik bukit. Tangannya masih sedikit gemetar mengingat betapa dekatnya bencana itu. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa musuh-musuhnya tidak lagi hanya menyebarkan gosip—mereka sekarang berani mengambil tindakan berbahaya.
"Kau harus lebih berhati-hati," nasihat Wu Shengli pagi itu ketika mengantarkan air bersih. "Mereka tidak akan berhenti sampai... sampai sesuatu yang buruk terjadi."
Liyun mengangguk pelan. Dia tahu Shengli benar. Tapi bagaimana caranya berhati-hati terhadap sesuatu yang tidak terlihat? Musuh dalam selimut selalu lebih berbahaya daripada yang terang-terangan.
Pagi itu, di dapur kolektif, suasana tegang menyambutnya. Beberapa wanita yang biasanya ramah sekarang menghindari kontak mata. Yang lain berbisik-bisik saat dia lewat. Seorang ibu muda bahkan dengan cepat menarik anaknya mendekat ketika Liyun mendekat, seolah-olah dia membawa wabah.
"Jangan pedulikan mereka," desis seorang wanita paruh baya—Ibu Wen, yang selama ini diam-diam mendukung Liyun. "Mereka hanya takut."
"Takut pada apa?" tanya Liyun, berusaha tidak terdapat terluka.
Ibu Wen menurunkan suaranya. "Takut pada perubahan yang kau bawa. Takut pada kenyataan bahwa seorang gadis muda bisa lebih pintar dari mereka yang sudah puluhan tahun hidup di sini."
Tapi ketakutan itu, Liyun sadari, bisa menjadi senjata berbahaya di tangan yang salah.
Siang itu, ketika dia sedang memeriksa persediaan di gudang, Kepala Desa mendatanginya dengan wajah serius. "Ada laporan ke kantor desa," ujarnya tanpa basa-basi. "Mereka mengatakan kau menyembunyikan persediaan pangan untuk dirimu sendiri."
Liyun terkesiap. "Itu tidak benar! Semua catatan bisa diperiksa—"
"Aku tahu," potong Kepala Desa. "Tapi laporan ini tidak datang dari warga desa. Ini dari pejabat kota."
Dingin menyebar di sekujur tubuh Liyun. "Pejabat kota?"
"Seorang petugas dari Dinas Pangan akan datang besok untuk memeriksa." Kepala Desa menghela napas. "Liyun, aku percaya padamu. Tapi jika mereka menemukan sesuatu—atau jika seseorang menanam sesuatu—"
Dia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya. Liyun mengerti. Ini adalah jebakan yang jauh lebih berbahaya daripada racun tikus. Jika pejabat kota menemukan "pelanggaran", konsekuensinya bisa jauh lebih serius—bukan hanya pengucilan, tapi mungkin hukuman yang lebih berat.
Sepanjang sisa hari, Liyun bekerja dengan perasaan waspada. Setiap sudut gelap, setiap bisikan, setiap tatapan—semuanya terasa seperti ancaman. Dia memeriksa setiap karung, setiap stoples, setiap catatan dengan cermat, memastikan semuanya sempurna.
Tapi musuh dalam selimut, dia sadari, tidak akan membuat kesalahan yang mudah ditemukan.
Malam itu, Shengli datang dengan wajah muram. "Aku sudah bertanya pada beberapa teman," katanya. "Madam Zhao memang pergi ke kota tiga hari lalu. Dia mengunjungi sepupunya yang bekerja di dinas pemerintahan."
Hubungannya mulai jelas. Tapi tanpa bukti, mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
"Kita harus menemukan cara untuk membongkar rencana mereka sebelum petugas datang besok," kata Liyun, mengepalkan tangannya.
Tapi bagaimana? Waktu hampir habis, dan mereka tidak tahu apa yang direncanakan musuh-musuhnya.
Saat malam semakin larut, dan Liyun hampir putus asa, seorang tamu tak terduga datang—Lin Xiaomei.
"Aku... aku tidak seharusnya di sini," katanya dengan suara bergetar, wajahnya pucat di bawah cahaya bulan. "Tapi aku mendengar sesuatu."
Liyun mempersilakannya masuk, heran. Hubungan mereka tidak pernah dekat, apalagi setelah Xiaomei menunjukkan kecemburuannya.
"Chen Weiguo tidak tahu aku datang," lanjut Xiaomei, duduk dengan gelisah. "Tapi... apa yang terjadi tidak benar."
Dia menjelaskan bahwa dia secara tidak sengaja mendengar percakapan antara Madam Zhao dan beberapa wanita lainnya—mereka berencana menanam sekarung beras berlebih di gubuk Liyun, lalu melaporkannya sebagai persediaan yang disembunyikan.
"Kenapa kau memberitahuku ini?" tanya Liyun, bingung.
Xiaomei menunduk. "Karena... karena aku ingat bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil." Suaranya bergetar. "Dan karena Weiguo... dia tidak akan pernah memandangiku dengan cara yang sama lagi jika aku membiarkan ini terjadi."
Pengakuan itu mengejutkan Liyun. Ternyata, bahkan dalam permusuhan, masih ada ruang untuk hati nurani.
Setelah Xiaomei pergi, Liyun dan Shengli segera membuat rencana. Mereka tidak bisa memindahkan karung beras itu—itu justru akan membuat mereka terlihat bersalah. Sebaliknya, mereka harus memastikan ada saksi ketika petugas datang besok.
Mereka mengunjungi beberapa warga desa yang mereka percayai—Ibu Wen, beberapa pemuda yang pernah dibantu Shengli, bahkan tetua desa yang dihormati. Semua setuju untuk hadir besok sebagai pengamat independen.
Saat fajar menyingsing, Liyun berdiri di depan gubuknya, mengambil napas dalam. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini, tapi untuk pertama kalinya sejak kabar tentang inspeksi datang, dia merasa tidak sendirian.
Musuh dalam selimut mungkin tak terlihat, tapi hari ini, dia akan membawa mereka ke dalam cahaya. Dan mungkin, hanya mungkin, inilah saatnya untuk mengakhiri permainan berbahaya ini sekali untuk selamanya.