“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Tiga
Waktu terasa cepat berlalu, tak terasa jam di dinding kantor menunjukkan pukul sebelas siang ketika Axel menutup laptopnya. Semua dokumen sudah ia tanda tangani, beberapa meeting siang ini ia limpahkan pada asisten pribadinya, Raka.
“Raka, tolong urus presentasi siang nanti. Aku harus pergi,” ujar Axel sambil merapikan jasnya.
Raka mengangguk. “Baik, Pak. Saya akan pastikan semuanya berjalan sesuai agenda.” Raka memang asisten pribadinya dari dulu. Elena hanya untuk membantu saja.
Axel menghela napas. Ia berdiri sejenak di depan jendela kantornya, memandangi langit kota yang masih mendung. Ada sesuatu di dadanya yang terasa berat, seperti firasat buruk yang enggan pergi. Tapi ia tahu, ia tak bisa menunda lebih lama. Dia harus ke rumah sakit, menemani Elena makan siang.
Axel turun ke basement, masuk ke mobil hitamnya yang sudah menunggu. Begitu mesin mobil menyala, ia segera mengecek pesan dari Rendi.
“Keadaan Elena stabil. Dia sudah lebih tenang pagi ini,” pesan singkat itu membuatnya sedikit lega.
Mobil keluar dari area gedung, masuk ke jalanan kota yang mulai ramai. Axel mengendarai dengan fokus, namun sesekali ia memikirkan kejadian tadi pagi dengan Aldi.
Tatapan Aldi masih terbayang jelas di kepalanya, tatapan penuh amarah dan dendam. Axel tahu sepupunya itu bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dan itu membuatnya semakin waspada.
Baru sekitar sepuluh menit berkendara, perasaan Axel tiba-tiba tak enak. Ada sesuatu yang mengganggu.
Ia melihat dari spion tengah, sebuah mobil sedan abu-abu tampak mengikuti dari jarak yang sama sejak tadi.
Axel mengerutkan kening. “Aldi …,” gumam Axel pelan.
Ia mempercepat laju mobil, mengambil jalan alternatif yang agak sepi. Mobil sedan abu-abu itu tetap mengikutinya.
Axel mengepalkan tangan di setir. “Oke, kalau kau memang mau main-main denganku seperti ini.”
Ia berbelok ke jalan kecil yang jarang dilalui, sebuah area perkantoran yang jam segini sepi. Di ujung jalan, Axel menghentikan mobilnya mendadak.
Mobil di belakangnya juga berhenti.
Axel membuka pintu dan keluar. Udara siang terasa panas, namun wajahnya tetap dingin. Dia berdiri di tengah jalan, menunggu.
Tak lama kemudian, pintu mobil abu-abu itu terbuka. Aldi keluar dengan wajah marah. Kemejanya kusut, mata merah karena kurang tidur.
“Kau sengaja ya memancing aku?” suara Aldi berat, penuh emosi.
Axel menyilangkan tangan di dada. “Kau yang memutuskan ikut sejak dari kantor.”
“Mana Elena?” Aldi melangkah maju, nadanya menuntut. “Kau sembunyikan dia di mana?”
Axel hanya menatap tanpa menjawab. Dia tersenyum sinis.
“Jawab, Axel!” teriak Aldi, suaranya menggema di jalan sepi itu.
Axel menarik napas panjang. “Aku sudah bilang, selama kau belum bisa mengendalikan dirimu, kau tak akan tahu di mana Elena berada.”
Aldi mendekat, jarak mereka kini hanya satu langkah. Napasnya memburu.
“Kau pikir kau pahlawan? Kau pikir kau bisa ambil alih hidupku seenaknya?” Aldi mengepalkan tangan. “Katakan sekarang juga, atau ....”
“Atau apa?” potong Axel dingin. “Kau mau pukul aku? Silakan.”
Aldi mendengus. “Jangan tantang aku, Axel.”
“Aku tidak menantang. Aku memberi pilihan,” Axel tetap tenang. “Kalau itu satu-satunya cara bagimu melampiaskan amarah, lakukan. Tapi aku tidak akan berhenti melindungi Elena.”
Emosi Aldi meledak. Ia melayangkan pukulan ke rahang Axel. Kepala Axel sedikit terhuyung, namun ia tidak membalas.
Aldi memukul lagi, kali ini di perut. Axel hanya menahan sakit, wajahnya tetap dingin.
“Puas?” tanya Axel dengan napas berat. “Kau boleh teruskan. Bunuh aku pun kalau kau mau. Tapi kau tetap tak akan tahu di mana Elena berada.”
Aldi terdiam sejenak, napasnya memburu. Tangannya masih mengepal, siap melayangkan pukulan ketiga. Namun pandangan matanya menangkap sesuatu, kamera kecil di dashboard mobil Axel, lampunya berkedip.
Axel melihat ekspresi Aldi yang berubah. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Ya, kau lihat itu?” Axel menunjuk ke arah mobilnya. “Semua terekam. Setiap pukulanmu, setiap ancamanmu.”
Wajah Aldi mendadak pucat. Dia tak berpikir jika ini jebakan pria itu.
“Aku bisa gunakan ini,” lanjut Axel pelan, tapi nadanya tajam. “Satu laporan saja, dan kau bisa kena pasal penganiayaan. Ditambah lagi dengan bukti audit yang kutunjukkan tadi pagi? Hidupmu bisa berakhir lebih cepat dari yang kau kira.”
Aldi terdiam, tubuhnya menegang. “Kau … kau licik,” desis Aldi.
“Aku hanya melindungi seseorang yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri,” jawab Axel tegas. “Sesuatu yang seharusnya kau lakukan dari awal.”
Aldi membuang napas kasar, lalu melangkah mundur. Matanya masih menatap penuh kebencian, namun ia tak berkata apa-apa lagi.
Dia berbalik menuju mobilnya, pintunya dibanting keras. Dalam sekejap, mobil abu-abu itu melaju kencang meninggalkan Axel yang masih berdiri di tengah jalan.
Axel menarik napas panjang, menahan rasa sakit di rahang dan perutnya. Namun, di wajahnya terselip kepuasan.
“Sekarang kau tak punya pilihan, Aldi,” gumam Axel pelan pada dirinya sendiri.
Axel kembali masuk ke mobil dan menjalankan setelah memastikan Aldi pergi. Sesampainya di rumah sakit, Axel langsung menuju ruang perawatan Elena.
Elena yang baru saja selesai minum obat menoleh saat Axel masuk. Senyumnya tipis, namun segera pudar ketika melihat wajah Axel.
“Axel!” Elena terkejut. “Wajahmu … ini kenapa?”
Axel tersentak sebentar, lalu mencoba tersenyum. “Hanya sedikit masalah di jalan.”
Elena mengernyit. “Masalah apa? Siapa yang berani bikin kamu begini?”
Axel duduk di tepi ranjang, meraih tangan Elena dan menatapnya lembut. “Jangan kuatir. Ini urusan laki-laki. Bukan sesuatu yang perlu kamu pikirkan.”
“Tapi ....”
“Lena,” Axel memotong lembut, mengelus rambutnya. “Yang penting kamu aman. Itu saja.”
Elena menggigit bibirnya, masih menatap lebam di rahang Axel dengan khawatir. Namun ia memilih tidak bertanya lagi.
Perawat masuk membawa makanan siang. Axel membantu menyuapi Elena perlahan, memastikan wanita itu makan cukup. Ia berusaha menutupi rasa sakit di perut setiap kali bergerak, tidak ingin Elena menyadari betapa parahnya pukulan yang ia terima.
Di antara keheningan, Axel sesekali menatap jendela. Dia tidak mengatakan apa pun tentang pertemuannya dengan Aldi.
Namun, di hatinya ia tahu Aldi tidak akan menyerah semudah itu. Dan Axel harus bersiap menghadapi apapun yang akan datang besok.
Malam itu, Axel duduk sendirian di balkon rumah sakit. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma obat-obatan samar. Ia memegang ponselnya, memutar ulang rekaman kamera mobil yang menangkap Aldi memukulnya. Setiap pukulan, setiap teriakan, terekam jelas.
Axel menatap layar itu lama. Ada rasa sakit, tapi juga ada ketegasan di matanya.
“Ini akan jadi kartu terakhirku jika dia masih saja keras kepala," gumam Axel.
"Besok, semuanya harus berakhir. Entah dengan tanda tangan Aldi di surat cerai itu, atau dengan langkah hukum yang akan menghancurkan hidupnya," ucap Axel lirih.
Axel menatap langit malam yang pekat. “Aku akan pastikan Lena bebas darimu,” ucap Axel selanjutnya dengan mantap.
Aldi jdinya sdh jatuh tertimpa tangga pulak
Jelas sudah siapa di sinibybg tidak bisa menghamili pasangan nya 😂😂😂😂