Melati, mantan atlet bola pingpong, menjadi tersangka pembunuhan sepupunya sendiri yang adalah lawan terakhirnya dalam turnamen piala walikota. Setelah keluar dari tahanan, ia dibantu teman baiknya, Aryo, berusaha menemukan pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
Namun ternyata Melati bukan hanya menghadapi licik dan bengisnya manusia, namun juga harus berurusan dengan hal-hal gaib diluar nalarnya.
"Dia, arwah penuh dendam itu selalu bersamamu, mengikuti dan menjagamu, mungkin. Tapi jika dendamnya tak segera diselesaikan, dibatas waktu yang ditentukan alam, dendam akan berubah menjadi kekuatan hitam, dia bisa menelanmu, dan mengambil kehidupanmu!" seru nenek itu.
"Di-dia mengikutiku?!" pekik Melati terkejut.
Benarkah Aryo membantu Melati dengan niat yang tulus?
Lalu, siapa pelaku yang telah tega menjejalkan bola pingpong ke dalam tenggorokan sepupunya hingga membuatnya sesak napas dan akhirnya meninggal?
Mari berimajinasi bersama, jika anda penasaran, silahkan dibaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Banyak Rahasia
"Belum saatnya kau mengerti, tapi rasakan kebencianku terhadapmu, suatu saat kau akan paham!" balas Ega lalu menutup kotak kayu tua itu.
Melati merasa seperti berada di dalam labirin yang tidak ada keluarannya. Kini ia tidak yakin siapa dirinya, siapa Ega, dan apa yang sebenarnya terjadi.
…………
Di dapur, Aryo berdiri bersedekap, di ujung meja makan, memperhatikan Mika yang melahap makanan yang telah disiapkannya.
'Sialan! Si brengsek itu sengaja mengunci arwah dalam tubuh gadis ini!' umpat Aryo dalam hati, seraya memperhatikan cara makan Mika yang tak biasa.
Mika melahap mie goreng yang dibuat Aryo, dengan dua tangannya, tanpa sendok ataupun garpu. Melahap dengan cepat, membuat mulut gadis itu penuh, seolah tak perlu ruang untuk mengunyah.
'Berapa lama si brengsek itu akan melakukan ritual untuk Melati, aku harap semua berjalan sesuai rencana.' imbuhnya tak melepaskan pandangan ke arah Mika.
Aryo terus memperhatikan Mika dengan tatapan yang tajam, mencoba membaca setiap gerakan dan ekspresi wajahnya.
“Kau! Apa kau ingat caramu bisa sampai ke tempat ini?" selidik Aryo tetap dengan sikap waspadanya.
Mika menghentikan kunyahannya, lalu mendongak perlahan, menatap lurus dan tajam ke arah Aryo. "Kau sebenarnya sudah tahu, untuk apa berpura-pura bertanya?" jawab gadis itu dengan suara parau, terdengar bukan suara Mika.
Aryo menghindari tatapan mata gadis itu, ia tahu bukan Mika yang berbicara. "Apa si brengsek Ega yang memerintahkan mu membawa gadis ini ke rumahku? Tidak adakah yang mengikutimu?" tanyanya lagi memastikan. Manusia lain maksudku!" tandasnya.
Mika, atau lebih tepatnya entitas yang menguasai tubuh Mika, tersenyum sinis. “Benar sekali, dia memang brengsek! Seharusnya biarkan saja aku bersama Melati, dengan begitu dendamku akan terbalaskan cepat, tapi dia malah membuat semuanya semakin rumit! Kalian tidak tahu kan, ada orang lain yang mengincar Melati!”
“Orang lain?”
“Hmm, ada seorang pria, namanya Adit, dia terus mengawasi Melati, aku tidak suka caranya melihat ke arah Melati. Tapi Ega terlanjur mengunciku di tubuh gadis ini, aku tidak bisa melihatnya lebih lama lagi.”
“Adit, nama yang tak asing.” Aryo bergegas mengambil laptopnya lalu mencari tahu siapa pria yang dimaksud Layla, arwah yang saat ini menguasai sebagian tubuh Mika.
Namun hal tak terduga terjadi, Mika mulai berjalan mendekati Aryo, dengan langkah terseret, seakan ada perang tak kasat mata, tubuh Mika seolah menolak dikendalikan oleh arwah Layla.
"Mika, apa yang kamu lakukan?" tanya Aryo, tapi Mika tidak menjawab. Dia terus mendekat, dengan mata yang kosong dan tidak ada ekspresi di wajahnya.
"Sial! Cincin itu malah kuberikan pada Melati! Berapa lama lagi dia akan kembali?" gerutunya merasa mulai terdesak.
"Kau... Jangan ikut campur, jika kau ingin menemukan keluargamu lagi, lepaskan Melati!" gertak Mika namun dengan suara yang berbeda, seakan itu bukan arwah Layla.
"Tidak! Melati adalah jaminan, agar si brengsek itu membantuku menemukan keluargaku! Tidak akan kubiarkan kalian menggunakan keistimewaan Melati sesuka kalian sendiri!" balas Aryo sambil berpikir mencari cara meloloskan diri dari tatapan tajam sosok yang mengendalikan tubuh Mika.
Sosok itu tertawa, lalu membawa tubuh Mika melayang-layang di langit-langit rumah. "Gadis ini sangat payah, tubuhnya sangat kosong, tapi aku tak punya pilihan karena pria tua itu mengalungkan kesialan padanya!"
"Kalau begitu lepaskan dia, dia tak ada hubungannya dengan semua kekacauan yang kita timbulkan!"
"Tapi aku butuh raga, berikan Melati, hapus lingkaran perlindungan yang kau buat, maka aku akan melepaskan gadis ini!"
Aryo berada di dua pilihan yang sulit. Dia tidak bisa membiarkan Mika terluka, tapi dia juga tidak bisa membiarkan Melati jatuh ke tangan entitas yang mengendalikan tubuh Mika itu.
"Tidak mungkin!" kata Aryo, giginya bergemeretak. "Aku tidak akan pernah menyerahkan Melati kepadamu. Kamu harus melewatiku dulu jika ingin mendapatkannya."
Sosok itu tertawa lagi, suara yang membuat Aryo merasa bulu kuduknya berdiri. "Kau pikir kau bisa menghalangiku? Aku akan menunjukkan kepadamu apa yang aku bisa lakukan."
Tiba-tiba, Mika yang masih melayang di langit-langit rumah itu mulai bergerak sendiri, seperti boneka yang dikendalikan oleh tangan tak terlihat.
Mika melesat cepat, lalu berhenti tepat di hadapan Aryo, kedua tangannya kemudian terjulur mencengkeram leher pria itu.
"Aku sudah payah mencari tubuh yang sesuai, aku susah payah menjaga agar dendam ini tak membakarku sendirian di neraka, kau tahu, kau tahu itu! Kau tahu aku harus mencari siapa yang telah membunuhku!"
Aryo berusaha melepaskan diri, matanya bergerak cepat mencari sesuatu yang bisa diraihnya untuk mengusir sosok astral dalam tubuh Mika. Dari sudut matanya, ia menemukan toples berisi garam.
"Itu ayahmu sendiri!" pekik Aryo sembari melemparkan garam ke wajah Mika.
Sosok astral itu memekik kesakitan, melepaskan cengkeramannya, "Kau! Kau tahu apa? Apa yang kau maksud dengan ucapanmu itu!"
Sosok astral itu semakin marah, dan Mika yang masih terpengaruh olehnya mulai bergerak tidak terkendali. "Bagaimana kau tahu?" teriaknya, suaranya penuh kemarahan dan kesakitan.
Aryo tidak menjawab, dia hanya menatap Mika dengan rasa iba dan takut. Dia tahu bahwa dia telah membangkitkan sesuatu yang sangat berbahaya, dan dia tidak yakin bagaimana cara menghentikannya.
...........
Di gedung tua, Melati berjalan mengikuti Ega, ke sisi gedung itu.
Melati menghentikan langkahnya, matanya tertegun mendapati pemandangan yang tak asing itu. "Makam?!" serunya. Kemudian, sesuatu seperti menyentak di kepalanya, membawa beberapa slide kenangan aneh yang tak pernah ia ingat sebelumnya. "Apa aku pernah ke tempat ini, rasanya situasi ini tak asing bagiku," tanyanya dengan bola mata yang bergerak tak tenang.
"Tidak, aku rasa kau tidak pernah ke tempat ini, tapi entah dengan jiwamu!" jawab Ega masih dengan nada ketusnya.
"Apa maksudmu?"
Ega tak segera menjawab, ia melangkah memasuki areal pemakaman itu. Seolah masih sabar menunggu jawaban, Melati mengikuti pria yang berusia beberapa tahun diatasnya itu dengan penuh rasa penasaran.
Hingga akhirnya Ega berhenti di depan sebuah makam, berhiaskan batu marmer hitam, dengan tulisan 'Telah berpulang dengan tenang, dan dibawahnya bertuliskan namanya almarhumah Suji.'
Namun bukan nama saja ayang membuat bola mata Melati hampir melompat dari tempatnya, tapi foto wajah yang tak asing itu, sungguh membuatnya terkejut. "Nenek Suji? Nenek yang —"
"Ya! Kau masih sangat sulit menerima hal-hal seperti ini, tapi seperti itulah yang terjadi. Dia adalah nenekku, ibu dari pria bernama Pram, sialnya dia adalah ayahku, juga ayahmu!"
"Ta-tapi!"
"Secara tubuh, memang nenek sudah meninggal, tapi dendam ibuku, rasa sakit dan kecewaku... itu yang membangkitkan kekuatan nenek!"
Kebingungan itu semakin membuat Melati merasa berada di suatu tempat dan waktu yang tak asing, ia mulai menghubungkan beberapa ingatan dan kejadian, berpikir dengan logika yang selama ini diyakininya. "Apa... apa yang kamu maksudkan?" tanya Melati, suaranya bergetar. “Ayahku… ayahmu?”
Ega menatap Melati dengan mata yang semakin tajam, seolah ingin menumpahkan berbagai emosi yang tersimpan lama. “Kau adalah pembawa nasib sial itu, karenamu banyak orang mati, dan sekarang kau harus membayarnya!”
Melati merasa seperti berada di dalam mimpi buruk. Dia tidak bisa menerima semua hal itu. "Tidak... tidak mungkin," sanggah Melati, dia mundur beberapa langkah ke belakang, seperti ingin melarikan diri dari kebenaran yang tidak diinginkan.
"Kau tidak bisa melarikan diri dari kebenaran, Melati. Kau harus menerima semuanya!.”
“Hentikan!” seru Adit yang entah kapan sudah berdiri di belakang mereka. “Melati, kenapa kau masih di sini, kau harusnya bersiap-siap pergi ke undangan Pak Banu, kan?”
Melati menoleh cepat, menatap heran sekaligus bingung pada sosok yang berjalan ke arahnya itu, sedangkan Ega justru terbahak menatap kedatangan orang itu. Tawa yang menyiratkan banyak luka dan kemarahan yang selalu tertahan.
“Ternyata kau benar-benar sejauh itu! Tak puaskah kau sudah membunuh banyak orang hanya demi anak harammu ini?!”
Melati masih terdiam, mencoba mencerna setiap ucapan Ega. Pria yang ia kenal dengan sebutan Adit itu, menghentikan langkah, lalu melemparkan kumis, jambang serta rambut palsunya.
Melati terbelalak, menutup mulut dengan kedua telapak tangannya, ada rasa takut bercampur tak percaya merayapi sekujur tubuhnya. “Pe-pelatih Pram?!” pekiknya terpaku saat pria itu membongkar penyamarannya.
“Ada alasan aku harus bertindak sejauh ini, ada alasan juga kenapa harus banyak orang yang mati,” ucap dingin pria paruh baya itu.
...****************...
Bersambung
ayo lah... gagalkan saja..
bisa dinobatkan menjadi ibu proklamator kebencian ini mah...🤣🤣🤣🏃🏃🏃
itu pasti jebakan... aduh .. gimana ini ya...😭
semua Anya salah paham itu...
makanya kalau ada masalah bicarakan baik-baik... jangan asal ambil keputusan aja... satu ingin melindungi anak-anak nya... satu ingin melindungi cucunya .. dengan cara yang berbeda... dan akhirnya bentrok kan...🤣🤣🏃🏃🏃