Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 : Sarapan ala Bom Waktu
Pagi pertama setelah pernikahan seharusnya penuh kehangatan. Suami-istri biasanya bangun dengan senyum, saling sapa manis, atau kalau di drama Korea, bangun tidur langsung tatap-tatapan romantis.
Tapi di rumah besar Adrian, kenyataan jauh berbeda.
Alira bangun lebih dulu, meski semalam ia sempat tidur gelisah karena kasurnya yang “terlalu empuk, sampai kayak tenggelam”. Begitu membuka mata, ia langsung punya ide "Hari ini aku akan bikin sarapan spesial buat suamiku. Biar dia tahu aku istri yang berbakat!"
Sayangnya, ada satu masalah besar Alira sama sekali tidak bisa masak.
“Telur, telur… gampang lah. Tinggal ceplok. Masa gagal?” gumamnya sambil berdiri di dapur yang super mewah itu.
Lima menit kemudian, asap tipis mengepul. Telur yang seharusnya sunny side up malah gosong di tepi, bagian tengahnya masih mentah. Alira meringis.
“Uh-oh… oke, nggak apa-apa. Tinggal kasih saus biar kelihatan estetik.”
Tak berhenti di situ, ia juga mencoba bikin nasi goreng. Entah kenapa hasilnya berwarna biru keunguan, mungkin karena ia salah menuang bumbu instan yang seharusnya dipakai untuk membuat dessert.
Dan untuk sup? Jangan ditanya. Warna kuahnya jadi pink. Ia sendiri nggak ngerti kenapa.
Setengah jam kemudian, meja makan penuh dengan “kreasi seni abstrak” yang ia sebut sarapan.
Adrian turun dari tangga dengan pakaian kerja rapi: kemeja putih, jas hitam, dasi abu. Wajahnya tenang, seperti biasa, tapi matanya langsung menyipit ketika melihat pemandangan di meja makan.
“…Apa ini?” suaranya datar, penuh kecurigaan.
Alira yang memakai celemek bergambar beruang, tersenyum bangga. “Taraaa! Sarapan buatan istri cantikmu!”
Adrian mendekat, menatap piring-piring itu dengan ekspresi seperti sedang menilai barang bukti kasus kriminal.
“Ini… makanan?”
“Ya iyalah! Masa lukisan? Ini telur cinta, nasi goreng pelangi, sama sup pink spesial. Semua penuh kasih sayang.”
Adrian menarik kursi, duduk, lalu menyilangkan tangan di dada. “Aku tidak akan makan ini. Aku punya rapat penting. Aku tidak bisa ambil risiko keracunan.”
Alira langsung manyun. “Ih, tega banget. Padahal aku bangun jam lima pagi demi bikin ini. Masa dicuekin gitu aja?”
Adrian berdiri lagi, mengambil cangkir kopi hitam buatan pembantu rumah tangga. “Lebih baik kamu tidur lagi daripada merusak dapurku.”
Alira spontan menepuk meja. “Oke! Mulai hari ini, aku punya misi bikin kamu makan masakanku sampai habis. Ingat kata-kataku, Tuan Es Batu!”
Adrian menoleh sekilas, lalu melangkah pergi dengan tenang. Sama sekali tidak menanggapi.
Tapi Alira tersenyum penuh tekad. “Hmm… liat aja nanti. Aku nggak akan kalah!”
Beberapa jam kemudian, Alira bosan sendirian di rumah besar itu. Ia berkeliling, menyentuh barang-barang mewah yang menurutnya lebih mirip museum daripada rumah.
“Wah, ini sofa mahal banget pasti. Kalau aku makan keripik di sini, kira-kira dimarahin nggak ya?” gumamnya sambil menjatuhkan diri ke sofa empuk.
Ia bahkan menemukan ruang kerja Adrian. Meja kayu besar, rak buku penuh dokumen, komputer canggih. Alira duduk di kursinya, memutar-mutar. “Asyik juga jadi CEO, kursinya muter-muter. Weeew~”
Sayangnya, di saat yang sama Adrian pulang sebentar untuk mengambil berkas yang tertinggal. Begitu membuka pintu ruang kerja, ia mendapati istrinya sedang berputar di kursi bosnya sambil bersenandung lagu anak-anak.
“Alira.”
Suara dingin itu membuat kursinya berhenti mendadak. Alira menoleh dengan wajah kaget, lalu nyengir. “Eh… kamu pulang? Surprise!”
Adrian menatapnya tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku… lagi nguji kursinya. Kan harus tau dong suami aku kerjanya nyaman atau nggak.”
“Keluar.”
Alira manyun. “Galak banget sih. Kamu tuh kalau senyum sedikit aja, pasti gantengnya nambah sepuluh kali lipat.”
Adrian tidak bergeming. “Keluar. Sekarang.”
Akhirnya Alira menyeret kaki keluar, tapi sambil berbisik, “Suatu hari, aku bakal bikin kamu senyum sampai pipimu pegel. Ingat kata-kataku, Es Batu.”
Malam harinya, saat Adrian pulang kerja, ia menemukan ruang tamu berantakan. Bantal sofa berserakan, ada keripik, dan… boneka kelinci raksasa duduk di tengah sofa.
“Apa-apaan ini?”
Alira muncul dari belakang sofa dengan piyama kelinci, wajahnya sumringah. “Tadaaa! Aku belanja online tadi sore. Rumahmu sepi banget, jadi aku dekor ulang biar lebih hidup.”
Adrian menatap boneka raksasa itu lama, lalu menatap Alira. “Keluarkan itu dari sini.”
“Eh, jangan gitu dong. Namanya Bubu. Dia bagian dari keluarga sekarang.”
“Alira.” Nada suaranya datar tapi jelas penuh peringatan.
Alira merangkul boneka itu erat-erat. “Nggak bisa. Kalau kamu mau usir dia, kamu harus usir aku juga!”
Adrian memijat pelipisnya, jelas mulai kehilangan kesabaran. Tapi pada akhirnya ia memilih berjalan naik ke lantai atas, meninggalkan Alira yang masih memeluk boneka dengan senyum kemenangan.
“Hah! Menang lagi!” bisiknya sambil melirik ke arah tangga.
Di kamar masing-masing malam itu, keduanya kembali memikirkan hari yang melelahkan.
Adrian duduk di kursinya, membuka laptop, mencoba fokus pada pekerjaannya. Tapi entah kenapa, bayangan wajah istrinya yang centil terus muncul. Suara tawa, komentar konyol, bahkan sup pink aneh itu.
“Kenapa gadis itu bisa begitu berisik… dan kenapa aku jadi memikirkannya?” gumamnya pelan.
Di sisi lain, Alira sedang mengobrol dengan boneka Bubu di kamarnya. “Dengar ya, Bubu. Suamiku itu batu es. Tapi aku yakin, es batu kalau kena api, lama-lama meleleh. Dan aku, Alira yang centil, bakal jadi api itu. Tunggu aja.”
Ia terdiam sebentar, menatap langit-langit. “Tapi… kenapa hatiku deg-degan ya kalau dia ngeliatin aku dengan mata dinginnya itu?”
Alira menutup wajah dengan bantal, berteriak kecil. “Aaaaak! Jangan-jangan aku yang duluan jatuh cinta?! Nggak boleh! Aku kan yang harus bikin dia jatuh cinta duluan!”
Dan malam itu, tanpa mereka sadari, permainan tarik ulur kecil sudah dimulai.
Pertanyaan pun menggantung di udara: siapa yang akan kalah lebih dulu? Si CEO dingin yang selalu tenang, atau si gadis centil yang tak kenal lelah?