Menjadi anak haram bukanlah kemauan Melia, jika dia bisa memilih takdir, mungkin akan lebih memilih hidup dalam keluarga yang utuh tanpa masalah.
Melia Zain, karena kebaikan hatinya menolong seseorang di satu malam membuat dirinya kehilangan kesucian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Hanya seorang pelayan, berani sekali merendahkanku, suatu hari nanti aku pasti akan membalas semua perlakuan kalian padaku satu-persatu. Sama sekali tak akan kubiarkan orang-orang yang menindas ibuku tertawa bahagia, mereka harus mendapatkan balasan yang setimpal." batin Melia. Ia menoleh ke arah Sintia, wajah cantik dengan senyum memohon mampu meneduhkan kembali hatinya. Meredam semua emosi dan amarahnya. Melia kembali tersenyum dan mengabaikan pelayan itu, ia mendekat ke arah Sintia dan memeluknya erat.
Ibu,
Tak perduli bagaimana rasa sakit yang aku alami...
Penghinaan orang-orang itu, biar kelak aku yang membalasnya,
Bu, percayalah...
Aku bisa melewati semua kepahitan ini asal bersama-sama dengan ibu...
Ibu, engkaulah segalanya yang aku miliki, satu-satunya orang yang aku punya.
Kelak, kehidupan kita nanti tidak akan terjadi hal buruk seperti ini.
🍁🍁🍁
"Gaun itu dipajang agar dilihat para ibu konglomerat, kalian hanya kalangan biasa mana mampu membelinya. Lebih baik kalian pulang saja." Si pelayan yang terlihat sangat benci kepada Melia menyauti, yang satunya berusaha melerai karena bagaimanapun pembeli harus diperlakukan dengan baik dan benar. Kalaupun dari kalangan biasa, kalau mampu bayar ya tidak apa-apa.
"Tidak bisa, palingan cuma coba-coba doang, gak jadi beli. Yang ada gaunnya rusak."
Pelayan itu lantas menatap Melia dan sang ibu yang masih kukuh belum pergi. Pandangannya semakin sinis.
"Gaun-gaun disini, dipersiapkan untuk ibu-ibu konglomerat. Buat dilihat mereka, mereka yang datang akan pendapat pelayanan khusus karena memiliki member. Tidak seperti kalian, yang lebih pantas melayani. Bukan di layani." Melia melotot tajam mendengar ucapan pelayan tersebut sementara yang satunya tampak tak enak hati kala rekan kerjanya melontarkan perkataan yang kurang sopan dan ramah terhadap pembeli.
"Sudah lah Mel, kita pulang saja. Ibu tidak apa-apa." Sintia mengusap lembut bahu sang putri. Meredam segala emosi dan amarah Melia.
Di luar sana, awan mulai menggelap. Namun, ini tentang Melia yang ingin sekali membuat bahagia sang ibu karena setelah ia menikah mungkin semua akan berbeda. Mel medesah pelan, saat ia hendak keluar. Melia dan Sintia membulatkan mata saat melihat sosok istri dah sang ayah berkunjung juga ke gerai itu. Di tatapnya perempuan itu saat masuk.
Benar saja, pelayan yang telah mencaci makinya tadi seramah mungkin melayani istri sah sang ayah, bahkan disertai senyum manis yang menurut Melia sangat memuakkan.
"Dasar penjilat." umpat Melia dalam hati, ia kecewa lantaran orang biasa yang bekerja paruh waktu di gerai. Memandang seseorang karena penampilan dan level kekayaan.
"Sudah, Mel. Lihat itu, istri sah papamu. Nanti malah berantem lagi dan cari gara-gara lagi dia." bisik Sintia yang merasa ia harus menghidari Lyn agar tidak terjadi keributan.
"Tidak bisa, bu." kekeh Melia.
"Saya tidak mau tau, saya mau ibu saya coba gaun itu. Berapapun akan saya bayar." Melia meninggikan suaranya hingga berhasil memancing perhatian Lyn. Wanita modis paruh baya dengan segala kehidupan mewah melekat di tubuhnya itu sontak menoleh sebentar. Merasa familiar karena mendengar suara Melia.
"Anak itu," gumam Lyn menatap tak bersahabat ke arah Melia. Sementara anak kandung Lyn merasa heran, kenapa tiba-tiba raut wajah mamanya berubah seperti menahan kekesalan.
"Ada apa sih, ma?" tanya Liona karena merasa sikap mamanya berubah murung.
"Tidak apa, kita lanjut belanja."
Namun, Leona bukan tidak tau seperti apa gelagat mamanya. Ekspresi seperti itu sudah sering ia lihat. Mereka memang memiliki bnyak kesamaan. Terkadang ekspresi wajah itu langsung berubah ketika bertemu atau melihat sesuatu yang sangat dibenci.
Selama ini, Lyn menyembunyikan semuanya dari Liona. Menyimpan rapat-rapat kebusukan Bramantyo di masa lalu. Karena Lyn fikir, itu akan mempengaruhi karier Liona dan membuat gadis cantiknya itu kecewa.
"Apa yang sedang mama fikirkan, apa dia melihat seseorang yang begitu dibencinya hingga berubah murung saat memasuki gerai ini?" batin Liona bertanya-tanya, Namun ia enggan mengulik terlalu dalam.
"Lebih baik, ikuti mama saja dulu." batin Liona.
Melia masih berdebat dengan pelayan itu, kekeh ingin terus mencoba gaun yang terpajang di depan sana. Gaun yang tentu nominal harganya tak seberapa bagi sebagian kalangan konglomerat. Melia tak putus asa, meski berulang kali Sintia membisikkan sesuatu, membujuk Melia agar segera pergi dari tempat ini.
"Tidak bisa, bu. Baguslah kalaua wanita tua itu cari masalah. Aku akan mempermalukan dian nanti." Kesal Melia. Sinta terheran, namun lebih baik diam dan membiarkan Melia melakukan apapun.
"Mbak, tolonglah. Saya sudah lama di sini. Saya, akan membayar berapapun. Asal ibu saya boleh mencobanya. Apa mbak fikir kami beneran tidak punya uang?"
Lyn menoleh, dan melihat ada Melia disana yang masih berdebat dengan salah satu pelayan. Batinnya berdecak. Namun, ia tak bisa langsung kesana lantaran Liona masih mengajaknya melihat-lihat gaun yang lain.
"Kita kesana yuk, Ona." ajak sang mama, Namun tiba-tiba Leona merasa ingin ke toilet.
"Ma, aku ke toilet bentaran deh. Tapi mama tetep di gerai ini ya, jangan kemana-mana?" ucap Liona yang merasa ia ingin sekali keluar sebentar ke toilet sekalian membenahi make upnya.
"Baik, sayang. Jangan lama-lama ya, kalau ada apa-apa telepon mama."
"Iya mama, bawel tapi aku sayang." Liona tersenyum lantas mengecup pipi mamanya sekilas sebelum melangkahkan kaki meninggalkan Lyn.
Sepeninggal Liona, Lyn menyeringai. Ia mempunyai ruang untuk menyiksa kembali dua wanita perusak kebahagiaannya.
"Permisi nyonya, jadi gaun mana yang anda cari kami akan melayani anda dengan baik." Pelayan tersenyum ramah, berbanding terbalik saat melayani Melia dan ibunya. Perubahan 180° sangat kentara sekali. Lyn menghampiri Melia dan Sintia yang berada di depan.
"Pergi sana, gerai ini sangat tidak cocok untuk kalian. Jangan keras kepala dan terus menerus disini. Sangat merusak pemandangan."
Melihat Lyn mendekat dan pelayan menyapanya dengan ramah. Melia tidak terima.
Ia bersikeras ingin agar ibunya mencoba gaun itu.
"Ck! anak tidak tau sopan santun dan etika, benar-benar mirip tingkahnya dengan ibunya." Sindir Lyn yang langsung mendapat pelototan dari Melia. Sintia terdiam, ia memilih bungkam karena baginya berdebat dengan wanita itu tidak akan pernah habis.
"Bukan urusan anda, nyonya Bram. Lebih baik pergi dan jangan urusi kami. Urus saja suamimu yang bisa jadi saat ini akan mencari daun muda lagi."
"Diam, gadis tidak tahu diri. Berani kamu menghina suamiku." Decak Lyn, hendak menarik rambut Melia. Namun, buru-buru Sintia menarik tangan Melia agar terhindar.
"Hanya manusia miskin, kalian tidak akan mampu membayar harga baju di gerai ini. Lebih baik pergi dari pada menanggung malu," ucap Lyn dengan nada menceemoh.
menikah Dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan Mampir
tp kasian deh sama Mel.. pasti dia takut ibunya kecewa karena tidak perawan lagi
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir