SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 — Bayangan di Loker
Udara di koridor loker itu terasa jauh lebih dingin dari udara di ruangan beton tadi. Kelembaban ekstrem dan bau karat yang tajam menusuk indra penciuman Reina. Setiap langkah kaki mereka di lantai keramik yang retak terasa seperti pukulan palu di keheningan.
“Rei, ini gila. Ini sekolah, tapi bukan sekolah kita,” bisik Zio, kameranya bergetar di tangannya. Lampu kecil dari viewfinder adalah satu-satunya sumber cahaya modern di tempat yang terasa seperti era yang berbeda.
“Ini dimensi yang Daren bilang. Yang menyesuaikan diri,” jawab Reina. Ia berusaha menjaga suaranya tetap stabil, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
Tangisan itu. Itu nyata, jelas, dan datang dari depan. Tangisan itu kini terdengar seperti rengekan yang memohon.
Reina mulai berjalan di antara deretan loker-loker berkarat itu. Setiap loker memiliki nomor yang tercetak kusam, dan Reina menyadari tidak ada satu pun nomor yang berurutan. Semuanya acak.
“Tujuh belas. Dua ratus empat. Delapan belas. Tiga ratus dua puluh satu,” Zio membaca angkanya dengan gugup. “Ini nggak masuk akal.”
“Mungkin ini nomor siswa yang pernah masuk ke sini,” gumam Reina. Ide itu membuatnya merinding. Apakah setiap loker ini mewakili ‘arsip’ dari jiwa yang terjebak?
Mereka berjalan sekitar tiga puluh meter ke dalam koridor yang tak berujung itu. Di sana, di tengah-tengah loker, cahaya bohlam kusam itu semakin redup.
Tangisan itu berhenti.
Keheningan yang tiba-tiba datang jauh lebih menakutkan daripada suara tangisan. Itu adalah keheningan predator, yang mengintai.
“Kenapa dia berhenti?” bisik Zio, menarik kerah hoodie-nya lebih tinggi.
“Diam, Zio.” Reina mengangkat tangan, menghentikannya. Instingnya berteriak ada sesuatu yang salah.
Di depan mereka, sekitar lima meter lagi, ada sebuah loker yang berbeda. Nomornya tidak terlihat. Loker itu terlihat lebih tua, lebih gelap, dan yang paling mengerikan—di bawahnya, di lantai keramik yang retak, ada genangan kecil cairan yang terlihat hitam pekat di bawah cahaya redup.
Saat mereka mendekat, Reina melihat loker itu dengan jelas. Catnya sudah terkelupas total, dan dari sudut atasnya, ada tetesan cairan pekat yang turun perlahan.
“Itu... itu darah, Rei?” tanya Zio, suaranya tercekat. Ia mengangkat kameranya, tapi tangannya terlalu gemetar untuk mengambil foto yang jelas.
Reina tidak menjawab. Ia hanya fokus pada loker itu. Bau besi dan karat yang ia cium sejak masuk lift kini terkonsentrasi di satu titik itu.
Ia maju selangkah.
“Rei, jangan. Kita nggak tahu apa yang ada di dalamnya,” Zio memohon, mencengkeram lengan Reina.
“Aku harus tahu. Kakakku...”
“Dia mungkin nggak di situ, Rei! Ini mungkin ilusi!”
Namun, Reina sudah tidak bisa menahan diri. Rasa ingin tahu, rasa bersalah, dan kerinduan pada Aksa telah menjadi bahan bakar yang membakar logikanya.
Ia mengabaikan Zio, mengulurkan tangan ke arah pintu loker yang basah oleh tetesan hitam itu. Tangannya gemetar, tapi ia harus melakukannya.
Ia meraih pegangan yang sudah berkarat. Terasa dingin dan licin.
Reina menariknya.
Pintu loker terbuka dengan suara gesekan besi tua yang memekakkan telinga. Suara itu bergema di koridor loker yang panjang dan sepi, seolah-olah koridor itu sendiri berteriak.
Reina memejamkan mata sejenak, takut melihat mayat atau sesuatu yang mengerikan.
Ia membuka matanya.
Loker itu tidak kosong.
Di dalamnya, tidak ada mayat, tidak ada organ, atau darah segar. Hanya ada satu objek, tergeletak di rak loker yang kotor.
Itu adalah sebuah foto. Foto yang sudah lusuh, tertekuk di bagian sudut, dan memiliki noda kecoklatan yang samar.
Reina mengambil foto itu dengan hati-hati. Foto itu terasa dingin dan lembap di tangannya.
Foto itu adalah dirinya. Reina yang masih berusia tujuh tahun, dengan gigi ompong di bagian depan, sedang tertawa lebar. Ia mengenakan bando dengan motif bunga-bunga.
Dan di sebelahnya, berdiri Aksa. Aksa muda, memeluk adiknya erat-erat, wajahnya dipenuhi kebahagiaan. Di belakang mereka, terlihat taman bermain yang penuh warna, di bawah langit musim panas yang cerah.
Foto yang sangat biasa.
Tapi bagi Reina, foto ini adalah bom atom.
Foto ini adalah salah satu kenangan terindahnya, kenangan yang sering ia lihat dalam tidurnya.
Masalahnya, foto ini diambil di rumah nenek mereka di luar kota, di sebuah taman yang sudah ditutup bertahun-tahun yang lalu. Dan yang lebih penting—foto ini tersimpan rapi di dalam album foto keluarga di rumahnya, di laci paling atas kamarnya.
Foto ini tidak pernah ada di SMA Adhirana.
Dan pasti tidak pernah ada di loker berdarah di lantai tujuh yang tidak ada.
Tenggorokan Reina tercekat. Itu adalah ilusi, ilusi yang sangat personal.
Lantai ini tahu apa yang ia pedulikan.
Ia membalik foto itu, berharap menemukan pesan. Di bagian belakang, yang hanya berupa karton buram, ia menemukan tulisan tangan. Tulisan tangan yang sangat ia kenal.
Tulisan tangan Aksa.
Hanya ada dua kata, ditulis dengan pensil:
“Kau harus pergi.”
Reina memegang foto itu erat-erat di dadanya, air matanya mulai menggenang. Ini bukan jebakan. Ini adalah pesan. Pesan dari Aksa.
Kau harus pergi.
Tiba-tiba, ia mendengar suara.
Klek... Klek... Klek...
Suara langkah kaki. Bukan langkah yang cepat atau terburu-buru. Melainkan langkah yang diseret, lambat, dan berat. Itu datang dari belakang mereka. Dari lorong yang baru saja mereka lewati.
Reina berbalik dengan cepat.
Koridor itu gelap. Ia tidak bisa melihat apa-apa di ujung lorong tempat mereka masuk.
“Zio,” panggil Reina, suaranya bergetar. “Dengar itu?”
Klek... Klek...
Suara itu semakin mendekat. Tidak terlihat siapa pun. Hanya suara gesekan kaki di lantai keramik.
Reina mencengkeram foto itu, matanya terpaku pada kegelapan. Ia bisa merasakan sesuatu yang dingin dan berat bergerak ke arah mereka.
“Zio, mana kameramu? Nyalakan flash-nya!” perintah Reina.
Reina menoleh ke samping.
Di sana, di tempat Zio berdiri setengah menit yang lalu—tidak ada siapa-siapa.
“Zio?”
Hanya ada keheningan. Tidak ada Zio, tidak ada kameranya, tidak ada napasnya, tidak ada jejak sepatunya.
Zio hilang.
Bukan hilang secara perlahan. Dia hilang dalam sekejap mata. Sama cepatnya dengan munculnya foto itu.
Jantung Reina kini berdetak gila-gilaan. Rasa takut yang sesungguhnya akhirnya melandanya, mematikan logikanya.
“Zio! Jawab aku! Ini nggak lucu!” seru Reina, suaranya pecah.
Hanya keheningan yang menjawab. Dan suara gesekan kaki itu.
Klek... Klek... Klek...
Kini, suara itu terdengar sangat dekat. Di belakang loker tempat ia berdiri.
Reina memejamkan mata, memohon agar ini semua hanya ilusi. Ia membuka mata, dan ia melihat genangan darah di bawah loker itu. Cairan hitam itu kini terlihat lebih merah di bawah cahaya bohlam, dan ia melihat tetesan baru jatuh dari atas.
Klek...
Suara itu ada di sebelahnya.
Reina tidak berpikir. Ia membalikkan badan dan lari.
Ia lari sekuat tenaga, kembali ke arah lift. Ia tidak peduli pada suara yang menyeret itu, tidak peduli pada loker-loker yang menyaksikannya. Yang ia tahu, ia harus kembali ke lift. Itu satu-satunya jalan keluar.
Saat ia berlari, ia merasakan udara di sekelilingnya tiba-tiba berubah. Loker-loker berkarat itu menghilang. Koridor itu kembali menjadi ruangan beton yang basah dan luas.
Dimensi itu berubah bersamanya.
Ia melihat bayangan samar lift di kejauhan, hanya titik kuning bohlam yang berjarak ratusan meter.
Reina terus berlari, napasnya tersengal-sengal, air matanya mengaburkan pandangan. Ia memeluk foto Aksa di dadanya.
Kau harus pergi.
Sampai ia sampai di dinding yang tadi memuat plakat "PROYEK VOID EKSPERIMENTAL."
Ia tersandung, lututnya membentur beton yang basah.
Reina mendongak, melihat ke tempat plakat itu.
Plakat itu hilang. Dindingnya hanya berupa semen basah.
Dan di depannya, lift itu telah menghilang. Hanya ada dinding beton yang solid.
Lift yang membawanya ke sini, telah pergi.
Reina berteriak. Bukan teriakan takut, melainkan teriakan frustrasi dan keputusasaan yang tertahan. Ia sendirian. Aksa menyuruhnya pergi. Zio hilang. Dan jalan keluarnya sudah tidak ada.
Saat ia menunduk, Reina menyadari ia tidak lagi berada di ruangan beton itu. Ia berada di lantai tiga Gedung Lama.
Lampu neon yang berkedip-kedip. Bau pembersih lantai. Pintu lift yang tertutup rapat, stabil, dan mati.
Ia telah kembali.