Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
INI SALAH KAMU BANG,,
Acara syukuran baru saja selesai beberapa menit yang lalu saat Sean datang bersama seorang wanita paruh baya, tapi wajahnya masih terlihat cantik dan awet muda. Di tangan wanita itu menenteng paperbag besar dan langsung menyerahkannya pada Elis yang sudah menyambutnya di pintu gerbang.
"Ya ampun, Bu Siska. Sudah lama tidak bertemu.
Syukurlah Bu Siska sehat-sehat saja," ujarnya, menyalami mantan majikannya itu dan mempersilakan ia duduk di ruang tamu yang kursi-kursinya masih belum dimasukkan. Jadinya mereka duduk lesehan di karpet.
"Elis, jadi kamu resign dari rumah saya, kerja di sini?"
Elis tersipu, kepalanya tertunduk.
Livia keluar dari dalam sambil menggendong Cello. Dia tersenyum ramah dan menyalami kedua tamunya.
"Terima kasih, Tante, sudah datang ke sini. Maaf jika penyambutannya kurang."
Di luar dugaan, Siska tersenyum ramah. Padahal tadi Livia sudah deg-degan, takut ada drama yang harus dia hadapi lagi.
"Saya mengerti. Justru enak begini, bisa selonjoran kaki," katanya sambil terkekeh.
"Boleh saya gendong putramu?"
"Oh, tentu saja."
Livia memberikan Cello dalam dekapannya kepada Siska. Wanita itu terlebih dulu melumuri tangannya dengan cairan antiseptik, lalu mengulurkan tangannya menyambut baby Cello.
"Wah, ganteng sekali putramu, Livia," katanya penuh kekaguman. Tapi tatapan matanya penuh keharuan.
Diusapnya kepala anak itu dengan sayang.
Siska sudah tahu cerita tentang Livia dari putranya, saat dia marah karena Sean membatalkan pertunangannya dengan Natalia.
Dia juga sempat menyalahkan Livia sebagai biang keladinya. Tapi setelah Sean bicara empat mata dengan ibunya dan menceritakan semua tentang Livia, hati Siska luluh. Dia balik berempati pada nasib Livia.
"Liv, tidak ada rencana untuk kembali ke Jakarta?"
tanya Siska tiba-tiba. Livia tak langsung menjawab tapi bibirnya masih menyungging senyum.
"Mungkin suatu hari nanti, Tante. Untuk sekarang, aku masih betah di sini."
Siska menatapnya lembut. "Turuti saja kata hatimu."
Percakapan mereka terhenti saat dokter Chiara datang, menenteng dua paperbag besar. Meski usianya tak muda lagi, wajahnya tetap cantik dan segar.
"Loh, dokter Chiara..."
Livia langsung berdiri dan menyambut dokter yang pernah menolong saat persalinannya.
"Maaf ya, Livia. Tadi banyak pasien." Chiara mencium pipi kiri kanan Livia.
Sejak insiden pendarahan, mereka jadi semakin dekat, apalagi rumah Chiara tak jauh dari situ.
"Tidak apa-apa, dok. Saya senang sekali dokter bisa datang."
Livia menggandengnya masuk ke dalam. Saat melihat Siska dan Sean duduk lesehan, Chiara sempat tertegun, lalu berkata ragu, "Mbak Siska, ya?"
Siska mengangguk, meski wajah Chiara tampak asing baginya.
"Saya Chiara, teman Karina, adik Mbak Siska."
"Oh, Chiara! Ya ampun... maaf, Mbak lupa."
Siska cepat-cepat menyerahkan baby Cello ke Sean lalu memeluk Chiara. "Sekarang kamu tinggal di Bali? Kukira masih di Madrid."
"Suamiku kerja di sini, jadi aku ikut menetap," jawab Chiara sambil tersenyum.
Tatapannya beralih ke Sean. Ia mengenalnya sebagai teman dekat Livia. Dulu sempat mengira Sean adalah suaminya, karena mereka terlihat cocok. Tapi Livia membantah.
"Halo, Dok," sapa Sean sopan.
"Ini Sean, putraku," jelas Siska.
"Oh, jadi Mas Sean anak Mbak Siska?"
Sean mengangguk.
"Ternyata benar, dunia ini selebar daun talas..."
Percakapan pun berlanjut hangat diselingi canda tawa.
Yang baru Livia tahu, ternyata dokter Chiara tidak memiliki anak. Dia sempat mengandung, tapi meninggal saat dilahirkan.
Menjelang sore mereka semua pun berpamitan.
Pagi-pagi sekali Aurelie datang ke rumah orang tuanya. Wajahnya terlihat tegang. Dia datang sendirian tanpa membawa anak-anaknya yang dia tinggalkan bersama pengasuhnya.
Aurelie langsung menuju ke arah dapur. Dia tahu ibunya pasti sedang menyiapkan sarapan.
"Aurel, tumben pagi-pagi gini sudah datang ke sini, ada apa?"
Aurelie tak segera menjawab, tapi langsung meneguk air putih.
"Mama harus ikut aku sekarang juga!" ujarnya kemudian, sambil menarik tangan ibunya.
"Wee... tunggu! Mau ke mana?"
"Pokoknya mama ikut aku, sebelum kita terlambat."
"Tapi mama masih pakai daster."
"Nggak apa-apa, Ma. Kita pakai mobil sendiri ini. Ayo cepat!"
Meski tidak mengerti, Wulan pun mengikuti langkah Aurelie. Tapi sebelumnya dia sempat meminta pembantunya untuk meneruskan pekerjaannya.
Aurelie memacu mobilnya dengan cepat. Hingga tak sampai 30 menit, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah yang tidak terlalu mewah, tapi juga tidak bisa dikatakan sederhana.
Aurelie turun lebih dulu diikuti Wulan.
"Ini rumah siapa, Aurel?"
"Nanti Mama akan tahu sendiri. Ayo ikut aku!"
Penasaran, Wulan pun tak banyak bicara lagi. Dia mengikuti langkah Aurel.
Beruntung pintu pagarnya tidak digembok. Atau mungkin memang sudah dibuka.
Dengan rasa kesal dan amarah, Aurelie menggedor pintu rumah itu dengan keras.
"Iya, tunggu!" teriak suara laki-laki dari dalam.
Tak lama pintu terbuka, menampakkan Alex yang melotot tanpa kedip menatap ibu dan adiknya.
"Mama. Aurel, kenapa kalian ada di sini?" tanyanya kaget.
"Kenapa? Bang Alex kaget aku tahu persembunyian kalian?"
"Sembunyi apa? Aku tidak bersembunyi," elak Alex. Kepalanya menoleh ke belakang, berharap Ishana atau Keysha tidak keluar.
Tapi Aurelie berteriak.
"ISHANA, KELUAR KAMU!!"
"Aurel apa-apaan sih kamu, teriak-teriak di rumah orang bikin keributan pagi-pagi gini."
Alex mencoba membekap mulut adiknya. Tapi Aurelie menghindar.
"Rel, kenapa kamu manggil-manggil nama wanita itu? Apa mereka tinggal bersama?"
Wulan bingung dengan tingkah kedua anaknya. Tapi saat Ishana menghampiri mereka, rasa heran Wulan bertambah.
"Minggir, Mama mau masuk!" ucap wanita paruh baya sambil mendorong tubuh putranya yang masih berdiri di ambang pintu.
Alex terdorong ke belakang. Wulan dan Aurel pun masuk. Lalu duduk di sofa tanpa dipersilakan.
"Katakan pada Mama, Alex, kenapa wanita ini ada di sini pagi-pagi begini?" tunjuk Wulan dengan penuh
Kebencian. Amarah Wulan rasanya sudah naik ke ubun-ubun. Melihat itu, Alex khawatir darah tinggi ibunya kumat. Dia menoleh pada Ishana dan menyuruhnya membawakan segelas air.
Ishana yang masih tampak gugup segera berlalu dan kembali dengan membawa segelas air di tangannya.
Dia menyerahkan gelas itu pada Wulan. Wulan mengambilnya, tapi langsung menyiramkan air di dalam gelas itu ke wajah Ishana.
"Pergi kau dari rumah putraku, jalang!"
"MA, ISHANA ISTRIKU!" Alex kelepasan berteriak saking kagetnya dengan tindakan Wulan yang tak terduga.
"A-apa?!" Mata Wulan tampak membeliak. Dadanya turun naik, sementara wajahnya langsung pucat.
Wulan memegangi dadanya. Nafasnya terengah.
Tubuhnya terlihat lemas dan goyah.
"Mama!" Alex sigap menangkap tubuh ibunya yang hampir jatuh.
Aurelie panik. "Ma! Kenapa?! Ma, jangan gitu dong!"
"Dada Mama... sesak... pusing banget..." ucap Wulan pelan, wajahnya pucat dan keringat mulai bercucuran.
Alex betalih duduk di sisi ibunya dan menyenderkan tubuh Wulan ke tubuhnya.
"Mama punya obat nggak?"
Aurelie buru-buru menjawab, "Nggak bawa!"
Alex berpikir cepat. "Aurel, di laci dapur ada minyak kayu putih. Tolong ambil!"
Aurelie langsung berlari ke dapur. Ishana masih
berdiri di tempat, bingung dan panik, tangannya gemetar.
Alex mengipasi ibunya dengan tangan. "Mama tarik
napas pelan. Coba tenang dulu. Ini Alex, Ma. Tenang ya..."
Aurelie kembali sambil menyerahkan minyak kayu putih. Alex langsung mengoleskan ke pelipis dan dada ibunya.
"Minyak aja nggak cukup! Kita harus bawa Mama ke dokter!" seru Aurelie.
Alex mengangguk. "Ayo, bantu aku bawa Mama ke mobil."
Ishana ingin ikut membantu, tapi Aurelie langsung meliriknya tajam.
"Jangan sentuh Mamaku!"
Ishana mundur, menunduk.
Alex menggendong tubuh Wulan dan
memasukkannya ke dalam mobil, di jok belakang. Lalu ia pun duduk di sisi ibunya. Sementara Aurel yang menyetir
"Langsung ke UGD, bang?" tanya Aurelie sambil menyalakan mesin.
"Iya, yang dekat aja. Yang penting cepat!"
Mobil melaju kencang menuju rumah sakit.
Sementara itu, Ishana duduk sendirian di ruang tamu, terdiam, sambil menatap lantai. Air matanya menetes satu per satu. Untung saja Keysha tak melihat kejadian itu, karena dia masih terlelap.
Di rumah sakit, tim medis langsung membawa Wulan masuk ke ruang observasi. Alex dan Aurelie menunggu di luar dengan cemas.
"Kenapa bisa separah ini sih?!" Aurelie mondar-mandir di depan ruang UGD.
Alex berdiri membeku, kedua tangannya mengepal. "Ini semua salahku."
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar. "Keluarga pasien Wulan?"
"Kami anaknya, Dok!" jawab Alex cepat.
"Pasien mengalami krisis hipertensi. Tekanan darahnya sangat tinggi sampai memicu gejala stroke ringan. Untung cepat dibawa. Tapi ada pembekuan ringan di otak bagian kiri."
"Stroke?" Aurelie langsung terisak. "Astaga..."
"Kondisinya stabil, tapi kami butuh observasi intensif.
Pasien akan dirawat di ICU dulu malam ini. Kami akan pantau risiko komplikasi lainnya."
Alex memejamkan mata sejenak, menahan emosi.
"Boleh kami lihat Mama?"
"Sebentar lagi. Pasien sedang dipasang alat bantu dan dipantau tekanan darahnya."
"Kalau terjadi apa-apa sama mama, itu kesalahan kamu, bang!" Ucap Aurelie dingin.
kewajiban x mendampingi suami ..
semoga selalu rukun ,saling melengkapi
kekurangan masing 2 ...