NovelToon NovelToon
Janji Di Atas Bara

Janji Di Atas Bara

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Balas Dendam / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.

Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.

Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.

"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.

Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 3

Kini Irvan sudah berpindah ke ruang buku sesuai perintah Nenek Ratna. Rak-rak kayu tua penuh buku berjajar rapi, beberapa masih berdebu seolah jarang tersentuh. Irvan berdiri di depan salah satunya, sibuk menyusun buku sesuai urutan, ketika tiba-tiba suara dehem lembut terdengar dari arah pintu.

"Ehem..."

Irvan sontak berbalik cepat. Jantungnya berdegup kencang begitu melihat Raisa berdiri di sana, wajahnya dihiasi senyum hangat.

"Hai..." sapa Raisa ringan.

"Y-ya, hai..." balas Irvan gugup, matanya sekilas bertemu tatapan Raisa sebelum buru-buru kembali sibuk merapikan buku.

Raisa memperhatikan gerak-geriknya, bibirnya melengkung tipis. Hening sesaat, lalu ia kembali membuka suara.

"Kau sangat dekat dengan Nenek, ya?" tanyanya lembut, seolah ingin mencairkan suasana.

Irvan hanya menoleh sebentar, tersenyum singkat, lalu menjawab, "Iya."

Raisa melangkah perlahan, pandangannya menyapu rak-rak tinggi sebelum kembali menatap Irvan.

"Hmm... kau suka membaca juga?" tanyanya sambil mendekat.

Irvan mengangkat bahu pelan. "Kadang. Kalau sempat."

Raisa tersenyum tipis, lalu memperhatikan caranya menata buku yang terlalu hati-hati. "Kau selalu seteliti ini dalam segala hal?"

Irvan terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Mungkin--- Iya."

Raisa terkekeh kecil. "Lucu sekali jawabanmu. Seolah kau takut salah bicara."

Irvan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku--- tidak terbiasa banyak ngobrol."

"Oh begitu---" Raisa menautkan alisnya, pura-pura berpikir. "Lalu--- apa kau tidak pernah punya teman perempuan sebelumnya?"

Pertanyaan itu membuat tangan Irvan berhenti sejenak di atas buku yang hendak disusunnya. Ia menunduk, wajahnya agak memerah. "T-tidak---" jawabnya lirih.

Raisa menatapnya lekat, matanya berbinar geli sekaligus penasaran. "Benarkah? Jadi--- aku perempuan pertama yang bicara cukup lama denganmu?"

Irvan menelan ludah, lalu mengangguk pelan tanpa berani menatap matanya.

Raisa terkekeh lagi, kali ini lebih lepas. "Kau benar-benar unik, Irvan."

Irvan hanya bisa tersenyum canggung, sementara telinganya mulai terasa panas.

Raisa bersandar ringan di meja kayu dekat rak, matanya tak lepas dari wajah Irvan yang masih sibuk pura-pura merapikan buku. Senyumnya samar, lalu ia berkata pelan,

"Kau sungguh aneh--- aku ingat saat pertama kali kita bertemu di depan perpustakaan. Kau sering duduk di bangku panjang itu, kan?"

Irvan berhenti sejenak, tangannya menggenggam punggung buku lebih erat. Ia mengangguk pelan tanpa menoleh. "Iya---"

Raisa mengingat dengan jelas, matanya berbinar saat menatapnya. "Dulu--- kau justru banyak bicara. Tentang buku, tentang mimpi, bahkan hal-hal kecil yang kulihat sepele. Tapi sekarang---" ia menatapnya penuh arti, "kau lebih banyak diam."

Irvan tersenyum canggung, matanya menunduk. "Aku--- mungkin waktu itu tidak sadar sedang terlalu banyak bicara."

Raisa terkekeh kecil. "Dan sekarang sadar, lalu jadi gugup begini?"

Irvan menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. "Aku--- tidak tahu. Mungkin, ya."

Suasana hening sesaat. Raisa menatapnya lama, senyumnya tak hilang. Ada sesuatu dalam cara Irvan menunduk itu yang membuatnya semakin ingin menggali.

"Kau tahu, Irvan---" ucap Raisa lembut, "aku lebih suka versi dirimu yang dulu. Yang berani bercerita apa saja tanpa takut terlihat aneh."

Irvan akhirnya menoleh, matanya bertemu tatapan Raisa. Ada getaran aneh di dadanya, membuat kata-katanya keluar terbata, "Kalau--- kalau aku mulai bicara banyak lagi, apa kau tidak akan bosan?"

Raisa tersenyum manis, kepalanya sedikit dimiringkan. "Tidak. Justru aku menunggu itu."

Raisa melangkah pelan, kini berdiri tak jauh dari Irvan. Tatapannya lembut, namun juga penuh rasa ingin tahu.

"Irvan---" panggilnya pelan.

"Iya?" jawab Irvan cepat, seakan takut Raisa marah.

Raisa menatap lurus ke matanya. "Kenapa kau secanggung ini sekarang? Dulu kau bisa bicara apa saja dengan mudah, bahkan tanpa kupancing pertanyaan. "Tapi sekarang--- kau seperti menutup diri."

Irvan terdiam lama. Kedua tangannya menggenggam buku yang sama dari tadi, seolah itu satu-satunya pegangan agar tak semakin gugup. Akhirnya ia menarik napas panjang.

"Aku--- berbeda sekarang karena---" suaranya tertahan, lalu ia memaksakan diri untuk melanjutkan, "karena kau bukan gadis biasa, Raisa."

Raisa mengerutkan kening, lalu tersenyum samar. "Maksudmu?"

Irvan menunduk, suaranya nyaris berbisik. "Kau anak ketua partai utama di kota ini. Semua orang mengenal keluargamu. Sementara aku--- hanya Irvan. Seorang pemuda biasa, yang tak pernah tahu bagaimana harus bersikap di hadapan seseorang sepertimu."

Raisa menatapnya dalam diam. Hatinya sedikit tergetar mendengar kejujuran itu, bukan karena statusnya disebut, melainkan karena cara Irvan mengatakannya begitu polos.

"Jadi---" itu alasanmu jadi kaku? Karena kau pikir aku--- terlalu tinggi untukmu?" tanya Raisa, kali ini lebih serius.

Irvan mengangkat wajahnya perlahan, menatap sekilas sebelum buru-buru mengalihkan pandangan. "Iya. Aku takut salah bicara. Takut terlihat--- tidak pantas."

Raisa terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis. "Padahal, aku lebih suka kau yang apa adanya. Yang dulu, di bangku depan perpustakaan."

Raisa maju lebih dekat lagi, hingga jarak mereka tak sejauh tadi. Tatapannya serius tapi lembut, membuat Irvan semakin salah tingkah.

"Tapi... Aku sering melihatmu kalau bersama Nenek Ratna. Kau bisa tertawa lepas, bercerita panjang, bahkan terlihat sangat riang dan apa adanya. Tapi kenapa-- saat bersamaku kau jadi seperti ini? Canggung, hati-hati, seolah takut sekali salah langkah."

Irvan menelan ludah, jemarinya gelisah memutar buku di tangannya. "Karena-- Nenek Ratna berbeda. Beliau sudah mengenalku sejak kecil, tahu semua kebodohan dan kekuranganku. Aku tak perlu menyembunyikan apa pun darinya."

Ia berhenti sejenak, lalu menunduk dalam. Suaranya terdengar lirih. "Tapi kau, Raisa-- aku baru mengenalmu. Dan aku tahu siapa Papamu, status kita berbeda, Raisa."

Raisa terdiam. Tatapannya melembut, lalu senyumnya perlahan muncul. "Jadi, kau lebih memikirkan status daripada jadi dirimu sendiri?"

Irvan menoleh sekilas, wajahnya memerah. "Aku-- aku hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana."

Raisa menatapnya lama, seakan ingin membaca isi hatinya. Lalu dengan suara lembut namun mantap ia berkata, "Ya sudah, kalau begitu, anggap saja aku seperti Nenek Ratna. Anggap saja aku orang yang bisa mendengarkan ceritamu."

Irvan masih terdiam. Kata-kata Raisa menggema di kepalanya, tapi lidahnya kelu. Ia menatap lekat wajah gadis itu, tanpa sadar matanya menyimpan kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan.

Dalam hatinya, ia heran__bagaimana mungkin seorang putri dari keluarga terpandang bisa bersikap sesederhana ini? Raisa tidak pernah menyinggung status, tidak merendahkan dirinya, justru sebaliknya, memberi ruang yang menenangkan.

Irvan hendak membuka suara. Nafasnya teratur, seolah mengumpulkan keberanian. Namun sebelum kata-kata itu sempat keluar, suara langkah tergesa memecah suasana.

Seorang pembantu muncul di ambang pintu. "Nona Raisa, maaf mengganggu-- Tuan memanggil Anda ke bawah."

Raisa menoleh cepat, lalu mengangguk. "Baik, sebentar lagi saya turun."

Ia kembali menatap Irvan sejenak, matanya memberi isyarat seakan masih ada yang ingin ia katakan. "Kita lanjutkan nanti, ya." ucapnya singkat, tersenyum samar sebelum beranjak keluar.

Irvan hanya mampu menatap punggung Raisa yang menjauh, bibirnya hampir berucap namun tertahan. Ia menarik napas panjang, merasakan ruang buku itu tiba-tiba kembali hening__menyisakan degup jantungnya yang belum juga tenang.

...----------------...

Next Episode...

1
Deyuni12
dikit amaaaaat
Miss Ra: siaaaap
total 3 replies
Deyuni12
complicated
oh cintaaaa
Deyuni12
sungguh memilukan
Deyuni12
hadeeeeh
kumaha ieu teh atuh nya
Kutipan Halu
mampir kak, mampir jg ya ke karyaku "DIMANJA SAHABAT SENDIRI"☺☺
Deyuni12
lanjuuuut
Jee Ulya
Tapi kalau kebanyakan naratifnya, aku nggak bisa nafas. hihi😁
Jee Ulya
Nyampeee, Aromanyaaa nyampe siniii kaaaak😍😍😍
Jee Ulya: luv banyaak banyaaak
total 4 replies
Jee Ulya
😭😭😭😭 bagus bangettt
Jee Ulya
Aaah diksinyaaaa bikin meleleeeh 😭😭😭
Deyuni12
agaiiiiiin
Deyuni12
lagiiiiii
Deyuni12: d tungguuuu
total 2 replies
Deyuni12
makin penasaran dengan kisah cinta mereka n juga mungkin dendam d masa lalu antara kedua org tua mereka,,hm
lanjut
Deyuni12
hancurkaaaaan
Deyuni12
cinta 🥺🥺🥺
Deyuni12
huft 🥺🥺
Deyuni12
pertikaian dua sahabat kental,berujung kepahitan yg d dapat irvana,,hm
Deyuni12
jeng jeng jeeeng
badai akan segera d mulai
Deyuni12
memadu kasih
hm
lanjut
Deyuni12
hm
haruskah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!