Membawa Lari Benih Sang Mafia

Malam telah larut, tetapi ketegangan di kamar Alex belum juga mereda. Elise mondar-mandir seperti setrikaan listrik, sementara Alex duduk nyaman di tempat tidurnya, fokus pada iPad pemberian Diego.

Jari-jari kecilnya lincah menari di layar, mengendalikan sebuah program kompleks yang hanya ia yang mengerti.

“Bagaimana ini? Argh, kenapa semua jadi begini sih!” Elise mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Ia ingin berteriak, tetapi takut dianggap orang gila di mansion ini.

Alex memutar bola mata dengan malas. Tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad, Alex menyindir.

“Kalau nama terus mondar-mandir, kaki mama bisa patah. Duduklah. Getaran lantai ini mengganggu konsentrasiku,” ucapnya dengan santai.

“Astaga, bocah ini!” geram Elise segera menghampiri Alex, lalu duduk di tepi ranjang dan meraih tangan putranya. “Mama harus apa, Sayang? Ayo bantu mama. Mama tidak mungkin mencari suami sewaan!”

Elise menekankan kata ‘sewaan’ menyadari betapa bodohnya kebohongan awal itu.

Alex akhirnya meletakkan iPad-nya, menatap Elise dengan sorot mata yang kelewat dewasa untuk usianya.

“Salah sendiri kenapa mama harus berbohong? Pakai bilang saling mencintai segala. Menggelikan. Padahal, mama tidak punya suami,” ejek Alex, alih-alih memberikan saran, ia justru terus memojokkan ibunya.

“Kau dulu yang membuat semua kebohongan ini, Alex. Kau lupa di rumah sakit bilang apa?” balas Elise, nadanya memelas.

Alex tak merespons, merasa bersalah. Memang benar, waktu di rumah sakit ia yang mengatakan punya Papa. Mana Alex tahu kalau semuanya akan jadi serumit ini, melibatkan Diego yang tidak bisa disentuh.

“Lebih baik mama katakan saja sejujurnya kalau selama ini mama belum menikah. Dan aku lahir karena—”

“Ssstt!”

Belum sempat Alex menyelesaikan ucapannya, Elise sudah lebih dulu membungkam bibir putranya dengan telapak tangan.

Alex tidak boleh keceplosan. Elise yakin, di setiap sudut kamar ini banyak CCTV tersembunyi, dan bahkan, di mansion mafia seperti ini, dinding sekalipun punya telinga.

“Jangan bicara yang aneh-aneh. Ingat, jaga rahasia kita,” bisik Elise tegas.

Alex mengangguk, matanya menunjukkan pemahaman penuh. Alex sudah tahu semua rahasia Elise. Elise sudah mengatakan semuanya.

Bahwa Alex adalah benih curian yang ditanam di rahim wanita itu.

Lalu, apakah Alex membenci Elise? Jawabannya adalah tidak.

Alex justru bersyukur karena lahir dari rahim wanita ini, meskipun mamanya itu sering sembrono, teledor, dan payah dalam urusan manajemen krisis.

Alex meraih kembali iPad-nya dan mulai mengetik cepat. “Tadi mama terlalu panik. Padahal, mama bisa bilang kalau mama butuh waktu untuk berpikir dan meminta izin untuk pergi keesokan harinya,” ucapnya sambil menoleh sekilas ke arah Elise.

“Jangan khawatir soal cctv ruangan ini, Mama. Sistem keamanan mansion ini buruk. Aku sudah meng-hacknya saat Paman Jimmy pergi membelikanku es krim tadi.”

“Kau melakukan itu?”

“Aku bosan.”

Mata Elise melebar tak percaya. Putranya baru saja mengakui bahwa ia telah meretas sistem keamanan seorang mafia hanya demi menghilangkan rasa bosan.

**

Sementara itu, Diego dan Jimmy berada di ruang rahasia bawah tanah, memantau rekaman CCTV dari kamar Alex dan Elise.

“Sial, aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan!” geram Diego, memukul meja.

Gambar mereka terlihat, namun audio ruangan Elise mati total. Sebuah anomali teknis yang sangat jarang terjadi.

“Kenapa anda begitu penasaran dengan pembicaraan mereka, Sir?” tanya Jimmy. “Apa anda takut nona Elise benar-benar masih punya suami?”

“Tentu saja! Aku tidak akan membiarkan penawarku memiliki suami. Kalaupun ada Alex, aku memakluminya. Setidaknya Alex tidak bodoh dan cerdas sepertiku,” sergah Diego.

Tanpa sadar, senyum tipis terukir di bibirnya saat memikirkan kecerdasan anak itu.

“Andaikan saja benihnya itu hidup, mungkin sekarang usianya sudah sama seperti Alex,” gumam Diego, lebih kepada dirinya sendiri.

Jimmy menghela napas. Diego mengajaknya ke markas rahasia hanya untuk melihat ibu dan anak sedang bergosip?

“Bilang saja kalau Anda mulai menyukai nona bertompel itu, Sir. Pakai alasan penawar segala,” gumam Jimmy dalam hati sambil terkekeh geli. Ia tahu betul, tuannya sudah jatuh hati.

“Besok, perintahkan mata-mata untuk mengikuti ke manapun mereka pergi. Tadi Elise minta izin mengantar bocah itu ke sekolah sebelum memperkenalkan suaminya padaku,” ucap Diego, kembali serius.

“Lalu, urus Dokter Morelli juga. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku. Cari tahu apa yang terjadi enam tahun lalu di rumah sakit itu,” titah Diego tanpa mau dibantah.

“Baik, Sir,” ucap Jimmy.

Diego menatap Jimmy dengan serius. Ia baru sadar kalau wajah dan rambut asistennya itu acak-acakan parah.

“Ada apa dengan wajah dan rambutmu? Kau habis dicakar singa?” tanya Diego. Seketika tawanya pun pecah.

Dicakar singa apanya! Saya dicakar anak singa! balas Jimmy hanya dalam hati, menahan diri untuk tidak membalas.

“Wajah dan rambut saya tidak penting, Sir. Yang penting sekarang adalah orang tua anda,” ucap Jimmy, mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih serius.

“Ada apa dengan mereka?” tanya Diego, nada suaranya berubah tegang.

Jika sudah berhubungan dengan orangtuanya, pasti ada sesuatu yang tidak beres.

“Mereka meminta anda berkunjung. Setidaknya untuk sekedar menikmati makan malam bersama. Dan mereka ingin anda membawa Alex juga ibunya,” lapor Jimmy.

“Apa kau bilang?! Membawa mereka ke Indonesia?!” pekik Diego.

Darimana kedua orang tuanya tahu tentang Alex dan Elise? Perintah itu bukan hanya mengejutkan, tapi juga sebuah jebakan maut.

Jimmy tahu, klan Diego tidak pernah menerima sembarang orang masuk ke lingkaran keluarga. Elise dan Alex, tanpa mereka sadari, baru saja ditarik masuk ke dalam intrik keluarga mafia.