Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Gara-gara kejadian kemarin, kaki Galuh masih agak sakit. Setiap kali dipakai untuk lari atau berjalan cepat, terasa nyeri menusuk di ujung tumit yang lecet, ditambah punggung serta pantatnya juga memar.
Sebenarnya Galuh ingin beristirahat total di rumah, tetapi profesinya sebagai guru olahraga di SD Negeri Mulia I tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Hari ini, Galuh sedang mengajar murid kelas empat. Matahari siang itu terasa terik, tetapi semangat anak-anak tetap berkobar. Jadwal hari ini adalah senam lantai. Dia memutuskan untuk meminta bantuan murid kesayangannya yang unik.
"Jejen, kasih contoh sit up!" titah Galuh lantang sambil menunjuk murid yang sedang duduk di barisan belakang.
"Oke, Bu Galuh!" sahut Jejen dengan semangat. Anak itu berdiri tegak, lalu memberi hormat ala prajurit, membuat teman-temannya tertawa cekikikan.
Jejen memang berbeda dari murid lain. Usianya sudah empat belas tahun, namun dia masih duduk di kelas empat karena kondisi khusus yang dimilikinya. Tidak ada sekolah luar biasa di kampung mereka, sehingga Jejen tetap belajar di SD Negeri Mulia I. Meski begitu, semangatnya jauh lebih besar daripada anak-anak lain.
Tubuhnya tinggi menjulang, membuatnya tampak mencolok di antara teman sekelas. Sayangnya, ketika diminta memperagakan sit up, dia justru salah paham dan melakukan push up. Kedua tangannya menahan tubuh, kakinya lurus, lalu ia mulai menghentak naik-turun.
Galuh langsung menepuk keningnya. "Astaga, Jejen … itu bukan sit up, tapi push up!" katanya, separuh kesal, separuh geli.
Setelah diarahkan ulang, barulah Jejen mengerti. Ia pun melakukan sit up dengan benar, meskipun masih terlihat kaku. Anak-anak lain menyoraki sambil tertawa, membuat suasana halaman sekolah semakin riuh.
"Jejen! Jangan panas-panasan di sana. Duduk di bawah pohon sini!" teriak Galuh ketika melihat murid itu memilih duduk di area yang terkena sinar matahari langsung.
"Enggak apa-apa, Bu. Di sini anginnya kenceng," balas Jejen polos.
Galuh menghela napas panjang. "Nanti pusing, terus dibawa ke puskesmas, terus disuntik sama dokter. Mau?" ucapnya sambil melambai kecil.
Mendengar kata suntik dan dokter, Jejen langsung bangkit dan berlari menuju tempat teduh. Anak itu bergabung dengan teman-temannya yang lain, wajahnya setengah panik. Murid-murid lain menertawakan reaksinya.
Galuh menutup mulutnya, menahan tawa. "Dasar, anak ini memang ada-ada saja," batinnya.
Pelajaran olahraga itu cukup menguras tenaga. Keringat mengalir di dahi anak-anak, sementara Galuh sendiri juga kelelahan. Dia masih harus mengawasi, memberi contoh gerakan, dan berteriak memberikan arahan meski tenggorokannya terasa kering.
Galuh duduk di ruang kerja. Tangannya memegang leher, mencoba meredakan rasa serak. "Aduh, tenggorokan aku kering banyak bicara hari ini," keluhnya.
Dewa yang sedang lewat berhenti, menatapnya khawatir. "Kenapa? Sakit tenggorokan, ya?" tanyanya.
Belum sempat Galuh menjawab, Ryan sudah nyeletuk sambil menyeringai jahil, "Pergi saja ke puskesmas. Siapa tahu Aa Dokter bisa menyembuhkan."
Seketika wajah Galuh memerah. "Apaan, sih, kamu!" serunya dengan mode galak.
Ryan dan Dewa langsung tertawa terkekeh. Mereka akhir-akhir ini memang hobi sekali menggoda Galuh dengan menyebut-nyebut Bagja. Bahkan ketika mengirim salam di radio kampung, Ryan dan Dewa tanpa segan menyebut Galuh sebagai "calon pengantin Bagja". Tentu saja itu membuat Galuh sering uring-uringan.
***
Minggu pagi. Saat sebagian besar orang memilih bermalas-malasan, Galuh malah harus bersiap.
"Galuh, ditunggu sama Bu Kania sama Bagja. Hari ini kalian mau fitting baju pengantin," teriak Mama Euis dari balik pintu kamar.
Galuh menghela napas berat. "Hari Minggu begini seharusnya aku bisa tidur sampai siang, bukan repot-repot urusan pernikahan," batinnya. Namun, dia tetap berdiri dan mulai merapikan diri.
Ia memilih mengenakan celana jeans biru yang pas di tubuhnya, dipadukan dengan kemeja biru muda yang dikancingkan rapi. Kali ini ia tidak memakai kaos dalam, sehingga penampilannya tampak lebih formal. Rambut hitamnya yang biasanya hanya diikat seadanya kini ia kepang rapi, menambah kesan anggun.
Di meja rias sederhana, Galuh menaburkan bedak tipis di wajahnya, lalu mengoleskan lipstik merah muda. Sebagai sentuhan terakhir, ia menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Aroma wangi segar langsung memenuhi kamar.
Ketika keluar, beberapa anak kecil tetangga yang sedang menonton film kartun di ruang depan menoleh ke arahnya. Mata mereka berbinar melihat penampilan Galuh yang berbeda dari biasanya.
"Teh Galuh, mau ke mana?" tanya salah satu anak perempuan sambil memeluk bantal kecil yang banyak tersedia di ruangan itu.
"Mau pergi sebentar. Ada perlu," jawab Galuh sambil tersenyum tipis.
Seorang anak laki-laki spontan berseru, "Teh Galuh, cantik sekali hari ini!"
Pujian polos itu membuat wajah Galuh merona. Dia hanya tersenyum malu-malu, lalu cepat-cepat mengenakan sepatu agar segera pergi.
Begitu melangkah ke luar rumah, matanya langsung tertuju pada Bagja yang sedang duduk di teras rumahnya. Jarak rumah mereka yang berdampingan membuat momen ini terasa seperti adegan sinetron, Jodoh Lima Langkah.
Bagja tampak rapi seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Dia tidak memakai kacamata dan pakaian yang dikenakannya lebih bergaya daripada sehari-hari. Kemeja putih bersih dengan lengan digulung sampai siku, celana bahan gelap, dan sepatu kulit membuatnya terlihat seperti pria kota.
Saat Galuh memasuki pekarangan rumah, Bagja menoleh. Matanya sempat membesar sejenak, jelas terpesona dengan penampilan Galuh hari itu. Dia tidak menyangka, gadis yang biasanya tampil tomboy dan apa adanya, kini bisa secantik ini.
"Eh, Galuh, sudah datang," sapa Bu Kania dengan ramah. "Kalian pergi berdua, ya? Ibu sudah telepon Bu Laras mau pesan baju pengantin dan kalian yang pilih."
Galuh berhenti melangkah, alisnya terangkat. "Loh, bukannya mau pergi sama Ibu, ya?" tanyanya heran.
Bu Kania tersenyum sendu. "Bapak mendadak sakit. Jadi, Ibu harus menjaganya di rumah."
Galuh melirik sekilas pada Bagja, lalu kembali pada Bu Kania. "Jangan-jangan ini cuma akal-akalan mereka," batinnya penuh curiga.
Galuh bisa merasakan perasaannya mulai tak karuan. Pergi berdua dengan Bagja jelas bukan hal yang dia harapkan. Bayangan akan dijahili, digoda, atau malah dibuat salah tingkah kembali muncul di kepalanya.
Namun, di sisi lain, ada rasa yang sulit dijelaskan. Perasaan aneh yang perlahan tumbuh sejak kejadian-kejadian kemarin. Galuh menggigit bibir bawahnya, ragu antara menolak atau menerima.
Bagja berdiri dari kursinya, lalu menatap Galuh dengan senyum tipis. "Ayo, kita berangkat. Enggak usah lama-lama mikir," ucapnya tenang, seakan bisa membaca pikiran Galuh.
Galuh mengekori Bagja masuk ke dalam mobil. Sementara hatinya semakin berkecamuk.
"Mau apa kamu?" tanya Galuh ketika Bagja mendekatkan tubuhnya.
"Menurutmu?" bisik Bagja yang kini wajahnya hanya beberapa senti dari muka Galuh.
***
maubitu jujur mau itu ngobrol mau itu nanya atau marah kan buka mulut toh 🤭
kalo mingkem alias diem bae mah bubar pasti 😂😂