Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. TELEPON
Cahaya dari layar monitor menyelimuti kamar Ruby dengan warna kebiruan yang lembut namun dingin. Di luar jendela, sore Boston bernapas pelan; langit berawan, dan hujan gerimis membasuh kaca, menciptakan pola yang menetes lambat seperti nada minor dari lagu murung. Di dalam kamar, hanya ada dentingan keyboard yang cepat dan ritmis, jari Ruby menari di atasnya dengan kecepatan yang seolah tak berasal dari dunia manusia biasa.
Kabel-kabel berserakan di meja, dua layar tambahan menampilkan baris kode dan peta digital yang menandai lokasi-lokasi misterius dengan titik merah menyala. Di sebelah keyboard, ada mangkuk kecil berisi sisa popcorn, secangkir kopi hitam yang sudah mulai dingin, dan tablet grafis yang menampilkan logo samar dari sistem yang sedang ia bobol: Death Eater Network.
Nama itu saja sudah membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Death Eater, organisasi yang hingga kini tak pernah terungkap wujud nyatanya. Mereka seperti bayangan yang hidup di antara retakan dunia digital dan dunia nyata; tak berwajah, tak beridentitas, tapi meninggalkan jejak kejahatan di mana pun mereka lewat.
Ruby bersandar di kursinya, menggerakkan kursi beroda itu sedikit ke belakang sambil mengunyah popcorn.
Di layar utama, jendela hitam dengan tulisan hijau bergerak cepat.
Ia baru saja menembus layer ketiga dari firewall Death Eater, sistem yang bahkan menurut kelompok Death Eater sendiri, 'tidak mungkin bisa ditembus tanpa jejak'.
"Tidak ada yang mustahil," gumam Ruby pelan, suaranya nyaris seperti bisikan yang tenggelam di antara dengung kipas CPU. "Selama yang membuatnya juga manusia," lanjutnya.
Ia mengetik cepat, matanya menatap layar tanpa berkedip. Di sudut kiri bawah, muncul deretan direktori terenkripsi, ratusan folder dengan nama acak, tapi satu menarik perhatiannya:
PROJECT-HELIX_DNA-LOG.
Ruby berhenti sejenak. Folder itu seolah memanggilnya, seperti rahasia yang sengaja diletakkan di sana agar ditemukan oleh orang yang cukup berani ... atau cukup bodoh untuk mencarinya.
Klik.
Satu lapisan sandi terbuka, lalu satu lagi.
Kode hash muncul di layar dan Ruby langsung mengetik script dekripsi-nya sendiri, hasil modifikasi dari program yang ia buat bertahun lalu ketika masih bekerja sebagai peretas bayangan bagi kelompok-kelompok internasional yang bahkan FBI pun enggan menyebut namanya; Anonymous.
Begitu file terbuka, Ruby mencondongkan tubuh.
Di layar muncul deretan catatan medis dan laporan eksperimen: hasil uji pada manusia, kode sampel genetik, hingga deskripsi prosedur operasi otak dan saraf yang tidak seharusnya dilakukan pada manusia hidup.
Subjek #D-001: Kehilangan fungsi kognitif tahap
Subjek #D-002: Gagal mempertahankan vital organ setelah infus zat Helix-β.
Ruby menahan napas.
Salah satu dokumen menampilkan nama laboratorium di bawah logo samar 'Death Eater BiotechDivision', dengan cap rahasia berwarna merah di pojoknya.
Ia menggulir cepat.
Sampai matanya terpaku pada satu nama di dalam laporan daftar pengawasan.
Nama: Rabbit
Status: Dalam Pengawasan.
Hasil: Potensi Kelas S
Darah di wajah Ruby mengalir turun seketika saat membaca ini.
Tangannya berhenti di udara, bibirnya sedikit bergetar.
"Sialan," umpatnya tak senang.
Ia membaca ulang berkas itu beberapa kali. Tidak salah. Tidak mungkin salah. Karena ia tahu dengan baik isi dari berkas ini.
Ruby menatap layar dengan tatapan kosong selama beberapa detik sebelum dengan cepat membuka file lain, mencoba menemukan waktu laporan, siapa pengirimnya, dan apakah perintah pengawasan itu masih aktif. Tapi sebelum ia sempat membuka lebih jauh, suara dering ponsel memecah kesunyian malam.
Ruby menoleh cepat.
Ponsel pribadinya yang tergeletak di sisi meja bergetar. Nama yang muncul di layar: Raven.
Ia menatapnya ragu. Raven jarang menelepon begini kecuali ada hal darurat.
Ruby menyambar ponsel itu, namun sebelum sempat menekan tombol hijau, panggilan itu berhenti.
Ia mengerutkan kening.
Beberapa detik berlalu, lalu telepon berbunyi lagi, masih dari Raven.
Ruby langsung menekan tombol jawab.
Namun baru saja ia hendak bicara, panggilan itu kembali terputus.
"Apaan sih," desisnya, kesal. Ia meletakkan ponsel dan kembali menatap layar, tapi dering kembali terdengar, kali ini di ponsel satunya, ponsel khusus pekerjaannya sebagai Chiper.
Nama di layar ponsel membuatnya semakin bingung: Elias.
Hatinya berdegup lebih cepat.
Tanpa pikir panjang, Ruby mengangkatnya. "Halo, Elias-"
Klik.
Sambungan mati.
Ia menatap layar ponsel itu dengan mata membulat.
Belum sempat mencerna apa pun, ponsel satunya kembali berdering, lagi-lagi Raven. Kali ini Ruby menjawab dengan cepat, hampir membentak, tapi panggilan terputus lagi.
Sekarang kedua ponselnya berdering bergantian, seolah dunia sedang memermainkannya. Suara getar di meja membuat sendok dan cangkir kopi bergemerincing.
"Raven, serius?" gumamnya dengan nada jengkel, kali ini lebih keras. "Apa kalian lagi lomba telepon tercepat, hah?"
Ia mencoba menenangkan diri, menekan tombol mute di komputer, lalu kembali mengangkat ponsel yang bergetar lagi.
"APA, RAVEN?! SERIUS, KAU BISA-"
Namun suaranya langsung terhenti.
Bukan karena sambungan mati.
Bukan karena gangguan jaringan.
Tapi karena kalimat di seberang sana yang meluncur cepat, terbata, dan diakhiri dengan satu kata yang membuat seluruh tubuh Ruby membeku.
"Ruby ... Elias masuk rumah sakit. Ada percobaan pembunuhan," kata Raven cepat di seberang telepon.
Semua suara di dunia mendadak lenyap.
Dentuman jantung Ruby bergema di kepala, keras, tak teratur.
Tangannya yang menggenggam ponsel bergetar, matanya membulat, napasnya tercekat.
"Raven ... apa?" suaranya nyaris tak keluar. "Apa yang kau bilang barusan?"
"Elias ... dia diserang. Sekarang di rumah sakit St. William-"
Ruby tak mendengar sisa kalimat Raven.
Ponsel di tangannya gemetar hebat, lalu hampir jatuh saat ia berdiri terburu-buru. Kursinya terhempas ke belakang, menabrak dinding. Ia bahkan lupa menutup laptop, lupa semua file Death Eater yang masih terbuka.
Yang ia tahu hanyalah satu hal ... Elias terluka. Dan ia harus ke sana sekarang juga.
Tanpa berpikir panjang, Ruby berlari keluar kamar. Ia masih mengenakan kaus kebesaran warna abu dan celana pendek; rambutnya berantakan, dan sandal rumah masih menempel di kaki. Tapi otaknya tidak bekerja logis saat ini.
Setiap langkahnya terasa berat, tapi tubuhnya terus bergerak, melewati koridor panjang dengan napas tersengal.
Beberapa penjaga yang sedang berpatroli di lantai bawah terkejut saat melihat gadis itu berlari seperti orang dikejar maut.
"Miss Rubiana, ada apa?" salah satu bertanya, tapi Ruby tidak menjawab. Ia hanya menggenggam ponsel, mencoba menahan air matanya yang hampir pecah.
"Ke rumah sakit St. William!" serunya sambil terus berlari menuju pintu depan. "Cepat! Elias ... Elias, dia ... dia di rumah sakit!"
Penjaga itu saling berpandangan, namun tanpa tanya lebih lanjut, dua orang di antaranya langsung berlari menuju garasi dan mengambil mobil hitam yang biasa digunakan Elias. Ruby sudah menunggu di depan pintu, tubuhnya bergetar karena panik. Ia membuka pintu mobil dengan kasar dan langsung masuk.
"Cepat, tolong! Jalannya cepat, aku mohon!" suaranya pecah, matanya menatap ke depan tanpa benar-benar fokus.
Mesin mobil meraung. Hujan tipis mulai turun, membuat lampu kota memantul di jalanan basah. Ruby menggenggam ponselnya erat, menatap layar yang masih menyala dengan nama Raven di sana. Ia mencoba menekan ulang, namun tangannya gemetar.
Pikiran Ruby kacau, potongan gambar silih berganti dalam kepalanya.
Elias tersenyum saat memuji masakannya pagi tadi.
Elias yang menatapnya tajam tapi lembut saat memarahi kebiasaannya bergadang.
Elias yang selalu memastikan ia makan tiga kali sehari, meski dengan jadwal gila yang mereka punya.
Dan kini ... Elias di rumah sakit karena percobaan pembunuhan?
"Tidak, tidak, tidak ...." Ruby menggeleng cepat, air matanya menetes di pipi. "Itu tidak mungkin. Elias kuat. Dia ... dia tidak mungkin-"
Mobil berhenti mendadak di depan bangunan besar dengan papan bertuliskan St. William Hospital. Ruby langsung membuka pintu sebelum mobil benar-benar berhenti sempurna, berlari masuk dengan langkah terburu-buru.
Suasana rumah sakit malam itu tenang namun dingin. Aroma antiseptik menusuk hidung. Ruby menekan tombol panggilan di ponselnya lagi, Raven menjawab dalam hitungan detik.
"Raven! Aku di sini! Di rumah sakit! Di mana Elias?!" seru Ruby dengan suara bergetar.
"Kamar VIP lantai dua, ruangan nomor 203," jawab Raven di seberang panggilan.
Ruby langsung menuju lift tanpa pikir panjang. Napasnya cepat, rambutnya menempel di dahi karena keringat. Lift seolah bergerak terlalu lambat malam itu. Begitu pintu terbuka, ia berlari keluar, menyusuri koridor yang diterangi cahaya putih pucat. Setiap langkah terasa seperti seribu detik.
Ketika sampai di depan pintu bernomor 203, Ruby berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu membuka pintu dengan kasar.
Pintu terbuka lebar, dan yang pertama dilihat Ruby adalah ... Elias.
Duduk santai di sofa ruangan, mengenakan kemeja abu yang masih rapi, satu kaki disilangkan di atas lutut, secangkir kopi di tangan. Raven duduk di kursi seberang, menatap Ruby dengan ekspresi antara terkejut dan ... entah ... ingin tertawa.
Untuk beberapa detik, Ruby hanya berdiri di ambang pintu dengan napas tersengal, wajah pucat, mata membulat tak percaya.
Elias menoleh pelan, alisnya terangkat ringan.
"Ruby?" suaranya tenang. "Kau datang juga."
Ruby tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka berdua, matanya beralih dari Raven ke Elias, lalu kembali ke Raven dengan ekspresi campuran antara marah, lega, dan ingin menangis.
Raven mengangkat kedua tangannya pelan, seolah menyerah. "Oke, oke. Aku bisa jelaskan."
Ruby memandangi mereka tanpa berkedip, suaranya bergetar ketika akhirnya keluar.
"Jelaskan? Kau barusan bilang Elias ... masuk rumah sakit. KAU BILANG ADA PERCOBAAN PEMBUNUHAN!" seru Ruby marah hingga air mata menetes karena kepanikan sepanjang jalan.
Raven tampak menahan senyum. "Secara teknis, dia memang di rumah sakit." Ia menatap Elias sekilas. "Dan soal 'percobaan pembunuhan' ... yah, mungkin sedikit dramatik dari pihakku."
Elias menatap Ruby dengan ekspresi tenang, tapi sudut bibirnya tampak sedikit menahan tawa. "Raven mengartikan 'percobaan pembunuhan' sebagai aku hampir terbunuh oleh laporan keuangan yang berantakan hari ini."
Ruby terdiam selama dua detik penuh.
Lalu matanya melebar, suaranya meninggi.
"KAU BERDUA GILA?!" seru Ruby.
Raven langsung tertawa pelan, tapi Ruby tak ikut tertawa. Ia melempar pandangan tajam yang cukup untuk membuat Raven menunduk pura-pura sibuk dengan ponselnya. Elias berdiri, berjalan mendekat dengan langkah tenang, lalu menatap Ruby dari jarak dekat.
Ruby menunduk, menggigit bibir bawahnya, antara ingin memukul Elias dan Raven yang memermainkan emosi Ruby hari ini. Mereka tidak rahu betapa khawatir dna takutnya Ruby tadi mendengar kabar Elias masuk rumah sakit.
"Hey, Bunny," suara Elias lembut, tangan besarnya menyentuh bahu Ruby. "Maaf membuatmu khawatir. Tapi aku baik-baik saja?"
Ruby mendongak, matanya telah basah. "Aku pikir kau terluka parah," ucapnya lirih, begitu jujur hingga membuat Raven yang di belakang mereka terdiam.
Elias tidak menjawab. Ia hanya menarik Ruby ke pelukannya, mengelus punggung sang gadis lembut untuk menenangkannya. Ah, Elias merasa bersalah sekarang, harusnya ia tidak menggunakan cara ini.
"Aku masih di sini, Ruby. Lihat?" katanya amat lembut. "Masih hidup. Masih bisa bikin kau marah. Aku baik-baik saja. Jangan menangis, kumohon."
Ruby menutup matanya rapat, berusaha menahan air mata. Tapi suaranya pecah juga ketika berkata, "Jangan pernah lakukan itu lagi. Jangan pernah biarkan aku dengar kabar seperti itu lagi, Elias."
Raven menatap mereka dari sofa dengan senyum kecil, kali ini tanpa nada bercanda. Ada sesuatu yang tulus di sana, sesuatu yang jarang ia perlihatkan. Ia tahu, di antara segala kekacauan dan permainan digital yang mereka jalani, rasa takut kehilangan adalah satu hal yang tak bisa dikodekan, tak bisa diretas, tak bisa dimanipulasi.
Sore itu, Ruby akhirnya duduk di samping Elias. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi hatinya perlahan tenang ketika mendengar suara Elias berbicara seperti biasa.
Ruby hanya menghela napas berat. "Kalian berdua ... sungguh-sungguh mau aku kena serangan jantung ya?"
Elias menatapnya, setengah tersenyum. "Kau tidak boleh mati sebelum menyelesaikan semua yang kau mulai."
Ruby menatapnya balik. Pandangan mereka bertaut, diam-diam, di bawah cahaya lembut ruangan rumah sakit itu.
"Yang aku mulai?" Ruby bingung.
Raven mengangkat tangan, menunjukkan ponsel ke arah sang gadis. Memerlihatkan layar ponsel.
Untuk sesaat Ruby hanya menatap layar ponsel Raven dengan bingung; kenapa? Ada apa?
Hingga satu kata dari layar yang menunjukkan log panggilan membuat mata Ruby membulat sempurna. Perlahan ia menatap ponsel di tangannya, ponsel yang seharusnya tidak ia bawa, atau mungkin lebih tepatnya tidak ia angkat telepon dari Raven tadi. Takut-takut ia menatap Raven dan Elias yang kini menatap Ruby seolah singa menatap kelinci kecil sebagai mangsa.
Kebodohan terbesar Ruby seumur hidupnya. Ia mengangkat panggilan dari Raven menggunakan ponsel kerjanya sebagai Chiper.
"I got you, Chiper," ucap Elias dengan senyum yang membuat Ruby merinding.
Ah, matilah aku, batin Ruby.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya