Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
“Sekretarismu jalang, Issa! Aku cuma minta dibelikan mocha frappe, tapi malah dimaki-maki!” rengek si wanita penuh air mata palsu. Dasha hampir tertawa, aktingnya luar biasa.
Issa hanya menatap datar. “Kau bisa beli sendiri, Aysila. Dia sedang bekerja. Berhenti ganggu dia.”
“Aku bukan Aysila! Bajingan!” teriaknya, lalu menjejak keras dan pergi. Dasha hanya mengangkat bahu.
“Kau seharusnya tidak meladeninya, Dasha,” kata Issa tanpa emosi.
Dasha mendengus dan memutar bola mata. Ia sudah lelah hari ini.
“Jangan putar matamu padaku,” suara Issa menegang. Tapi Dasha tak peduli.
Ia terus mengetik tanpa menoleh.
“Porca miseria,” umpat Issa pelan.
“Apa?” Dasha menatap tajam. “Porca miseria juga kamu! Aku tidak peduli kalau kau bosku, dan tidak peduli kalau kau mau pecat aku sekarang. Tapi porca miseria juga kamu! Aku sudah lama menahan diri!”
Ia berdiri marah, meraih tasnya, dan melangkah ke lift. Untung pintunya langsung terbuka. Ia masuk tanpa menoleh meski mendengar Issa memanggil namanya. Ia tidak peduli lagi.
Masih terbakar amarah, Dasha menabrak seseorang begitu keluar dari lift. Lelaki itu tersenyum ramah.
“Ini es kopimu. Biar kepala dingin sedikit, Dasha,” katanya. Namanya Colin, karyawan dari departemen pemasaran di lantai delapan.
Dasha menerima minuman itu dan meneguknya. Entah kenapa, rasa marahnya perlahan reda. “Terima kasih,” katanya tulus.
Entah kenapa, ia merasa ringan berada di dekat pria itu. Padahal baru bertemu beberapa menit.
“Kenapa ya, aku merasa nyaman denganmu?”
“Mungkin karena aku tampan,” Colin menjawab sambil tersenyum.
“Hah?”
“Kau bilang keras-keras barusan,” sahutnya dengan tawa kecil. Dasha menepuk dahinya, malu setengah mati.
“Dasar, percaya diri sekali. Tapi ya, serius. Aku merasa tenang di dekatmu. Dan jangan GR, aku tidak bilang kau tampan.” Padahal sebenarnya, pria itu memang tampan, tapi entah mengapa tidak membuat jantungnya berdebar seperti saat bersama Issa.
“Mungkin kita memang punya koneksi tertentu,” jawab Colin, seolah penuh rahasia.
Dasha hendak membalas, tapi tiba-tiba seseorang menarik lengannya keras-keras.
“Apa-apaan ini!” protesnya. Ia menoleh Issa.
Colin memanggilnya, “Dasha!” tapi Dasha tidak ingin memperkeruh suasana. “Maaf, Colin! Sampai jumpa nanti! Ada orang kurang ajar yang mengganggu saja!” katanya cepat, lalu menuruti tarikan Issa.
Mereka turun ke parkiran bawah tanah. Issa menyuruhnya masuk ke mobil.
“Ke mana kita?” Dasha menatapnya dengan tangan disilangkan. Ia enggan masuk. Siapa tahu mobil ini sudah dipakai untuk para “tamu” Issa yang lain.
“Masuk ke mobil, Dasha,” ucap Issa tegas.
“Dan kau siapa untuk memerintahku begitu?”
“Aku bosmu, Dasha Graves.”
Dasha tertawa pahit. “Baiklah.”
Ia masuk ke sisi penumpang, menyembunyikan seluruh ekspresi wajahnya. Issa mulai mengemudi tanpa menjelaskan ke mana mereka pergi. Sudah berjam-jam di jalan, hingga akhirnya Dasha tidak tahan.
“Kita mau ke mana, TUAN?”
“Diam dan biarkan aku menyetir.” Ia tak peduli nada sarkasme Dasha.
Dasha hanya bersedekap, diam dengan hati penuh amarah. Lama-lama kantuk menyerangnya, dan akhirnya ia tertidur di perjalanan.
**
“Dasha.” Suara lembut mengguncangnya.
“Hm.” Ia membalik badan, malas membuka mata.
“Dasha.” Lagi-lagi tepukan di pipi.
“Berhenti! Sakit tahu!” sergahnya.
“Tss. Kau ini tidur atau mati.”
“Menjauh dariku, Issa. Aku muak melihat wajahmu.”
“Mulutmu itu,” balasnya datar.
“Mulutmu itu,” tiru Dasha sinis. “Aku tidak peduli! Sialan!” Ia mendorong tubuh Issa agar bisa keluar dari mobil dan begitu kakinya menapak tanah, matanya membulat.
“Kenapa kita di rest house-mu?!” serunya. Tapi Issa tidak menjawab, hanya berjalan masuk ke dalam rumah.
“Issa! Aku tanya, kenapa kita di sini?!”
“Bicara,” jawabnya pendek.
“Bicara? Di rest house milikmu? Kau pikir aku bodoh?!”
“Dasha, tolong jangan teriak. Kita cuma berdua di sini. Aku tidak mau kupingku sakit.” Ia tetap tenang, seolah tidak baru saja menculik orang.
Dasha menghela napas panjang, sadar tidak ada gunanya berteriak. “Kau tahu, aku sibuk. Aku punya pekerjaan sebagai sekretarismu, punya urusan lain juga. Jadi, tolong, mari pulang.”
“Kita akan tinggal di sini selama seminggu. Jangan buang waktu mencoba kabur. Dylan dan sekretarisnya yang mengurus kantor sekarang, jadi jangan khawatir. Kita bicarakan nanti. Sekarang beristirahatlah. Kau bisa tidur di kamar sebelah. Barang-barangmu masih ada di kamarku.” katanya sambil menaiki tangga.
Dasha melongo. Barang-barangnya masih di sana? Kenapa? Ah, mungkin lelaki itu belum sempat membuangnya.
Ia pun naik ke lantai dua dan masuk ke kamar sebelah. Rumah itu sederhana, dua lantai, dua kamar tidur satu utama, satu dengan dua ranjang kecil. Cukup untuk keluarga kecil yang ingin hidup damai.
Ia tersenyum getir. Terlintas kenangan ketika mereka dulu membeli rumah ini bersama. Segera ia menggeleng, mengusir ingatan itu.
Dasha melepas sepatunya, lalu turun ke kamar mandi bawah untuk mencuci muka. Untung ia tidak berpapasan dengan Issa. Setelah itu, ia langsung ke tempat tidur.
Ia lelah. Matanya berat. Ia mencoba melupakan semuanya, kantor, wanita-wanita Issa, amarah, dan sakit hati.
Dan perlahan, ia tertidur.