Setelah kecelakaan misterius, Jung Ha Young terbangun dalam tubuh orang lain Lee Ji Soo, seorang wanita yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Identitasnya yang tertukar bukan hanya teka-teki medis, tapi juga awal dari pengungkapan masa lalu kelam yang melibatkan keluarga, pengkhianatan, dan jejak kriminal yang tak terduga.
Di sisi lain, Detektif Han Jae Wan menyelidiki kasus pembakaran kios ikan milik Ibu Shin. Tersangka utama, Nam Gi Taek, menyebut Ji Soo sebagai dalang pembakaran, bahkan mengisyaratkan keterlibatannya dalam kecelakaan Ha Young. Ketika Ji Soo dikabarkan sadar dari koma, penyelidikan memasuki babak baru antara kebenaran dan manipulasi, antara korban dan pelaku.
Ha Young, yang hidup sebagai Ji Soo, harus menghadapi dunia yang tak mengenal dirinya, ibu yang terasa asing, dan teman-teman yang tak bisa ia dekati. Di tengah tubuh yang bukan miliknya, ia mencari makna, kebenaran, dan jalan pulang menuju dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulfa Nadia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
제25장
Keesokan harinya, Ha Young menyelesaikan pemotretan untuk iklan kacamata merek Sunday. Di bawah sorotan lampu studio dan arahan fotografer, ia tampil sempurna anggun, tegas, dan memikat. Setiap pose yang ia berikan seolah menutupi semua kegelisahan yang sempat ia rasakan malam sebelumnya. Ia tahu, di depan kamera, ia harus menjadi versi terbaik dari dirinya. Dan hari ini, ia berhasil.
Setelah pemotretan selesai, Ha Young dipandu oleh asisten menuju ruangan CEO Song untuk menandatangani pembaruan kontrak kerja sama. Ruangan itu masih sama seperti terakhir kali ia datang minimalis, dingin, dan penuh aroma kayu mahal. Namun yang berbeda adalah sosok CEO Song yang kini duduk di balik meja. Wajahnya masih tampak sedikit bengkak di bagian pipi kanan, dan saat ia berdiri untuk menyambut Ha Young, langkahnya terlihat setengah pincang. Bekas luka dari insiden beberapa hari lalu dipukuli oleh anak buah ayah Ha Young masih jelas terlihat, meski ia berusaha menyembunyikannya di balik senyum profesional.
“Silakan duduk, Ha Young” ujar CEO Song, suaranya tetap tenang meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ha Young duduk dengan sopan, matanya sempat menatap luka di wajah pria itu, namun ia memilih untuk tidak berkomentar. Ia tahu, dunia yang mereka jalani bukan dunia yang bersih dari tekanan dan ancaman.
“Kalau saja dari awal kamu mau menandatangani pembaruan kontrak, aku gak akan dipukuli begini oleh ayahmu,” gerutu CEO Song sambil mendengus, tangannya menyentuh pipi yang masih bengkak.
Ha Young menatapnya dingin. “Kalau saja dari awal kamu jujur bahwa Songhwa Entertainment milik ayahku, aku gak akan semarah itu.”
“Kenapa harus marah? Harusnya kamu senang, bukan malah bersikap seperti musuh.”
“Aku marah karena kamu memanfaatkan aku. Kamu pikir aku akan diam saja? Lebih baik kamu urus Mina dengan benar daripada sibuk mengaturku.”
CEO Song mengangkat alis. “Memangnya kenapa dengan putriku? Dia baik-baik saja. Tidak pernah punya masalah.”
“Ya, secara kasat mata mungkin. Tapi aku yakin mentalnya terganggu. Dia selalu cari masalah denganku, dan itu bukan hal yang normal.”
“Itu karena dia marah melihat aku dipermalukan oleh ayahmu,” balas CEO Song, nadanya mulai meninggi.
Ha Young berdiri setelah menandatangani dokumen. Ia merapikan tasnya, lalu menatap CEO Song dengan tenang. “Kalau begitu, gampang. Mau dengar saran? Lebih baik kamu mundur dari jabatanmu sekarang.”
CEO Song tertawa sinis. “Kamu ini bercanda, ya? Kamu tahu itu gak akan pernah terjadi.”
Ha Young melangkah menuju pintu, lalu menoleh sebentar. “Kalau begitu, terima saja semua penderitaan itu... kecuali kalau kamu bisa menaklukkan ayahku.”
Ia keluar tanpa menoleh lagi. CEO Song hanya berdiri mematung, bertolak pinggang, wajahnya menegang. Kata-kata Ha Young menggema di kepalanya, dan untuk pertama kalinya... ia merasa benar-benar kalah.
Ha Young duduk diam di dalam mobil yang melaju perlahan menuju sebuah alamat yang telah ia simpan rapi sejak malam penuh kejutan bersama Jae Wan. Kertas kecil itu kini berada di dalam genggamannya, sedikit kusut karena terlalu sering ia buka dan baca ulang. Ia tak tahu apa yang akan ia lakukan sesampainya di sana. Ia hanya ingin melihat... tempat di mana ibunya tinggal.
Mobil berhenti di lampu merah. Ha Young menyandarkan kepalanya pelan ke jendela, membiarkan matanya menatap keluar. Di seberang jalan, ia melihat sosok yang tak asing seorang gadis berdiri di trotoar, tengah berbicara dengan seorang pria muda yang mengenakan tas punggung. “Itu... Lee Ji Soo,” gumam Ha Young, alisnya mengernyit. “Siapa pemuda yang sedang ia temui?” pikirnya penasaran. Pemuda itu tampak seperti mahasiswa, tubuhnya kurus, wajahnya tegang.
Ji Soo berdiri dengan sikap dingin, matanya menatap pemuda di hadapannya dengan sinis. Pemuda itu adalah Lee Ji Sang adik tirinya, lahir dari ibu yang tak pernah ia terima sebagai bagian dari hidupnya. Sejak kecil, Ji Soo menolak keberadaan ibu tirinya, dan penolakan itu meluas pada Ji Sang yang tak pernah ia anggap sebagai keluarga.
“Aku tidak peduli,” ujar Ji Soo ketus, suaranya tajam. “Apapun yang terjadi pada ibumu entah dia sakit atau mati sekalipun itu bukan urusanku.”
Ji Sang menatap kakaknya dengan mata yang mulai memerah. “Aku tahu kamu tidak pernah menyukai ibuku. Tapi tetap saja... dia adalah istri ayah.”
“Tutup mulutmu,” potong Ji Soo tajam. “Kamu tidak berhak menasihatiku, apalagi bicara tentang ibumu di hadapanku. Mati ataupun hidup... aku tidak pernah menganggapnya sebagai ibuku.”
“Ucapanmu sangat kasar, noona,” ujar Ji Sang, suaranya bergetar. “noona bisa saja memakiku... tapi jangan hina ibuku.”
Ji Soo menatapnya tajam, amarahnya tak terbendung. “Kalau begitu, pergilah dari hadapanku. Baik kamu maupun ibumu, aku tidak ingin melihat kalian lagi. Kalau dia menyuruhmu datang, memohon ratusan kali agar aku kembali ke rumah itu... katakan padanya, aku tidak akan pernah kembali. Keluargaku hanya ayah dan ibu kandungku.”
Ji Sang terdiam, menunduk. Kata-kata itu menusuk, tapi ia tetap tak bisa membenci Ji Soo. Ia teringat janji terakhir yang ia buat di hadapan ayahnya untuk tetap menjaga hubungan sebagai saudara, apapun yang terjadi. Meski setiap kalimat Ji Soo membuatnya ingin menyerah, ia tetap berharap... bahwa suatu hari, kakaknya akan berhenti membenci. Bahwa luka itu bisa sembuh, meski perlahan. Karena bagaimanapun, darah mereka berasal dari satu ayah. Dan bagi Ji Sang, itu cukup untuk tetap bertahan.
Ha Young tahu dari raut wajah Ji Soo bahwa gadis itu sedang marah. Namun pria yang berdiri di hadapannya masih asing baginya. Meski sedikit penasaran, Ha Young memilih untuk tidak terlalu memikirkan mereka. Hari ini bukan tentang Ji Soo. Hari ini adalah tentang ibunya seseorang yang telah lama ia rindukan, namun tak pernah ia temui.
Yeo Jin menurunkannya di sudut gang yang sepi. Seperti biasa, Ha Young mengenakan kacamata hitam, topi, dan masker penutup mulut. Pakaian yang tidak mencolok, cukup untuk menyamarkan identitasnya. “Hati-hati,” ujar Yeo Jin singkat sebelum kembali ke mobil. Ha Young mengangguk, lalu mulai melangkah pelan.
Jalanan sedikit menanjak, membuat langkahnya lebih lambat dan hati-hati. Di dalam dadanya, perasaan rindu bercampur dengan gugup dan ketakutan. Ia menatap sebuah rumah dengan pagar biru, lalu mencocokkan alamat di kertas yang diberikan Jae Wan. Ya, ini rumahnya. Tapi entah kenapa, saat tangannya hendak menyentuh pintu pagar, ia ragu. Ada sesuatu yang mengganjal seperti bayangan masa lalu yang belum siap ia hadapi.
Tiba-tiba, seorang pria berjalan dari arah berlawanan dan membuka pagar biru itu. Ia berhenti sejenak saat melihat Ha Young berdiri di depan pintu pagar. “Kamu siapa?” tanyanya, nada suaranya datar namun waspada.
Ha Young terkejut. Ia menoleh, dan matanya membelalak saat mengenali wajah pria itu. “Kamu!” serunya refleks.
Pria itu tampak bingung. “Kamu kenal aku?” tanyanya, alisnya mengernyit. Ia adalah Ji Sang pria yang tadi pagi ia lihat bersama Ji Soo, meski mereka tak pernah benar-benar bertemu.
Ha Young tersentak, menyadari kekeliruannya. “Bukan... maksudku, kukira kamu orang yang aku kenal. Sepertinya aku salah,” ujarnya cepat, mencoba menutupi keterkejutannya. Ia menunduk, lalu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan pagar biru itu dan semua keraguan yang belum sempat ia jawab.
Langkah Ha Young baru beberapa meter menjauh dari pagar biru itu ketika suara pintu rumah terbuka membuatnya menoleh secara refleks. Dari balik pintu, seorang wanita paruh baya keluar dengan senyum hangat di wajahnya. Rambutnya diikat sederhana, dan matanya langsung tertuju pada Ji Sang yang masih berdiri di depan rumah.
“Putraku,” ucap wanita itu dengan nada penuh kasih. “Kau datang juga hari ini.”
Ha Young terhenti. Tubuhnya membeku. Kata itu putraku menggema di telinganya seperti dentuman yang tak terduga. Ia menatap wanita itu dengan mata membelalak. Wajahnya... wajah yang selama ini ia rindukan. Wajah yang ia simpan dalam ingatan masa kecilnya. Itu... ibunya.
Ibu yang selama ini ia rindukan... kini berdiri hanya beberapa meter darinya. Suaranya masih sama lembut, menenangkan, seperti yang ia ingat dalam kenangan masa kecil. Senyumnya pun tak berubah, hanya saja rambutnya kini sedikit beruban, dan garis-garis halus mulai menghiasi wajahnya. Tapi bagi Ha Young, itu tetap wajah yang paling ia rindukan di dunia ini.
Air mata menetes tanpa bisa ia tahan. Ingin rasanya ia berlari, memanggil, memeluk, dan menangis dalam pelukan yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Tapi langkahnya tertahan.
Tapi kenapa? Kenapa ibunya menyebut pria itu sebagai putranya? Karena pria itu telah lebih dulu memeluk ibunya. Dan sang ibu membalas pelukan itu dengan senyum yang begitu hangat, begitu tulus, seolah tak ada ruang yang kosong dalam hidupnya.
Ha Young hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan dari balik bayang. Hatinya perih. Ia ingin percaya bahwa ibunya juga merindukannya. Tapi melihat senyum bahagia itu, setelah bertahun-tahun ditinggalkan tanpa kabar, membuatnya bertanya-tanya bagaimana mungkin seseorang yang dulu begitu ia cintai... masih bisa tersenyum sehangat itu, tanpa dirinya?
Ha Young mundur selangkah, napasnya tercekat. Dunia yang tadi ia harapkan akan memberi pelukan hangat, kini terasa asing. Ia tak tahu siapa Ji Sang sebenarnya, tapi satu hal yang pasti ibunya telah menyebut pria itu sebagai anaknya. Dan itu cukup untuk membuat hatinya retak dalam diam.