Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LUKA YANG TAK PERNAH HILANG
Langit Jakarta sore itu seperti kaca yang retak — oranye, abu-abu, lalu gelap. Dari jendela lantai tiga puluh Dirgantara Tower, Arif Dirgantara berdiri mematung menatap gemerlap lampu di bawah sana. Suara mesin pendingin berdesir pelan, jam digital di meja menunjukkan pukul tujuh malam. Semua staf sudah pulang, hanya satu ruangan besar yang masih menyala.
Di atas meja kerjanya, bersanding dengan dokumen dan laptop, tergantung satu foto lama — Retno Kinasih dalam kebaya putih, tersenyum dengan mata yang selalu tampak hidup. Bingkai itu sudah berdebu di sudutnya, tapi tak pernah bergeser sedikit pun sejak hari Retno menghilang.
Arif menyentuh kaca foto itu pelan.
“Sepuluh tahun, Retno…”
Suaranya parau. “Sepuluh tahun dan aku masih nggak tahu ke mana kamu pergi.”
Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam.
Di balik ketegasan dan kesuksesannya, hatinya telah menjadi museum dari masa lalu yang tak mau ditinggalkan.
Di luar, Jakarta terus berputar.
Perusahaan Dirgantara Group kini makin besar — ekspansi ke energi, properti, investasi digital. Arif, di usia empat puluh dua, disebut-sebut sebagai “generasi penerus emas keluarga Dirgantara.”
Namun, di balik itu semua, ia tetap sendirian.
Sejak kecelakaan itu, tak ada hari tanpa pencarian. Ia pernah menyewa detektif swasta, bekerja sama dengan kepolisian, bahkan menyebar poster tanpa nama ke berbagai rumah sakit dan panti sosial di Jawa Tengah. Semua nihil. Retno lenyap seperti ditelan bumi.
Tapi ia tetap percaya — entah kenapa, keyakinan itu tak pernah padam. Mungkin karena hatinya menolak menerima bahwa cinta sebesar itu bisa berakhir tanpa tanda.
Suatu malam, Arif duduk di ruang keluarga rumah besar di Menteng, bersama ibunya, Diah Ningrum.
Wanita itu masih anggun meski rambutnya mulai memutih, tapi wajahnya kini sering tampak lelah. Ia menatap anaknya lama, sebelum bicara pelan.
“Nak, sepuluh tahun itu bukan waktu yang sebentar. Kamu sudah cukup berduka. Retno… mungkin memang bukan untukmu.”
Arif menatap ibunya, tanpa menjawab.
“Aku tahu kamu masih mencarinya. Tapi lihat dirimu. Umurmu makin bertambah, kerja kerasmu berlebihan. Perusahaan ini perlu pewaris, keluarga kita perlu penerus. Kamu butuh istri, Arif.”
Arif menunduk.
“Bu, aku nggak menikah bukan karena aku nggak mau. Tapi karena aku nggak bisa.”
“Ratna itu baik. Dia sabar nunggu kamu. Keluarganya juga dekat dengan kita. Wiradana Capital sudah lama kerja sama dengan Dirgantara Group. Pernikahan itu bukan cuma soal perasaan, Nak, tapi juga tanggung jawab.”
Arif menghela napas panjang.
“Tanggung jawab apa, Bu, kalau hatiku sudah nggak bisa dibagi?”
Nada suaranya lembut, tapi tegas. Ibunya terdiam sejenak, lalu menatapnya penuh iba.
“Arif… kamu pikir Retno mau lihat kamu begini? Setiap malam sendiri, tenggelam dalam kerja, nggak punya kehidupan lagi?”
Arif tersenyum pahit.
“Retno yang aku kenal nggak akan marah aku menunggu. Dia pasti ngerti.”
Diah Ningrum menunduk, menyeka air matanya diam-diam. Ia tahu, hatinya kalah — bukan oleh keras kepala anaknya, tapi oleh cinta yang tak bisa ia lawan.
Beberapa hari kemudian, di ruang rapat utama Dirgantara Group, Ratna Wiradana datang bersama ayahnya — Surya Wiradana, salah satu pengusaha besar sektor investasi. Mereka membicarakan rencana kerja sama ekspansi proyek energi hijau.
Ratna duduk berhadapan dengan Arif. Wajahnya lembut, cara bicaranya halus. Ada ketulusan di matanya, tapi juga kelelahan — mungkin karena bertahun-tahun menunggu seseorang yang hatinya tertambat di tempat lain.
“Mas Arif,” katanya perlahan, “aku tahu selama ini aku cuma dianggap rekan bisnis. Tapi kadang aku cuma ingin kamu tahu… aku nggak keberatan menunggu.”
Arif terdiam. Pandangannya kosong, tapi suaranya pelan.
“Ratna, kamu perempuan baik. Siapa pun laki-lakinya beruntung kalau bersamamu. Tapi aku bukan orang itu.”
Ratna tersenyum kecil, tapi matanya berkaca.
“Sampai kapan kamu mau begini?”
“Sampai hatiku berhenti yakin dia masih hidup.”
Ucapan itu menggantung lama di udara, menembus dinding marmer dan udara dingin kantor. Ratna akhirnya bangkit, lalu berkata lembut,
“Kalau begitu, semoga kamu nggak menyesal saat nanti kesempatanmu hilang.”
Dan ia pergi, meninggalkan ruang rapat yang kembali sunyi.
Malamnya, Arif menatap kota Jakarta dari balkon apartemennya. Hujan gerimis turun, dan aroma tanah basah mengingatkannya pada sesuatu — aroma yang sama dari malam saat Retno pamit terakhir kali, ketika mereka masih tinggal di rumah kecil di Menteng Atas, jauh sebelum keluarga besar ikut campur.
Ia membuka kotak kecil di meja — di dalamnya, tersimpan bros kecil berbentuk melati. Satu-satunya barang yang tersisa dari Retno setelah ia menghilang.
“Retno… kalau kamu dengar, aku belum berhenti. Aku belum bisa berhenti.”
Air matanya jatuh, tapi tak sempat diseka. Ia menatap ke langit yang basah, lalu berbisik pada dirinya sendiri.
“Mungkin aku nggak bisa nyelamatin kamu waktu itu. Tapi aku bisa terus hidup dengan cara yang kamu impikan.”
Beberapa bulan kemudian, saat rapat pengurus diadakan di lantai 10, Arif memperkenalkan proyek barunya.
“Saya ingin perusahaan ini punya cabang sosial yang nyata — bukan sekadar CSR untuk pajak atau pencitraan. Kita akan dirikan yayasan pendidikan untuk anak-anak kurang mampu.”
Ruangan mendadak hening.
“Yayasan ini akan saya beri nama Kinasi.”
Nama itu membuat beberapa orang saling menatap, tapi Arif hanya tersenyum tipis.
“Kinasi adalah nama yang punya makna… kasih yang tidak padam.”
Dan begitu keputusan itu diresmikan, Yayasan Kinasi berdiri — lembaga yang kelak akan menjadi jembatan takdir bagi dua jiwa yang selama ini dipisahkan waktu.
Di rumahnya malam itu, Diah Ningrum memandangi proposal yayasan di tangan Arif.
“Kamu serius dengan ini?”
“Sangat, Bu. Ini mimpi Retno dulu. Dia pernah bilang ingin bikin sekolah gratis untuk anak-anak kecil di pelosok. Aku cuma melanjutkan.”
Diah menatap anaknya lama.
“Kalau begitu, pergilah, Nak. Lakukan. Tapi jangan terus berharap hal yang sama.”
Arif hanya tersenyum.
“Harapan itu satu-satunya yang bikin aku masih bisa bernapas.”
Beberapa minggu kemudian, sekretaris pribadinya datang membawa daftar daerah tujuan survei pertama yayasan. Arif membaca cepat — satu nama membuat langkahnya terhenti.
Kabupaten Pemalang, Desa Gumalar.
“Gumalar?” ulangnya pelan.
Ia menatap jauh ke luar jendela, hatinya bergetar aneh.
“Entah kenapa, aku merasa harus pergi sendiri kali ini.”
Dan di waktu yang sama, jauh di kaki Gunung Slamet, seorang perempuan bernama Sari Retnowati bermimpi tentang menara tinggi dan pria bermata teduh yang memanggil namanya dalam kabut.
“Retno…”
Ia terbangun dengan napas terengah, keringat membasahi pelipis.
Tapi kali ini, ia tidak lupa — samar, tapi jelas, satu kata muncul di kepalanya.
Dirgantara.
menarik